Lucas berjalan dengan perlahan mengelilingi tubuh Selena yang tengah berdiri di dekatnya. Dia sengaja ingin memanas-manasi Selena. Bahkan, dia masih belum merubah tatapan sinis itu. Tatapan yang penuh dengan kebencian.
Sementara itu, mata Selena tampak mengikuti setiap gerakan tubuh Lucas. Sungguh perkataan Lucas kali ini membuatnya merasakan sakit hati yang begitu mendalam. Dia tidak bisa diperlakukan serendah itu oleh pria mana pun.
"Apakah semudah itu kau menemukan penggantiku?" Selena menatap Lucas dengan mata berkaca-kaca.
"Ya, semudah kau mengkhianatiku." Lucas mencebikkan bibirnya.
Sepertinya, Lucas masih belum puas membalas semua perlakuan Selena terhadapnya. Dia ingin sekali melihat Selena merasakan sakit karenanya. Itu belumlah seberapa. Dia bisa saja melakukan hal yang lebih daripada itu, tetapi tidak harus dilakukan sekarang. Dia pikir akan lebih baik, jika menghancurkan Selena secara perlahan dan berkepanjangan.
"Apa kau sungguh sejahat itu?" Selena sudah tidak lagi bisa membendung air matanya. Perlahan butiran kristal itu jatuh membasahi pipinya. Dia tidak menyangka, jika Lucas bisa melukai hatinya sedalam itu.
"Kau yang mengajarkanku untuk berbuat seperti ini."
"Kau—"
"Keluar dari ruanganku sekarang juga!" usir Lucas menatap muak wajah Selena.
Lucas segera bergegas menghampiri meja kerjanya, lalu menelepon seseorang yang entah itu siapa.
Belum sempat lima menit, tampak dua orang satpam masuk ke dalam ruangan Lucas. Mereka langsung mengapit tubuh Selena, seolah-olah sudah memahami apa yang harus mereka lakukan saat itu.
"Bawa wanita itu keluar!" tegas Lucas kepada kedua satpam yang kini berdiri di depannya.
"Baik, Pa," jawab kedua satpam itu bersamaan.
"Lucas, kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini!" teriak Selena saat dua satpam menyeretnya keluar dari ruangan itu.
Lucas memang sengaja menghubungi petugas keamanan. Dia sudah kehabisan akal untuk mengusir Selena dari ruangannya, sehingga dia memutuskan untuk menyuruh orang. Baginya, tidak ada rasa kasihan untuk orang yang sudah menyakitinya. Orang seperti Selena memang lebih baik jika lenyap dari kehidupannya.
"Lucas, tolong beri aku kesempatan!" Selena masih tidak ingin menyerah, meskipun kedua satpam itu masih berusaha mengapitnya sambil mencengkeram lengannya, menyeretnya makin jauh dari ruangan Lucas.
Sepertinya, Selena sudah memutuskan urat malunya sendiri. Bahkan, dia tidak peduli seluruh karyawan Lucas. yang sebelumnya sangat menghormatinya, sekarang justru malah mencibirnya.
Selena terus berteriak memanggil nama Lucas. Namun, Lucas sungguh sudah tidak peduli dengannya. Bahkan, dia tetap tidak akan sudi memaafkan, sekali pun wanita itu berlutut di kakinya.
'Aku terlalu berharga untuk wanita murahan sepertimu, Selena,' pikirnya.
Lucas hanya menyeringai penuh kebencian, menatap Selena yang makin jauh dari pandangannya. Namun, tentu saja dia masih terbawa emosi. Melihat Selena yang hadir di depannya, membuat dia teringat kembali kenangan manis bersama wanita itu. Hingga meja kerja pun menjadi sasaran untuk meluapkan amarahnya saat itu.
"Aarrgghh!" Lucas tampak menyapu habis seluruh benda yang ada di atas meja itu dengan tangannya.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun yang telah menghancurkan perasaanku hidup bahagia, termasuk kau, Selena!" geramnya dengan napas yang memburu, karena menahan emosinya yang begitu besar.
***
Suara isak tangis membuat Filia yang baru saja pulang kerja pun tampak memperlambat gerak langkahnya. Dia berusaha memperjelas pendengaran akan suara yang terdengar masih samar-samar. Dia memang sudah bisa memastikan siapa pemilik suara itu.
Filia terus melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati, bahkan dia berusaha agar sepatunya tidak mengeluarkan suara. Hingga langkahnya terhenti di depan kamar Ellena. Filia makin mendengar jelas suara isak tangis itu.
"Apa yang terjadi dengan Ellena? Kenapa dia terdengar begitu sedih?" gumam Filia.
Filia berniat untuk mengetuk pintu kamar Ellena, tetapi seketika dia urungkan kembali. Dia pun memutuskan untuk segera masuk ke kamar itu, berharap pintunya tidak dikunci.
Benar saja. Filia langsung membuka pintu itu, ketika dia menyadari bahwa pintunya tidak dikunci. Tampak Ellena yang sedang menekuk lututnya di atas tempat tidur sambil membenamkan wajahnya di atas lutut.
Menyadari seseorang yang masuk ke kamarnya, Ellena segera mendongak, lalu menatap Filia dengan penuh tatapan sendu. Secepat kilat dia menyeka air matanya, meskipun Filia sudah terlanjur melihatnya.
"Filia?" desis Ellena.
Wajah Ellena tampak memerah, ditambah matanya yang sudah terlihat sembab. Hal itu membuat Filia yakin bahwa sahabatnya itu sudah menangis sejak lama. Filia menatap sendu wajah Ellena. Dia memang belum tahu persis masalah yang tengah Ellena hadapi. Namun, dia yakin bahwa sahabatnya itu tengah menghadapi masalah yang begitu besar.
"Kau kenapa, Elle?" Filia menatap Ellena penuh tanya.
Melihat Ellena yang berusaha menahan tangis di depannya, membuat Filia langsung merengkuh tubuh Ellena. Sungguh dia tidak tega melihat sahabatnya sedih seperti itu.
Ellena tidak lagi bisa membendung air matanya. Dia pun menangis sejadinya di dalam pelukan Filia, menumpahkan segala emosi, kesedihan dan kecemasan yang selama ini dia pendam sendiri. Tinggal menghitung hari, dia akan menjadi istri sah Lucas.
Meskipun itu hanya menikah kontrak, tetapi sungguh membuatnya sedih memikirkan hal itu. walau bagaimana pun statusnya akan berubah, setelah kontrak itu berakhir. Entah Keenan masih akan menerimanya atau tidak. Selain hidupnya, cintanya pun sedang dia pertaruhkan dan itu cukup membuatnya tidak berdaya.
"Elle, aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi padamu. Tapi, jika kau memang sedang menghadapi masalah besar, kau bisa bercerita padaku. Kau masih menganggapku sahabatmu, kan?" Filia berusaha membujuk.
Ellena hanya menanggapinya dengan suara isak tangis yang makin mengeras, hingga membuat napasnya tersendat-sendat.
Melihat Ellena menangis seperti itu membuat Filia ikut merasakan luka yang mendalam, meskipun dia tidak mengetahui luka apa yang sudah membuat sahabatnya menangis seperti itu.
Filia makin mempererat pelukannya, lalu mengusap-usap punggung Ellena. Hanya itu yang saat ini bisa dia lakukan untuk menenangkan Ellena.
"Aku tahu kau adalah wanita yang kuat, jadi yakinlah bahwa kau bisa melewati semua masalahmu."
"Tidak! Ini sangat sulit bagiku, Filia." Ellena menggelengkan kepalanya berulang kali.
Mendengar Ellena yang mulai berbicara, Filia merenggangkan tubuhnya dari tubuh Ellena. Dia menatap wajah yang masih penuh dengan air mata itu. Sementara, Ellena masih belum mengakhiri isak tangisnya.
"Katakan, apa yang membuatmu menangis seperti ini?" Filia menatap serius wajah Ellena.
"Kau tidak mempercayaiku, sehingga begitu sulit untuk menceritakan semua masalahmu padaku?" tanya Filia saat Ellena belum juga menanggapi pertanyaannya terlebih dahulu.
Ellena pun menceritakan semua masalahnya kepada Filia. Meskipun sahabatnya itu tidak bisa membalikkan lagi keadaan, setidaknya dia akan merasa sedikit lega, setelah menumpahkan semua perasaannya. Karena hanya Filia sahabat satu-satunya yang dia miliki, sehingga hanya kepada sahabatnya itu dia bisa mencurahkan segala isi hatinya.