Berbeda dengan pengantin baru pada umumnya. Seharian Ellena justru menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar hotel. Lucas yang tiba-tiba menghilang entah ke mana, membuatnya merasa sangat diuntungkan. Dengan begitu, dia bisa dengan bebas meluapkan segala perasaan yang sudah terasa sangat menyesak di dalam dada.
Sekeras apa pun Ellena menahan emosinya yang makin bergejolak, nyatanya dia tetap kalah. Pada akhirnya, isak tangis pun kembali memecah di ruangan itu. Bahkan, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Dia menjerit, meronta, seolah-olah ingin terbebaskan dari masalah yang tengah dia hadapi. Dia tidak peduli, sekali pun ada yang mendengar jeritannya kali ini.
"Tuhan, tolong aku! Apa yang harus kulakukan saat ini? Kenapa dunia begitu kejam padaku? Tidak bolehkah aku merasakan sedikit saja kebahagiaan? Sejak kecil aku seperti tidak diberi kesempatan untuk hidup di atas ketenangan dan kebahagiaan. Apa itu masih belum cukup ujian yang harus kuterima dari-Mu? Kenapa aku justru diberikan ujian seberat ini sekarang?"
Cukup lama Ellena menghabiskan waktunya dengan kegiatan itu. Menangis, mengeluh dan merutuki nasibnya sendiri. Baginya, Keenan adalah malaikat yang selalu hadir di tengah masa sulitnya. Setidaknya pria itu selalu berusaha membuatnya tersenyum. Keenan juga selalu memberinya kekuatan, agar tetap bertahan.
Meskipun situasinya sangat rumit, Keenan selalu meminta Ellena agar tetap tegar menghadapinya. Namun, tidak dengan situasi kali ini. Tak ada kekuatan dan motivasi yang Keenan berikan untuknya. Bagaimana mungkin? Bahkan, Keenan tidak mengetahui situasi rumit yang tengah Ellena hadapi, jadi wajar saja.
Apa yang sudah Ellena lakukan sekarang? Dia justru membalas kebaikan Keenan dengan sebuah pengkhianatan. Apa dia masih pantas mengharapkan kekasihnya itu untuk tetap tinggal? Menunggu semua sandiwara ini berakhir hingga pada akhirnya mereka akan kembali dipersatukan. Sulit untuk dipastikan, but impossible is nothing. Dia harap semesta akan berpihak padanya.
Dia yakin bahwa Keenan akan sangat kecewa, jika mengetahui yang sebenarnya. Rasanya itu sangat menyakitkan sekali. Bagaimana jika nanti Keenan tidak bersedia menerima statusnya yang janda? Terlebih lagi kedua orang tua Keenan yang sejak awal tidak merestui hubungan mereka. Mungkin saja status Ellena akan menjadi alasan terbesar bagi mereka untuk tidak memberi restu kepada putranya.
Makin lama suara tangis itu makin terdengar samar-samar. Ya, mungkin karena Ellena sudah merasa kelelahan, karena menangis dengan waktu yang cukup lama. Dia pun menghentikan kegiatan itu.
"Yakinlah Ellena bahwa jodoh tidak akan pernah salah. Jika memang Keenan adalah jodohmu, siapa pun tidak akan ada yang bisa menguubah itu," gumam Ellena dalam hati.
Seketika suara pintu kamar hotel membuat Ellena tersentak. Ya, itu pasti Lucas. Dia pun segera menyeka air mata yang membekas di pipinya, karena tidak ingin Lucas menyadari bahwa dia baru saja menangis. Namun, tetap saja, tangisan itu telah meninggalkan bekas memerah dan sembab di matanya.
"Kau baru bangun?" tanya Lucas saat menyadari Ellena yang masih duduk di atas tempat tidur.
Ellena tersentak saat mendengar suara Lucas. Namun, dia tampak menunduk dan hanya berani menatap kaki pria yang telah berdiri satu meter di depannya.
"Sudah dari tadi," jawab Ellena dengan suara serak.
Lucas mengangkat sebelah alisnya, merasa heran dengan sikap Ellena. Namun, Suara serak itu membuat dia yakin bahwa wanita di depannya baru saja menangis.
"Segera kemasi barang-barangmu!" Lucas berjalan menuju lemari pakaian, tanpa ingin bertanya lebih lanjut kepada Ellena.
"Memangnya kita akan pergi ke mana?" tanya Ellena seraya mendongak dan menatap Lucas yang sudah berdiri membelakanginya.
"Aku akan menepati janjiku," jawab Lucas seraya membuka pintu lemari itu, tanpa mengalihkan perhatian kepada Ellena.
"Janji apa?" Ellena menurunkan kaki dari tempat tidur, lalu berdiri di belakang Lucas.
Sesaat Lucas menghentikan kegiatannya, lalu menoleh ke belakang. Dia tidak terkejut saat melihat mata Ellena yang merah dan terlihat sembab. Ya, dia sudah tahu akan hal itu. Ellena memang sengaja menyembunyikan itu darinya sedari awal.
"Bukankankah aku sudah berjanji akan mengantarmu untuk bertemu dengan ibu dan kekasihmu itu?" Lucas menatap sayu wanita di depannya. Perkatannaya seolah-olah menunjukkan bahwa dia tahu apa yang membuat Ellena menangis. "Oh, atau ... kita batalkan saja rencana—"
"Tidak! Aku akan segera bersiap-siap," potong Ellena, kemudian bergegas untuk mengemas barang-barangnya yang tidak terlalu banyak.
Dia membuka pintu lemari di sebelah Lucas, mengeluarkan beberapa potong pakaian.
"Pak, biarkan saya yang mengemas semua barang-barang Anda," ucap Ellena di tengah kegiatan memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
Tanpa menanggapi ucapan Ellena, Lucas menghentikan kegiatannya dan lantas beranjak menuju sofa. Dia duduk dengan posisi menyilangkan kaki, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana yang dia kenakan.
Ditatapnya layar ponsel itu, tetapi tak berlangsung lama. Pandangannya beralih ke arah Ellena yang masih sibuk dengan kegiatan mengemas pakaian.
Cukup lama Lucas dalam posisi itu. Bahkan, dia mengabaikan ponsel yang masih menyala di genggamannya. Entah apa yang membuatnya tertarik untuk menatap wanita yang baru satu hari tinggal satu kamar dengannya itu.
"Pak, saya sudah selesai."
Lucas terlonjak dan terlihat sedikit gugup. Dia kemudian berdeham berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Sekilas dia mengalihkan pandangan, sebelum akhirnya menanggapi Ellena. "Kau akan pergi dalam kondisi seperti itu?" tanyanya.
Ellena tampak bingung seolah-olah mendapat kesulitan dalam mencerna perkataan Lucas kali ini. "Memangnya saya kenapa?" Dia mengerutkan dahinya.
Lucas terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Maksudku, apa kau akan pergi dengan penampilan seperti itu?"
Ellena langsung memperhatikan penampilannya. Dia baru sadar bahwa masih mengenakan pakaian santai. Kaus oblong dan hot pants, setelan yang tak mungkin dia pakai ke desa tempat kelahirannya yang memiliki udara yang cukup dingin.
"Saya akan berganti pakaian dulu. Mohon tunggu sebentar!" Ellena meraih satu setel pakaian yang sudah dia masukkan ke dalam koper, lantas segera beranjak memasuki kamar mandi.
Hanya dalam waktu singkat, dia sudah selesai dengan kegiatan itu. Penampilannya sangat simpel. Celana long jeans yang dipadupadankan dengan kaus putih pendek berbalut sweater hitam. Meskipun tanpa polesan make up, wajahnya tetap terlihat cantik dan memesona.
Ellena berdiri di depan kamar mandi, menatap Lucas yang masih duduk di tempat sebelumnya. Namun, kali ini pria itu terlihat sibuk dengan ponselnya.
Tak ingin mengganggu kegiatan Lucas, Ellena memilih untuk diam dan memperhatikan dari kejauhan.
Lucas mendongak saat menyadari Ellena yang sudah berdiri di sana. Dia sekilas termangu melihat penampilan Ellena yang sangat sederhana, tetapi masih terkesan elegan. Ellena terlihat jauh lebih muda dengan penampilannya kali ini. Lucas segera mengakhiri kegiatannya, sebelum akhirnya Ellena menyadari akan hal itu.
"Kau sudah siap?" Lucas tampak bangkit dari tempat duduk sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.
"Sudah, Pak," jawab Ellena.
"Baiklah. Ayo, kita pergi!" ajak Lucas seraya beranjak menuju pintu kamar hotel. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika menyadari Ellena yang hanya berdiam diri di tempat.
Lucas menoleh, menatap Ellena yang hanya bergeming. Raut wajah wanita itu terlihat bingung dan seolah-olah sedang memikirkan seduatu. Entah apa yang saat itu mengganggu pikirannya.
Lucas berdecak, lalu kembali membuka suara. "Kau akan tetap di sini?" tanya Lucas yang sontak membuat Ellena terpaksa mengakhiri lamunannya saat itu juga.