"Pertama, Aurel sudah kehilangan kesempatan emasnya untuk bisa merancang sebuah gaun pengantin dari seorang direktur perusahaan terkenal gara-gara ia terus mengundur-undur pertemuan dengannya." Jane memulai obrolan dengan semangat berkobar-kobar. "Lalu kedua—"
"Tunggu sebentar," sela Ricky saat ia menyadari ada yang aneh dengan jalan yang sedang dilewati itu. "Kita mau kemana? Aku tahu ini bukan jalan pulang."
"Ke butiknya Aurel. Dia ada di sana," jawab Jane.
"Tapi aku mau pulang," timpal Ricky.
"Kau bilang kau mau minta maaf pada Aurel! Gimana, sih!" hardik Jane dengan mata terfokus pada jalan.
"Iya mbak, iya." Nyali Ricky tiba-tiba saja menciut karena bule yang tempramen itu.
"Jangan panggil mbak. Panggil Jane aja," timpal Jane. "Mau lanjutin lagi, gak?" Bisa terdengar dari suaranya kalau ia masih emosi.
(Kayaknya lagi pms nih cewek,) batin Ricky. Kalau bukan itu dan memang tempramen, membuat Jane marah tentunya sangat merepotkan. "Iya mau."
Jane menghela napas sejenak untuk kembali melanjutkan omongannya. "Terus kedua, dia lebih memilih menggunakan uang terakhirnya saat itu untuk membeli jam dan piring cantik untukmu ketimbang bahan-bahan kain untuk keperluan butiknya yang bisa saja berakibat cukup fatal. Tapi untungnya sekarang sudah diatasi."
"Kau masih ingat saat UN SMP-mu dulu?" tanya Jane. "Apa yang Aurel lakukan untukmu?"
"Masih. Dia sering video call denganku," jawab Ricky.
"Untuk mengajarimu, kan?"
"Iya. Memang kenapa?"
Jane menghela napas lagi dan dihembuskan perlahan. "Dia mengelilingi hampir ke seluruh Sydney untuk mencari buku yang berkaitan dengan pelajaranmu itu. Dia juga mencarinya lewat e-book di internet. Lalu ia belajar mati-matian mengulang pelajaran SMP hanya untuk mengajarimu," Jane memainkan jarinya di stir mobil, "Dan menomorduakan kampusnya, padahal minggu depan saat itu akan diadakan tes. Untungnya Aurel bisa melewati tes itu walau mendapat nilai urutan ke-5 paling bawah."
Ricky teringat sesuatu, ia pun melihat isi tasnya dan mengambil sebuah roti. Ia membuka plastik itu dan ia tawarkan pada Jane dengan ekspresi biasa saja seakan cerita Jane itu tidak menarik sama sekali.
"Kamu dari tadi gak dengerin, ya?" kata Jane keki. Ia tak menggubris tawaran roti itu.
"Dengerin kok," jawabnya dengan mulut berisi.
"Kok responnya biasa banget, sih?"
Ricky menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Terus harus respon gimana lagi?" tanyanya polos.
"Bilang dia baik kek, bersyukur karena punya kakak yang baik kek, terima kasih padanya kek, nangis terharu kek," timpal Jane yang rasanya ingin meledak kembali.
"Emangnya ini FTV, sampai selebay itu?" cibir Ricky.
"Ya tapi kan seenggaknya, kasih respon yang pas gitu," kata Jane.
"Hhh... gimana ya?" Ricky mengusap tengkuk lehernya, "Aku gak biasa ngobrol tentang Kak Aurel dengan orang yang belum aku kenal sepertimu."
Emosi Jane menguap habis seketika. Ia tidak mengerti mau bilang apa lagi di suasana yang mulai awkward itu. Seharusnya ia ingat perkataan Aurel, kalau Ricky keras kepala tidak biasa mengobrol perihal keluarganya dengan orang yang baru saja ia kenal. Dan Ricky sendiri baru mengenal Jane.
"Tapi sebenarnya kamu sudah tau tentang apa yang aku jelasin tadi apa belum?" Jane mencoba menyusun suasana baru.
"Belum," jawab Ricky singkat.
"Jadi, kamu baru tau kalau Aurel mengorbankan banyak hal demi kamu?" tanya Jane lagi.
"Iya."
"Jadi, apa sekarang pikiranmu berubah tentang Aurel?"
"Well, mungkin," jawab Ricky ragu.
"Apa kamu menyayangi Aurel?"
Pertanyaan itu menarik perhatian Ricky dan memandang Jane terheran-heran. Sudah dibilang kan kalau ia tidak suka mengobrol tentang keluarganya dengan orang yang baru ia kenal itu. Tapi kenapa Jane malah bertanya tentang Aurel lagi?
***
Sebuah mobil beetle putih terparkir di depan toko berlantai dua.
Setelah kunci mobil terbuka, Ricky pun keluar dari mobil itu. Ia melihat toko sederhana namun terkesan elegan dengan perpaduan warna ungu dan biru. Tulisan besar 'Blue Jellyfish' tergantung diantara lantai satu dan dua gedung itu.
Ricky mengekor di belakang Jane saat ia masuk ke dalam butik. Hawa sejuk yang keluar dari pendingin ruangan berhembus kencang tepat saat mereka membuka pintu. Jujur saja, ini pertama kalinya Ricky masuk ke dalam butik kakaknya itu. Sebelumnya ia tidak pernah tahu kalau ternyata Aurel bisa mempunyai toko butik sebesar ini.
"Miss Eddward! Welcome!" sambut seorang pria dengan meteran baju melingkar mengitari pundaknya. "What are you looking-looking now?"
"Hai Eko," sapa Jane sambil menghampirinya. "Jangan sok ngomong bahasa Inggris lagi deh kalau masih belum paham. Nanti kalau aku sudah ngomong Inggris tanpa jeda, kamu nangis lagi kayak kemarin," ledeknya.
"Ya ampun cin, namanya juga belajar," timpal pria berambut klimis itu. "Kemarin tuh ya, eke udah belajar bahasa Inggris sampai begadang semaleman bok. Nih, sampai kebentuk kantong mata gini." Pria itu menunjukkan kedua kantung matanya yang menghitam.
"Iya iya. Baguslah," puji Jane. "Berarti sekarang udah bisa diajak ngomong Inggris dong."
"Lumayan," jawabnya sambil mengedikkan bahu.
"Where's Aurel?" tanya Jane.
"Sebentar miss," Eko langsung mengeluarkan kamus tebal kecil di sakunya, "where... where itu..."
Jane memutar mata kelabunya. "Aurel di mana?"
"Ooh Aurel. Dia pergi," jawab Eko.
"Ke mana?"
"Ke supermarket sebelah kalau tidak salah. Deket kok dari sini," jawabnya lagi. Tiba-tiba mata hitamnya menangkap seorang remaja yang sedang melihat-lihat kemeja yang dijajakan.
"Thanks," kata Jane.
Tanpa merespon Jane, Eko mendekati remaja itu dengan kedua jari membentuk persegi dan ia melihat remaja itu di balik jari-jarinya.
"Ooh My God!!" pekik Eko.
Pekikan yang kencang cukup membuat beberapa pengunjung menoleh ke arahnya. Apalagi Ricky yang ada di hadapannya itu.
"Akhirnya! Akhirnya eke ketemu model yang pas!!" jerit Eko layaknya seorang wanita yang baru saja menemukan gaun dengan diskon 99%.
Ricky benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu menjerit histeri ke arahnya.
"Ganteng, sini deh sini." Eko langsung mendorong remaja yang lebih rendah darinya itu ke suatu tempat di mana tergantungnya jaket-jaket di sudut toko.Ricky berusaha untuk berhenti di tempat, tapi pria berpakaian cukup ketat itu terus mendorongnya tanpa menggubrisnya. Ia mengambil salah satu jaket berbahan jeans dan ia paksakan Ricky untuk mengenakannya. Setelah itu, ia dorong kembali untuk menghadap cermin.
"Tuh lihat. Bagus, kan?" kata Eko.
Ricky memutar-mutar tubuhnya yang sudah terbalut jaket jeans modis itu. "Keren," gumamnya sambil tersenyum puas. Ia belum pernah punya jaket berbahan jeans sebelumnya dan rasanya ia ingin membelinya. "Ini berapa?" tanya Ricky.
"600 ribu aja. Sudah didiskon 40% ini," jawab Eko.
Ricky hanya bisa menelan ludah saat mendengar harga yang terpaut jauh dari ukuran uang saku per minggunya itu. Ia pun segera melepas jaket dan mengembalikannya pada Eko. "Nanti aja deh. Bilang orang tua dulu."
"Nggak apa-apa. Ini buat kamu," kata Eko sambil memberikan jaket itu pada Ricky.
"Seriusan?" Sumringah lebar terpatri di wajah tampannya saat mendengar itu.
"Iya. Kalau kamu mau jadi model untuk promosi jaket ini, eke kasih deh," kata Eko, "Aurel baru saja menyelesaikan ini minggu lalu. Pembuatan massal juga selesai. Tinggal promosi saja," tambahnya. "Mau jadi model jaket ini, kan? Serius deh, kamu tuh pas banget jadi model jaket ini. Tinggimu pas, tubuhmu juga ideal, wajahmu juga wajah model!!"
"Model? Nggak makasih." Ricky kembali mengembalikan jaket itu pada Eko dan ia langsung menghampiri Jane tanpa mempedulikan panggilan Eko.
Jane mengantungi ponselnya saat melihat kehadiran Ricky. "Gimana? Udah lihat-lihatnya?"
"Ya. Kak Aurel di mana emangnya?"
"Di supermarket. Ayo ke sana!" kata Jane sambil melangkah keluar dari butik itu.
"Miss Jane! Kamu kenal berondong itu?" panggilan Eko menghentikan langkah Jane.
"Ayo keluar, Jane," kata Ricky sambil menarik ujung pakaian Jane untuk segera keluar. Kata berondong yang keluar dari mulut pria itu membuatnya merinding disko dan semakin tidak betah lama-lama di dalam.
"Iya. Namanya Ricky. Adiknya Aurel," jawab Jane. Ia berjalan keluar sambil menoleh ke arah Eko.
"Ihh demi apa adeknya Aurel?!"
Teriakan tidak menyangka itu adalah suara terakhir yang Ricky dengar sebelum ia benar-benar keluar dari butik.
"Issh... kenapa kebanyakan cowok perancang baju itu melambai gitu, sih?" gerutu Ricky yang saat ini sedang jalan sejajar dengan Jane.
"Nggak juga. Pacarku seorang perancang gaun pengantin profesional dan dia gentle abis!" Jane membanggakan pacarnya itu.
Kali ini Ricky tidak menyangka kalau bule di sebelahnya itu benar-benar fasih berbahasa Indonesia. "Kirain tampilan tomboi bakal sulit dapat pacar," komentarnya.
"Enak aja!" Tiba-tiba mata kelabu Jane melihat seorang gadis yang sangat familiar sedang duduk di kursi luar supermarket. "Aurel!!" panggil Jane sambil berlari kecil menghampirinya.
Merasa ada yang memanggil namanya, gadis bersurai panjang itu mengangkat kepalanya untuk mencari sumber suara. Ia pun berdiri dan menghampiri mereka. "Jane? Kenapa kamu gak nganterin pulang Ricky?" heran Aurel.
"Tuh kan, dibilang juga apa. Kak Aurel kan nyuruh anter pulang," sambar Ricky.
"Bawel!" gerutu Jane sambil menjitak Ricky di sebelahnya.
"Woy! Ngepain pake jitak segala?!" Ricky merasa kepalanya berdenyut karena menerima hantaman yang keras itu.
"Kiki, kamu gak apa-apa?" cemas Aurel.
"Karena kau nyebelin!" sembur Jane. Lalu ia menoleh ke Aurel yang akan menghampiri adiknya itu. "Aurel! Udah dibilang berapa kali jangan manjain Ricky terus!! Dia udah gede. Gak usah peduli berlebihan sama dia gara-gara aku jitak doang, Aurel!!!"
Aurel dan Ricky hanya bisa terdiam mendengar amukan massa dalam diri Jane itu.
"Aduh! Sakit perut lagi! Udah ah aku mau pulang sekarang!!" erang Jane sambil melompat-lompat tidak jelas. "Curse you mensturation!!"
(Ahh... dia memang lagi pms,) batin Aurel dan Ricky yang hampir bersamaan.