Sayup-sayup lantunan tenang suara alarm menyelusup ke alam tidurnya, membuat Daryl tersadar dari mimpi indahnya yang berwarna-warni, dan menariknya kembali ke dunianya yang kelabu.
Daryl membuka kelopak matanya dengan malas dan mematikan alarm yang sudah berbunyi selama 2 menit.
Ia duduk di sudut ranjangnya dan menoleh ke arah jendela yang terbuka di sampingnya.
Tampak langit yang mendung, gelap tak bersahabat.
Beberapa pesawat pengawas Plaga yang berbentuk prisma hitam terlihat berpatroli dengan tenang, berkeliling, mengawasi kota yang baru saja terbangun.
Daryl turun dari ranjangnya dan menggigil ketika kakinya menyentuh lantai yang dingin. Ia memperhatikan jendela yang terbuka dengan bingung, merasa yakin bahwa ia sudah menutupnya sebelum tidur. Ia tak mau ambil pusing dan langsung menutupnya.
Terhuyung-huyung ia berjalan ke arah kamar mandi yang gelap. Ia menghidupkan lampu dan berjalan ke arah cermin, mencengkram pinggir westafel agar tak kehilangan keseimbangan.
Matanya terbelalak saat melihat pantulan bayangannya di cermin. Bagian bawah bibirnya sampai dada di tutupi oleh cairan hitam yang sudah mengering seperti noda dari tinta hitam. Ia mencoba meraba dadanya untuk memastikan bekas cairan apa itu. Namun ia kembali terkejut ketika melihat jari-jarinya yang di penuhi oleh noda yang sama. Ia memandang kedua jarinya dan mengendusnya. Amis.
Daryl menyalakan keran, mencoba membersihkan noda di tangannya dengan panik, namun noda itu tak mudah untuk di bersihkan. Ia menyalakan shower dan mencoba membasuh noda itu menggunakan sabun. Dengan sedikit usaha akhirnya noda hitam di tubuhnya luntur. Ia terdiam di bawah pancuran deras air shower, memandangi cairan hitam yang telah luntur terbawa oleh genangan air dan masuk ke saluran pembuangan. Ia mencoba mengingat bagaimana ia bisa mendapatkan noda itu di tubuhnya semalam. Nihil. Ia tak bisa mengingat apapun.
***
Daryl berjalan ke ruang tamu sambil membawa sarapannya dan menyalakan TV. Ketika sedang memindahkan channel untuk mencari acara kartun superhero kesukaanya, ia tak sengaja melihat sebuah channel berita. Ia berhenti sejenak kemudian mengganti channel lagi dan menyadari bahwa channel lainnya juga sedang menayangkan berita dengan headline yang sama.
Hari pemilihan.
"Hmm", gumamnya. Ia mengedikkan bahu dan memutuskan untuk menonton berita sambil menikmati sarapannya.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari TV ia membuka bungkus biskuit, mengambil sekeping biskuit, mencelupnya sebentar dan kemudian memakannya. Ia terus mengulangi hal ini sembari menonton TV.
Di layar TV tampak seorang reporter perempuan dengan seragam biru sedang memberikan laporan.
Gambar kemudian berpindah ke jalanan dan sebuah gedung yang di penuhi oleh tentara dan polisi. Tampak mereka berparade di jalanan kota seolah-olah sedang merayakan suatu kemenangan. Ironis. Padahal ini adalah hari di mana bumi kalah.
Masih belum megalihkan pandangannya dari TV, Daryl meraih ke bungkus biskuit, ia meremas-remas bungkus itu dan kemudian mengalihkan pandangannya ke bawah setelah menyadari sesuatu, bungkus biskuit itu sudah kosong.
Ia terlihat kecewa dan mulai menegak isi gelasnya, kemudian melihat ke layar TV lagi. Reporter itu kini tengah mewawancarai seorang perwira militer yang terlihat tegas dan kuat. Perwira itu meyakinkan sang reporter bahwa hari pemilihan tahun ini akan berjalan lancar seperti yang sudah-sudah.
Setelah wawancara selesai, tayangan kemudian berpindah ke dalam studio. Seorang pembawa acara pria melanjutkan laporan dari reporter di lapangan tadi.
Daryl mematikan TV, dan membereskan sisa sarapannya. Ia kemudian meraih Handphonenya yang tergeletak di atas meja dan berjalan ke arah pintu keluar.
Daryl berhenti sejenak ketika ia melihat kalender yang tergantung di dekat pintu.
Ia memandangi tanggal hari ini, 3 Juli, yang sudah di lingkari dengan spidol merah serta tulisan kecil di luar lingkaran tersebut yang bertuliskan 'Happy Birthday to me'.
Daryl tersenyum sinis dan lanjut berjalan keluar kemudian menutup pintu kamar apartemen di belakangnya.
Saat sedang mengunci pintu kamarnya Daryl mendengar sapaan dari arah kamar di belakangnya, sapaan hangat yang selalu ia dengar setiap pagi.
"Pagi Daryl."
Daryl memutar badan dan melihat Tn. Delmar, seorang pria berusia 40-an berperawakan gemuk dengan rambut dan janggut yang sudah mulai memutih.
"Pagi Tn. Delmar." Daryl melirik tas perkakas kerja di tangan kanan Tn. Delmar.
"Apa kau ingin memperbaiki sesuatu ?"
"Oh ini?" Tn. Delmar mengangkat tas perkakasnya.
"Ya, aku ingin memperbaiki tangga darurat yang ada di luar kamarmu."
Daryl menaikkan sebelah alisnya. Ia terlihat bingung.
"Memangnya tangga itu rusak ?"
"Aku melihat tangga itu sudah di turunkan ketika aku sedang lari pagi, dan ketika aku berniat menaikkannya lagi tadi aku melihat ada penyokan di pijakannya. Seperti ada orang yang sudah memukulnya dengan palu. Tapi anehnya aku tak mendengar ada suara pukulan ataupun bunyi-bunyi mencurigakan lainnya tadi malam. Saking sunyinya aku bahkan tak tahu kalau tangga itu sudah diturunkan."
Tn. Delmar memperhatikan raut wajah Daryl yang terlihat kebingungan.
"Apa kau tak mendengar atau melihat sesuatu tadi malam? Tangga itu kan terletak di dekat kamarmu."
Daryl hanya terdiam mendengar pertanyaan Tn. Delmar. Ia mencoba mengingat-ingat lagi apa yang sudah terjadi tadi malam. Namun sia-sia saja, ia masih belum bisa mengingat apa-pun.
"Maaf Tn. Delmar, aku tak ingat." Daryl mengendikkan bahu. "Aku tidur sangat nyenyak semalam."
"Oh baiklah. Ngomong-ngomong kau mau ke mana di hari libur seperti ini?"
"Aku mau belanja bersama Eve untuk pesta nanti malam."
"Hoo, kencan ya?" olok Tn. Delmar.
Daryl hanya mengangguk sambil tersenyum simpul.
"Baiklah pergi sana. Jangan sampai kau mambuat seorang gadis menunggu."
Daryl mengangguk lagi dan berjalan ke arah tangga.
"Oiya Daryl," panggil Delmar.
Daryl berhenti tepat di ujung tangga, ia membalikkan badan dan menunggu.
"Selamat ulang tahun nak," lanjut Delmar.
Kata-kata itu membuat Daryl tersenyum lebar. " Terima kasih Tn. Delmar," lanjutnya.
***
Daryl berjalan menyusuri trotoar yang di penuhi pejalan kaki lainnya hingga ia sampai di depan gerbang perbatasan distrik. Gerbang itu adalah satu-satunya jalan keluar masuk dari distrik tempat tinggal Daryl yang di kelilingi oleh tembok setinggi 20 meter, memisahkan distriknya dari distrik lain di kota ini.
Empat orang penjaga bersenjata berseragam biru tua terlihat bersiaga di posisinya masing-masing.
Sambil memasuki antrian, Daryl memperhatikan papan-papan iklan , spanduk dan reklame milik pemerintah yang berada hampir di tiap sudut jalan dan tembok-tembok gedung.
Semuanya menyuarakan slogan yang sama , 'Mari bersama tingkatkan angka kelahiran'. Daryl menatap tayangan iklan layanan masyarakat yang di putar berulang-ulang di sebuah layar raksasa di pinggir jalan.
Tayangan yang menunjukkan sebuah keluarga besar dengan lima orang anak. Mereka semua tersenyum, seolah-olah mereka adalah manusia yang paling bahagia di muka bumi ini.
Daryl hanya berdiri diam saat menatap dingin ke arah layar. Entah sudah berapa kali ia melihat iklan itu. Jelas ia sudah muak dengan kebohongan yang tiap hari di tunjukkan kepada masyarakat seperti dirinya.
"Berikutnya."
Daryl tersentak dari lamunanya, dan langsung melangkah ke bagian pemindaian. Ia berdiri diam selama beberapa saat, sementara sebuah sinar laser berwarna merah menelusuri tubuhnya dari kepala hingga ke ujung kaki. Setelah pemindaian selesai, informasi mengenai dirinya muncul di layar komputer petugas gerbang. Si petugas kemudian mengangguk kepadanya, isyarat bahwa ia bisa melanjutkan ke gerbang. Pintu gerbang setinggi 20 meter itu terbuka sebentar dan kembali menutup setelah Daryl melewatinya.
Ia berjalan ke sebuah halte bus dan melihat ke sekitarnya, seperti sedang mencari sesorang. Ia kemudian duduk menunggu dan mengeluarkan HP dari saku jaket. Ketika sedang sibuk melihat-lihat playlist lagu, tiba-tiba pipi kanannya di cium oleh seseorang. Daryl yang kaget memegangi pipi kanannya dan menoleh ke belakang. Ia melihat Eve yang sedang berdiri dan tersenyum lebar. Eve kemudian duduk di sebelah Daryl yang wajahnya memerah.
"Ini masih pagi lho," ucap Daryl pelan sambil tersipu.
"Ya aku tahu, anggap saja sebagai kado ulang tahunmu yang pertama," balas Eve kalem.
Daryl menatap pacarnya dengan pandangan mesra, ia masih tak percaya ia bisa pacaran dengan gadis seimut Eve. Tubuh Eve mungil dan sedikit berisi. Rambutnya hitam bergelombang dan di potong pendek. Setitik tahi lalat kecil menghiasi samping kanan dagunya. Matanya kecil dan bibirnya yang tipis menyunggingkan senyuman yang manis dan lembut. Daryl seperti terhipnotis dan tak menyadari bahwa bus telah tiba di depan mereka. Eve harus menyadarkannya dari lamunan sebelum pintu bus di tutup lagi dan beranjak pergi meninggalkan mereka.
Ketika sedang menaiki bus, Daryl tak sengaja melihat sahabatnya Norman yang baru saja keluar dari gerbang sambil membawa sebuah tas di punggungnya. Daryl hendak memanggilnya namun terlambat. Pintu bus sudah menutup. Iapun mengurungkan niatnya dan pergi duduk di sebelah Eve.
Di dalam bus, Eve menyadari bahwa rambut Daryl sudah tumbuh panjang. Tangannya meraih ujung rambut hitam Daryl yang sudah tumbuh melewati leher.
"Kau masih belum memotong rambutmu ?" Tanya Eve.
"Aku malas pergi ke salon."
"Dasar."
Ia kemudian merogoh ke dalam saku tasnya dan mengambil sebuah gelang karet merah.
Eve kembali meraih rambut belakang Daryl dan mulai mengikatnya dengan lembut. Daryl pun menghadap ke jendela di samping kanannya, membiarkan Eve mengikat rambutnya, sementara ia melihat jalanan yang di penuhi orang-orang yang terlihat tak bersemangat.
"Jadi, hari ini seperti biasa ?"
Eve selesai mengikat rambut Daryl dan menjawab pertanyaanya,"Ya seperti biasa."
Daryl membalikkan badan dan melihat wajah Eve yang berseri-seri. Dia benar-benar terlihat bersemangat.
"Bagusnya masak apa ya malam ini?" tanyanya lagi.
"Kau kokinya, aku serahkan pilihan menunya padamu."
"Baiklah karena aku yang memilih, maka kita akan makan kodok goreng malam ini."
"Okay, aku tarik ucapanku."
Eve tertawa terbahak-bahak.
"Aku hanya bercanda, mana mungkin aku akan memasakanmu dan anak-anak kodok goreng."
"Yah maklum,kadang selera masakanmu bisa jadi aneh."
"Tapi kau akan tetap memakan apapun yang ku masakkan untukkmu bukan?" goda Eve sambil tersenyum mengolok.
Daryl hanya tersipu malu dan tak membalas olokan Eve. Dalam hati ia membenarkan perkataannya. Tentu saja karena Eve pandai memasak berbagai jenis makanan dan hasil masakannya selalu enak. Tapi untuk kodok goreng, mungkin ia akan berpikir dua kali sebelum memakannya.
Eve hanya tersenyum melihat Daryl yang tersipu. Ia kemudian memegang tangan kiri Daryl dan Daryl membalas pegangannya.
Bus memasuki jembatan yang terbentang di atas teluk yang membelah kota menjadi dua bagian.
Mereka berdua duduk dalam diam dan memandang ke arah luar jendela, menyaksikan awan mendung yang perlahan memenuhi seluruh permukaan langit dan pesawat-pesawat komando Plaga yang tampak bergelantungan di langit.
********
Daryl memasukkan 1 pack telur ke dalam troli belanja kemudian menatap Eve yang sedang memegang daftar belanjaan. Ia menunggu instruksi selanjutnya.
"Baiklah itu yang terakhir. Ayo segera ke kasir."
"Oh terima kasih Tuhan, ku pikir selanjutnya kau akan menyebut 3 potong daging kodok."
"Hmm, mungkin aku harus membelinya," kata Eve sambil tersenyum nakal.
"Tolong jangan," jawab Daryl dengan lemas.
Mereka keluar dari toko dengan kedua tangan masing-masing membawa kantong belanjaan. Keduanya berjalan menyisiri trotoar sambil bercanda dan tertawa bersama. Namun tawa mereka terhenti ketika menyadari orang-orang di sekitar mereka diam mematung dan melihat ke arah yang sama. Mereka berdua lalu mengikuti arah pandangan orang-orang itu dan menyaksikan pemandangan tak biasa di depan mereka.
Empat orang Lunarian dan empat Plaga sedang berjalan di trotoar yang sama dengan mereka, dan lagi, mereka berjalan ke arah Daryl dan Eve.
Empat orang yang berjalan di depan para Plaga itu adalah Lunarian. Mereka di sebut Lunarian karena mereka berasal dari koloni yang berada di bulan. Para Lunarian ini adalah sekelompok manusia yang merupakan tangan kanan sekaligus militer pribadi dari bangsa Plaga. Bisa di katakan mereka adalah 'rekan' dari Kekaisaran Plaga.
Rombongan ini terlihat tak biasa di mata warga biasa karena ini pertama kalinya mereka melihat bangsa Plaga berjalan di belakang Lunarian, padahal menurut pengetahuan umum bangsa Lunarian-lah yang melayani bangsa Plaga sebagai tangan kanan mereka, bukan sebaliknya. Jadi siapakah Lunarian yang berjalan paling depan itu. Apakah statusnya setara atau bahkan berada di atas prajurit Plaga, tak ada yang tahu.
Tiga dari Lunarian itu memakai seragam dan helm berwarna abu-abu, sedangkan salah seorang dari mereka yang berjalan paling depan mengenakan seragam, helm dan jubah berwarna putih bersih. Dari bagian belakang helmnya yang tak tertutup terurai rambut panjang berwarna abu-abu yang di kepang dengan rapi. Di dada kanan mereka berempat tersemat sebuah pin berwarna perak berbentuk bulan, yang merupakan lambang koloni sekaligus pangkalan tempur utama mereka.
Di belakang mereka ada empat bangsa Plaga yang mengenakan seragam dan helm serupa dengan ketiga Lunarian di depan mereka, namun dengan warna hitam kelam.
Jika di lihat sekilas para Plaga itu terlihat seperti manusia biasa pada umumnya, hanya saja dengan tinggi badan yang melebihi manusia biasa. Rata-rata Plaga memiliki tinggi 2,5 meter, jadi orang awam bisa langsung mengenali mana yang manusia dan mana yang Plaga walaupun mereka memakai seragam dan helm yang sama.
Meskipun begitu tak ada penduduk biasa yang pernah melihat bentuk asli dari bangsa plaga. Banyak orang yang penasaran, seperti apa bentuk alien yang ada di balik seragam dan helm hitam itu. Apakah mereka juga memiliki rupa seperti manusia atau malah memiliki wajah yang berbentuk seperti monster. Tak ada yang tahu. kabarnya juga mereka memiliki kekuatan yang setara dengan dua ekor beruang dewasa. Walaupun hanya kabar burung, tapi hal itu cukup untuk membuat orang-orang segan terhadap bangsa Plaga.
Orang-orang yang berada di trotoar langsung menyingkir dan memberikan jalan. Semua orang menunduk ketika mereka lewat, tak berani menatap langsung ke arah rombongan itu.
Eve dan Daryl juga menyingkir ke samping dan menundukkan wajah mereka berdua.
Rombongan itu berjalan hingga sampai ke depan toko tempat Eve dan Daryl berbelanja sebelumnya. Ketiga Lunarian dan keempat Plaga itu berdiri di depan toko dan berjaga, sedangkan Lunarian yang berseragam putih memasuki toko.
Daryl mengangkat kepalanya dan melihat ke arah toko. Dari jendela yang tembus pandang ia bisa melihat Lunarian berseragam putih tadi menunjukkan sebuah foto kepada kasir. Daryl tak bisa melihatnya dengan jelas karena jarak yang agak jauh, namun ia bisa memastikan jika itu adalah foto seorang gadis muda. Sepertinya ia sedang mencari seseorang.
Eve kemudian menarik tangan Daryl dan mengajaknya pergi dari situ. Raut wajahnya terlihat sangat cemas. Namun baru saja mereka akan meninggalkan tempat itu seorang Lunarian yang berjaga di luar toko langsung memanggil mereka berdua.
"Hei, berhenti. Kalian berdua kemarilah!" Perintahnya dengan kasar.
Mereka berdua saling memandang, tahu bahwa mereka akan terkena masalah.
"Apa kau tuli?! Jangan sampai aku memaksa kalian dengan kekerasan!" Hardiknya.
Daryl dan Eve hanya bisa menurut. Mereka berjalan pelan ke arah Lunarian itu.
Sementara itu dua rekannya tertawa kecil ketika melihatnya memanggil Eve dan Daryl dengan kasar.
"Roy mau berulah lagi," ucap salah satu dari mereka sambil menggelengkan kepalanya.
Lunarian yang bernama Roy itu menatap ke arah Eve yang sedang bersembunyi di belakang tubuh Daryl. Daryl tak tahu ekspresi macam apa yang Lunarian itu tunjukkan di balik kaca helmnya tersebut.
"Apa kalian berdua pacaran?"
"Ya," jawab Daryl singkat. Ia terlihat begitu waspada.
"Kau bocah yang beruntung, bisa mendapatkan pacar secantik ini."
Ia menggeser tubuh Daryl dengan kasar dan berjalan menghampiri Eve yang ketakutan.
"Hei-!"
Daryl ingin menghentikan Roy, namun ia di tahan oleh rekannya. Kantong belanjaannya pun terjatuh ke tanah.
Roy memegang dagu Eve dan mengangkat wajahnya. Telapak tangannya kemudian mulai meraba pipi Eve dan terus sampai ke leher. Ia meraba-raba leher Eve, mengacuhkan mata Eve yang mulai basah karena air mata. Daryl semakin berang, ia mencoba memberontak namun pegangan Lunarian itu begitu kuat hingga iapun tak mampu berkutik.
Orang-orang di sekitar mereka hanya bisa melihat dan tak ada yang berani menolong. Sedangkan keempat Plaga itu benar-benar terlihat tak peduli. Mereka hanya diam di posisi mereka dan tak bergerak sedikitpun.
Tangan Roy kembali bergerak, mengerayangi seluruh tubuh Eve sampai ke pinggul. Ia meraih ke arah belakang pinggang Eve dan mendorong Eve mendekat ke tubuhnya, membuat Eve terkesiap. Setelah puas ia kemudian mendorong Eve sambil terkekeh dan berjalan ke arah Daryl yang langsung di lepaskan oleh rekannya.
Ia menepuk-nepuk kepala Daryl seolah sedang menghadapi anak kecil.
"Pergi dari sini, dan bawa gadis itu pulang nak." Roy mencemooh Daryl.
Daryl mengepalkan tinjunya, bersiap untuk melayangkan pukulannya, namun ia di tahan oleh Eve yang langsung meraih tangannya.
"Ayo, kita pergi saja dari sini Daryl. Tolong jangan membuat masalah dengan mereka," ucap Eve sambil menahan isak tangisnya.
Gerimis mulai turun, membasahi aspal jalanan.
Di bawah guyuran gerimis, Daryl masih berdiri diam. Ia sangat ingin menghajar ketiga Lunarian yang ada di depannya, namun ia sadar jika ia melakukannya maka ia akan di tangkap dan di kirim langsung bersama para terpilih tanpa melalui proses pengundian.
Eve terus memohon kepada Daryl untuk segera pergi. Daryl akhirnya luluh melihat Eve yang terlihat sangat ketakutan. Ia mengambil kantong belanjaannya yang terjatuh dan langsung mengandeng Eve, berusaha meninggalkan tempat itu secepatnya.
Ketiga Lunarian itu tertawa terbahak-bahak melihat Daryl dan Eve yang pergi dengan tergesa-gesa.
"Hahaha, larilah seperti pengecut. Kau beruntung aku masih bisa menahan diriku dan tak langsung membawanya ke motel terdekat!"
Dua rekannya tertawa lebih keras ketika mendengar ejekan itu.
Daryl berhenti melangkah. Ia terdiam sebentar. Tampaknya hujan ini masih belum cukup untuk mendinginkan kepalanya yang sudah terlanjur panas.
Ia membalikkan badan, berjalan ke arah ketiga Lunarian yang masih sibuk tertawa dan tak memperhatikannya.
Ia menepuk bahu Roy yang membelakanginya. Roy membalikkan badan dan langsung di sambut oleh tandukan kepala Daryl yang langsung menghancurkan kaca helmnya sekaligus mematahkan hidungnya.
Ia pun terjatuh ke tanah. Ia terlihat linglung dan kaget ketika menyadari hidungnya telah patah. Ia memegangi hidungnya dan mengerang keras.
"Argh! Keparat! Tangkap anak sialan itu!"
Dua rekannya yang masih kaget tersadar dan maju mendekati Daryl. Mereka mengeluarkan senjata berupa pentungan hitam. Sepertinya mereka berdua benar-benar berniat untuk menghajarnya. Daryl bukannya gentar. Ia malah memajukan tinjunya serta mengambil posisi bertarung. Ia sudah tak peduli lagi apa yang akan terjadi kepada dirinya. Ia akan cukup puas selama ia bisa menghajar ketiga orang yang ada di depannya saat ini. Amarah benar-benar sudah menguasai kepalanya.
Ketika ketegangan semakin memuncak dan mereka sudah bersiap untuk saling menerjang, mereka terhenti oleh suara lantang seorang perempuan.
"Cukup!"
Mereka semua memandang ke arah pintu toko. Ternyata itu adalah Lunarian yang berseragam putih.
Ia berjalan keluar dan berdiri di antara Daryl dan ketiga Lunarian itu. Ia memandang ke arah rekannya yang sedang memegangi hidungnya yang patah, kemudian menatap dahi Daryl. Ia langsung memahami apa yang sudah terjadi.
"Apa lagi yang kau lakukan sekarang Roy?"
Roy bangkit di bantu oleh kedua rekannya. Ia menunjuk ke arah Daryl.
"Kapten Julian, izinkan aku untuk menangkap bocah keparat ini! Ia sudah berani menyerang seorang Lunarian!" Ucapnya dengan berang.
Julian menatap Daryl.
"Kenapa kau menyerangnya? Kau tentu tahu hukuman bagi orang yang berani menyerang seorang Lunarian bukan?"
"Ya, aku tahu."
"Kalau begitu kenapa-"
"Rekanmu melecehkan pacarku, dan aku tak bisa tinggal diam saja melihatnya!" potong Daryl.
Julian terdiam selama beberapa saat.
"Tentu saja." Ia menghela napas.
Julian menekan tombol kecil di sisi kanan helmnya. Kaca helm pun terbuka dan menunjukkan wajah di balik helm tersebut. Seorang wanita berparas cantik dan berkulit putih pucat, seputih salju musim dingin. Matanya berwarna merah menyala. Wajahnya menunjukkan sebuah ketenangan yang luar biasa.
Ia meletakkan tangan kanannya di depan dada dan membungkukkan tubuhnya di hadapan Daryl.
Orang-orang yang ada di trotoar dan jalanan yang sejak tadi melihat seluruh kejadian itu terkejut bukan main. Seorang Lunarian membungkuk di depan seorang warga biasa. Ini pertama kalinya dalam sejarah.
"Tolong ijinkan aku meminta maaf atas kesalahan bawahanku, ini takkan terulang lagi, aku berjanji."
Daryl terpana, tak yakin harus melakukan apa. Eve langsung menarik tangannya dan membawanya pergi dari situ.
Julian kembali menegakkan badannya. Ia melihat ke arah tiga bawahannya dengan tatapan penuh kekecewaan.
Roy masih tak terima dan berniat mengejar Daryl dan Eve, namun ia di hentikan oleh Julian.
Ia semakin berang dan maju mendekati Julian, namun tertahan oleh tangan besar yang memegangi bahunya. Ia berbalik ke belakang dan melihat salah satu Plaga sedang menggeram ke arahnya, diikuti oleh ketiga Plaga lainnya. Mereka menganggap Roy sebagai ancaman untuk Julian.
Roy terhenti dan Julian memberikan isyarat kepada Plaga itu untuk melepaskan cengkramannya.
Ia menatap Roy, memberinya kesempatan untuk berbicara.
"Kenapa? Kenapa kau merendahkan dirimu di depan manusia biasa seperti itu Kapten?! Seharusnya mereka yang meminta maaf pada kita, bukan sebaliknya!"
"Kenapa? Karena itu hal yang patut untuk di lakukan."
Roy keheranan, ia terlihat tak mengerti.
"Kau melecehkan pacarnya di depan umum. Apa yang kau harapkan? Kata terima kasih? Ingat, kau bukan preman pasar. Kau seorang Lunarian, bersikaplah seperti seorang prajurit Luna, bukan seperti orang biadab."
Julian berhenti sebentar dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau menyedihkan Roy. Kau benar-benar pantas untuk dihajar," lanjutnya.
Roy tertunduk malu. Kedua rekannya hanya diam mendengar cercaan dari kapten mereka.
Julian menyadari bahwa mereka sedang menjadi tontonan di jalanan itu.
Ia memandang tajam ke sekelilingnya dan orang-orang yang sebelumnya menonton, kembali berjalan dan melanjutkan urusannya masing-masing.
Ia kemudian menatap salah satu bawahannya dan menelengkan kepalanya ke arah Roy.
"Cepat berikan dia helm pengganti, sebelum langit kembali cerah."
Prajurit itu mengangguk dan langsung mengeluarkan helm cadangan dari sabuknya.
Julian menengadah ke langit, menikmati rintikan air hujan yang membasahi wajah pucatnya.
"Untung saja cuaca pagi ini sudah di atur mendung," gumamnya pelan.
***
Sementara itu di dalam sebuah bus, Eve dan Daryl yang basah kuyup duduk dalam diam. Eve melihat ke arah dahi Daryl yang tampak terluka dan mencoba membersihkannya dengan sapu tangan. Namun ia terhenti dan terlihat kebingungan.
"Ada apa Eve?"
"Aku tadi mengira ada darah yang menempel di dahimu. Tapi ternyata bukan. Sepertinya aku salah lihat."
"Apa maksudmu? Aku yakin darah dari Lunarian berengsek itu pasti menempel di dahiku karena aku sudah mematahkan hidungnya."
"Tapi ini tidak terlihat seperti darah, Daryl."
Daryl menaikkan sebelah alisnya.
"Kalau begitu terlihat seperti apa?"
"Ini terlihat seperti tinta hitam."
----