Chereads / War Torn: Fallen Dynasty (Bahasa Indonesia) / Chapter 3 - Bayangan Putih di Kegelapan

Chapter 3 - Bayangan Putih di Kegelapan

Dalam kegelapan yang mencekam dan gelapnya malam yang menakutkan, Noriko Hoshizawa dan pria misterius yang memperkenalkan dirinya sebagai Arasu duduk bersama. Mereka berdua terdiam dalam suasana yang tegang, merenungkan situasi yang semakin memburuk di sekeliling mereka.

Noriko merasa beban berat di pundaknya, seakan seluruh dunia ini menindasnya. Dia tahu bahwa pengejaran oleh polisi rahasia dari faksi Kurogawa tidak akan berakhir begitu saja. Misi ibunya untuk mengambil kembali tahta Dinasti Seirei dan mengembalikan kehormatan keluarganya adalah tugas yang sangat berat, dan dia merasa beban tersebut semakin terasa sekarang, terlibat dalam pertempuran yang penuh dengan bahaya dan kematian.

Arasu duduk di sampingnya dengan tatapan tajam yang meresap. Meskipun dia pria misterius yang belum sepenuhnya Noriko ketahui, ekspresi serius di wajahnya mengisyaratkan pengalaman panjang dalam menghadapi situasi berbahaya seperti ini. Noriko sendiri tidak tahu apa yang membuatnya memutuskan untuk membantunya, tetapi dia merasa bahwa dia harus mempercayainya, setidaknya untuk saat ini.

Ketika Noriko akhirnya memecahkan keheningan dengan pertanyaannya, "Apa yang ingin kau lakukan sekarang, Arasu?" Arasu merenung sejenak sebelum memberikan jawaban yang tenang, "Kita harus mencari tempat yang aman. Pasti mereka akan menemukan kita jika kita tetap di tempat ini."

Tiba-tiba, detik berikutnya mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Arasu segera menggerakkan tubuhnya untuk menarik Noriko ke dalam bayangan, berusaha agar tidak terlihat oleh siapapun yang mungkin mendekat.

Mereka berdua duduk dalam kegelapan, menyaksikan dua sosok yang berjalan melewati tempat mereka bersembunyi. Mereka adalah anggota polisi rahasia yang masih mencari mereka, dan Noriko bisa merasakan denyutan jantungnya semakin keras, berusaha untuk tetap tenang dalam situasi yang sangat berbahaya ini.

Saat para polisi rahasia itu berlalu, Arasu dengan hati-hati keluar dari persembunyian mereka. "Mereka ada di mana-mana," desahnya dengan nada frustasi dalam suaranya.

Kedua pelarian ini melanjutkan eksplorasi bangunan tua yang suram dan berdebu, mencari tempat yang bisa mereka gunakan sebagai tempat berlindung sementara. Mereka menyusuri lorong-lorong gelap dan tangga yang rapuh. Semua ini merupakan langkah pertama dalam perjalanan berbahaya mereka untuk mencari adik Noriko, Haru, dan menghadapi faksi Kurogawa yang mengejar mereka.

Akhirnya, setelah berapa lama rasanya seperti berjam-jam, mereka menemukan sebuah ruangan gelap yang terabaikan. Arasu memeriksa sekelilingnya dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang dapat mengancam mereka sebelum memutuskan untuk memasuki ruangan itu.

Ketika mereka memasuki ruangan yang begitu gelap itu, Arasu dengan hati-hati menutup pintunya dengan pelan. Ruangan itu sangat suram, dan satu-satunya cahaya yang masuk adalah rembulan yang remang-remang yang menyelinap melalui celah-celah jendela yang terbungkus debu.

Noriko merasa keringat dingin di punggungnya saat mereka berdua duduk di dalam ruangan tersebut, berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing oleh ketegangan yang menyelimuti mereka. Arasu sendiri meraih peluru-peluru yang telah ia ambil dari sakunya. Dengan hati-hati, ia memeriksa revolvernya, memastikan bahwa silinder masih dalam keadaan tertutup. Dalam kegelapan ruangan yang redup, ia melihat ke dalam rongga-rongga kosong di silinder tersebut. Satu per satu, dengan ketelitian yang sempurna, ia memasukkan peluru-peluru itu ke dalam silinder.

Noriko penasaran dengan pria itu. Dia tampak tak takut ataupun cemas, walaupun sudah berani menyerang anggota polisi. Bagaimana juga dia mendapatkan senapan yang hanya diproduksi oleh negeri barat dan amunisinya? Gadis itu bertanya padanya, "Jadi tuan, apakah ka-".

"Panggil saja Arasu, aku masih 20 tahun," ujarnya sebelum Noriko menyelesaikan kalimatnya. Ketika ia telah mengisi semua rongga dengan peluru yang ia butuhkan, ia memutar silinder kembali ke posisi awal.

"Baiklah, Arasu," kata Noriko dengan penuh rasa ingin tahu, "Apakah kau bisa membaca pikiran seseorang?" Pertanyaan itu muncul karena dia merasa bahwa Arasu mengetahui apa yang dia pikirkan. Seperti saat di bar ketika ia mengetahui bahwa dirinya sedang dikejar.

Arasu tersenyum kembali di bawah sinar rembulan yang menyapu wajahnya melalui celah-celah jendela. "Nona kecil, ada ilmu yang mencoba untuk memahami sifat seseorang. Itu disebut psikologi," jawabnya sambil menjelaskan tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Meskipun Noriko mungkin tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, dia merasa bahwa ada banyak hal misterius yang tersembunyi di balik pria muda ini, dan mungkin saat ini bukan saat yang tepat untuk menggali lebih dalam.

Namun, kehidupan mereka masih dalam bahaya besar, dan mereka tidak bisa tinggal di tempat ini selamanya. Arasu menatap Noriko dengan serius, "Apa yang ingin kau lakukan sekarang, Noriko? Kita tidak bisa hanya bersembunyi di sini selamanya."

Noriko memikirkan pertanyaan itu sejenak sebelum menjawab dengan tekad, "Aku ingin pergi ke tempat persembunyian adikku, Haru, di distrik pemukiman. Aku juga membawa roti dan kopi ini untuknya. Dia pasti merindukanku."

Arasu mengangguk mengerti. "Baiklah, nanti tunjuk jalannya. Baru pertama kali aku di Ibukota."

Mereka berdua bangkit dari tempat duduk mereka dengan perlahan, mendekati pintu dengan hati-hati. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa berlama-lama di dalam bangunan ini, bahkan jika tempat itu memberikan perlindungan sementara. Saat Arasu membuka pintu perlahan, rembulan purnama menerangi lorong yang gelap di depan mereka.

Mereka berdua bergerak dengan hati-hati, mencoba membuat sedikit suara mungkin. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti membawa mereka lebih dekat pada bahaya. Mereka melalui lorong-lorong yang terbengkalai, menyusuri bangunan tua yang sepi, dan akhirnya, mereka menemukan tangga yang menuju ke atap bangunan ini.

Arasu mengangguk pada Noriko, dan keduanya mulai mendaki tangga tersebut. Mereka ingin mencapai atap bangunan ini, di mana mereka bisa memiliki pandangan yang lebih baik atas situasi di luar dan merencanakan pelarian mereka.

Saat mereka mencapai atap, malam itu diselimuti oleh kabut yang tebal, membuat suasana semakin misterius. Kabut memberikan sentuhan magis pada malam yang sudah penuh ketegangan ini, tetapi pada saat yang sama, itu juga menghalangi pandangan mereka.

Arasu dan Noriko merasa sejuknya angin malam yang menusuk tulang di atas atap tersebut. Kabut mengelilingi mereka seperti selimut tipis, mengurangi jarak pandangan mereka. Ini membuat pergerakan mereka semakin sulit dan meningkatkan ketegangan dalam suasana.

Suara gemuruh helikopter yang mendekat semakin terdengar nyaring melalui kabut yang menghalangi pandangan mereka. Arasu segera membawa Noriko ke tempat yang lebih terlindung di atap, di mana mereka bisa melihat helikopter-helikopter itu melayang rendah di atas kabut, sinar lampu sorot mereka menyinari kabut seperti hantu yang menakutkan.

Ketika helikopter-helikopter itu melewati di atas mereka, Arasu dan Noriko melihat kesempatan untuk bergerak. Mereka merambat perlahan-lahan, menjauhi pusat perhatian helikopter, dan mencari rute yang aman untuk melarikan diri dari atap bangunan itu.

Saat mereka mencapai tepi atap dan melihat tumpukan jerami yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk melompat ke bangunan sebelah, Noriko dan Arasu merasa seolah mereka mendekati sumber cahaya di tengah kegelapan. Namun, kelegaan mereka hanya berlangsung sesaat karena mereka tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap sudut kota Eikyoto.

Dengan gerakan lincah, Noriko dan Arasu melompat dari atap bangunan yang satu ke bangunan lainnya. Mereka bergerak dengan hati-hati, mencoba untuk tidak membuat suara yang dapat memperingatkan polisi rahasia faksi Kurogawa yang masih memburu mereka. Cahaya rembulan yang masih menerangi kabut memungkinkan mereka untuk melihat jarak pandangan yang terbatas akibat kabut tebal.

Saat mereka mencapai bangunan sebelah, mereka merasa lega sejenak. Namun, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa berlama-lama di sini. Noriko ingin segera menuju tempat persembunyian adiknya, Haru, di distrik pemukiman, dan dia juga ingin memberikan roti kopi yang dia bawa padanya. Semua itu adalah bagian dari rencananya untuk menyelamatkan keluarganya dari cengkeraman faksi Kurogawa dan membalaskan dendam atas kematian orang tuanya.

Sementara Noriko dan Arasu terus bergerak dengan hati-hati, mereka tidak menyadari bahwa seseorang telah muncul di depan mereka, berdiri dengan tenang di atas bangunan yang sama. Orang ini tampaknya telah menunggu mereka.

Dia adalah seorang wanita muda dengan rambut hitam yang panjang yang berkibar lembut di tengah malam yang kabur. Mata abu-abunya memancarkan ketajaman, mencerminkan keberanian dan kehati-hatian yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya. Seragam polisi rahasia yang ia kenakan tampak, membungkus tubuhnya yang ramping dengan rapi dan memancarkan aura kekuasaan.

Selain itu, terdapat anting di salah satu telinga anjingnya, menambahkan sentuhan unik pada penampilannya. Di samping pinggangnya tergantung senjata, pistol Type-54 buatan Negara Yushan, yang memancarkan pesona mematikan sekaligus keahlian dalam pertarungan jarak dekat.

Namun, itu bukan satu-satunya senjata yang dimilikinya. Di sebelah senjata api tersebut, sebatang katana yang berkilau dalam cahaya rembulan tergantung dengan anggun. Bilah tajamnya yang mempesona dan pegangan yang indah menciptakan kombinasi senjata yang mematikan dan elegan. Yuki adalah seorang yang menguasai seni pedang, dan senjata-senjatanya adalah ekstensi dari keahliannya dalam pertempuran.

Ketika Arasu melihat wanita itu, ekspresi wajahnya tampak tidak terlalu terkejut. Seolah-olah dia sudah mengenalnya. Namun, Noriko merasa cemas dan takut karena mereka berdua berada dalam situasi yang sangat berbahaya.

Wanita itu tersenyum sinis saat dia berbicara, "Jadi, Bayangan Putih, kau telah memberikan kami pekerjaan yang cukup menarik. Menyusup ke dalam markas kami, mencuri dokumen dan membunuh beberapa anggota kami. Tapi sekarang, permainanmu sudah berakhir."

Arasu, yang tampaknya dikenal sebagai Bayangan Putih oleh wanita itu, hanya tersenyum tipis sebagai tanggapannya. "Selalu menyenangkan bertemu lagi, Yuki. Apakah kau di sini untuk menghadapi kami sendirian?"

Yuki, nama wanita itu, hanya menggelengkan kepala sambil menarik senjatanya dari sarungnya. "Aku tidak butuh bantuan untuk menghadapi kalian berdua."

Noriko merasa tegang saat dia melihat senjata-senjatanya yang mematikan. Mata Noriko memandang senjata-senjatanya itu, dan dia merasa keberanian mengalir dalam dirinya. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus menghadapi lawan yang sangat berbahaya, dan pertarungan ini akan menjadi salah satu ujian terbesar dalam perjalanan mereka.

Dengan hati-hati, Arasu dan Yuki berdiri di atas atap yang kabutnya semakin pekat, menciptakan suasana yang mencekam dan tegang. Mereka berada di ujung pertarungan yang akan datang, dan ketegangan di udara terasa semakin kuat. Sementara itu, polisi rahasia dari faksi Kurogawa yang lain mungkin sudah mendekati mereka dengan langkah hati-hati.

Saat ini, mereka harus mengandalkan kemampuan mereka yang terlatih dengan baik dan tekad yang kuat untuk menghadapi bahaya yang mengancam kehidupan mereka. Terjebak di atas atap, dalam kabut malam yang tebal, mereka harus menentukan nasib mereka sendiri dalam pertarungan yang akan menentukan arah perjalanan mereka selanjutnya. Tidak ada tempat untuk melarikan diri, dan satu-satunya pilihan adalah maju menghadapi bahaya yang datang.