"Bu, dorong yang lebih kuat. Sedikit lagi. Anak Anda akan segera lahir โ" suara dokter itu tidak hanya terdengar khawatir, tetapi juga gugup dan ketakutan.
Seorang wanita muda sedang berbaring di atas tempat tidur operasi dengan tubuh yang penuh dengan keringat. Poninya basah karena keringat, menempel di wajahnya dengan berantakan. Wajah wanita itu terlihat pucat dan bibirnya kering. Ia menggigit bibir bawahnya sementara tangannya mencengkeram apa pun yang bisa diraihnya.
Ia mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa di dalam tubuhnya.
"Ah โ"
Teriakan itu begitu keras seolah bisa membelah langit, diikuti dengan tangisan yang tidak kalah kerasnya. Setelah semuanya berakhir, wanita itu menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk mengatur kembali napasnya. Wanita muda itu terlihat sangat kelelahan dan perlahan menutup matanya, tidak kuat bahkan untuk memandang wajah anak yang baru saja dilahirkannya.
Kehadiran anak itu membuatnya merasakan perasaan yang bercampur aduk, bahagia sekaligus kesedihan.
"Anaknya laki-laki โฆ"
Mendengar suara dokter tersebut, wanita muda yang berbaring di tempat tidur menyunggingkan senyum tipis di wajahnya. Setelah itu, kesadarannya benar-benar pergi dari dirinya.
Ia benar-benar lelah โฆ
Pada saat yang bersamaan, terdapat sebuah mobil sedan berwarna hitam yang sedang berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah sakit tersebut. Mobil itu berhenti tepat di bawah sebuah pohon. Sebuah daun terjatuh dan meluncur melewati badan mobil yang mengkilap tersebut sebelum masuk ke dalam mobil melalui jendela kaca yang terbuka.
"Bos, anaknya sudah lahir."
Di kursi penumpang belakang, terdapat seorang pria yang sedang memandang ke luar jendela. Wajahnya terlihat tegas dan ia memancarkan aura yang dingin. Dari pakaiannya saja sudah terlihat bahwa ia bukanlah pria sembarangan.
Orang yang berada di sebelah jendela mobil tersebut segera membuka pintu dan menyerahkan bayi ke gendongan pria tersebut.
Bayi itu langsung menangis sejadi-jadinya ketika mendarat di pelukan pria dingin tersebut dan tangisannya sangat keras hingga membuat pria itu mengerutkan keningnya. Bola matanya yang berwarna coklat tua terlihat penuh dengan ketidaksabaran dan kebingungan saat melihat bayi di dalam pelukannya menangis dengan heboh.
Ia memeluk bayi tersebut dengan cara yang aneh dan menepuk punggungnya dengan canggung. Sangat terlihat sekali kalau pria itu belum pernah memiliki anak sebelumnya โฆ
Bahkan mungkin ia belum pernah menggendong bayi seumur hidupnya.
Namun, tangan yang besar itu seolah memberi kehangatan pada bayi tersebut sehingga bayi di dalam pelukannya berhenti menangis dalam sekejap. Bayi mungil itu memandang pria yang memeluknya dengan matanya yang hitam kelam. Tatapannya terlihat penasaran โฆ
Hati pria itu langsung luluh melihat tatapan bayi mungil tersebut. Matanya yang biasanya penuh kecurigaan terlihat menghangat dan kemudian ia berkata dengan pelan. "Jalan."
Setelah menerima perintah, mobil itu mulai berjalan, memperlebar jaraknya dengan rumah sakit yang dipenuhi dengan kesunyian.
Debu melayang-layang karena roda ban yang berputar dengan cepat dan daun-daun hancur terlindas di jalanan, tidak menyisakan jejak sedikit pun.
โฆ
Lima tahun kemudian, di pertengahan musim panas.
Pepohonan terlihat gersang seolah menjerit meminta tetesan air hujan. Daun-daunnya terlihat kering dan berjatuhan satu per satu karena kehilangan nyawanya.
Jalanan pun terlihat kering dan panas. Mungkin kalau air menetes di atasnya, air tersebut akan langsung berubah menjadi uap.
Di depan pintu sebuah rumah sakit jiwa, seorang wanita bertubuh tinggi berjalan keluar dari tempat tersebut dengan langkah yang perlahan. Rambutnya berwarna hitam legam, terurai hingga mencapai pinggangnya, seolah berusaha untuk menyelimuti tubuhnya yang terlihat sangat rapuh.
Isabella, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ella, telah dianggap sebagai wanita gila selama lima tahun terakhir ini.
Dan hari ini, akhirnya bisa menghirup udara segar. Ia merasakan matahari yang bersinar dengan terik menyinari sekujur tubuhnya.
Ia sama sekali tidak terganggu meski matahari itu sangat panas, seolah ingin membakarnya.
Ia malah melengkungkan punggungnya dan menghadap ke arah langit, merentangkan badannya yang terasa sangat kaku dan memejamkan matanya, sambil menikmati udara segar yang sudah lama tidak ia hirup.
Udara di balik pintu rumah sakit dan di luar memang sama, tetapi entah mengapa, di dalam rumah sakit itu, Ella merasa sesak.
Ia tidak bisa bernapas.
Ia tidak bisa lepas.
Ia merasa sangat tertekan.
Dan sekarang, ia akhirnya terbebas!
"Ella, selamat karena sudah keluar dari rumah sakit."
Seorang wanita paruh baya yang memakai pakaian biasa-biasa saja, langsung menyapa begitu melihat sosok Ella yang berjalan keluar dari pintu rumah sakit tersebut. Lina sudah menunggu cukup lama di depan pintu untuk menyambut kedatangan Ella.
Senyumnya terlihat begitu lebar dan tulus saat menyambutnya dengan penuh kegembiraan.
Lina bukanlah ibu kandung Ella, melainkan seorang pengasuh yang sudah merawatnya sejak kecil. Namun, terlepas dari apa pun sebutannya, Ella sudah menganggap Lina sebagai ibu kandungnya sendiri.
Tidak peduli meski mereka tidak memiliki darah yang sama โฆ
Melihat kehadiran Lina di tempat tersebut, mata Ella yang awalnya terlihat redup langsung bercahaya. Wajahnya terlihat kuyu dan kurus, namun itu sama sekali tidak menutupi kecantikannya. Ia berlari menghampiri Lina dan langsung menggenggam tangan wanita paruh baya tersebut. Matanya berkedip berulang kali saat ia bertanya dengan tergesa-gesa. "Bibi, apakah kamu menemukan anakku?"
Lima tahun yang lalu, Isabella Maheswara, putri dari Keluarga Maheswara mengalami gangguan mental setelah melahirkan seorang bayi. Sayangnya, bayi itu tidak bisa diselamatkan.
Ditambah lagi, saat itu Ella belum menikah dan tidak ada yang tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya.
Setelah kehilangan anaknya, Keluarga Maheswara langsung mengirimkannya ke rumah sakit jiwa.
"Ella, anak itu โฆ" Lina menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kesedihan di matanya dan mengintip ke arah Ella dengan cemas.
"Anak itu sudah tidak ada?" Ella terdiam sejenak dan kemudian tertawa.
Apakah ia benar-benar sudah gila?
Semua orang bilang bayinya mati saat dilahirkan, tetapi ia mendengar suara tangisan anak itu. Ia mendengar jeritannya yang keras, mendengar tangisannya yang begitu keras hingga terdengar di sela-sela tidurnya.
Bagaimana bisa semua orang mengatakan bahwa anak itu sudah mati?
"Mereka tidak mau melepaskan aku dan mereka juga tidak mau melepaskan anakku?" tanya Ella dengan suara sinis.
Bibir Ella membentuk sebuah senyuman yang keji. Rasa benci di hatinya seolah membludak ingin keluar dari dadanya. Tangannya terkepal dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Ella, kamu harus memberitahu ayahmu siapa ayah dari anak itu. Mungkin ayahmu akan memaafkanmu."
Melihat wajah Ella, Lina merasa bahwa wanita di hadapannya itu bukanlah anak perempuan yang ia urus sejak kecil. Ella bukan lagi Isabella yang polos dan penuh dengan cinta seperti lima tahun lalu.
Ella yang sekarang, terlihat seperti orang asing di mata Lina โฆ
Kalau saja lima tahun lalu Ella tidak sekeras itu pada ayahnya, mungkin masalah ini tidak akan terjadi. Ella yang berusaha keras untuk melindungi anak di dalam kandungannya, sama sekali tidak mau memberitahu siapa ayah dari anak di dalam kandungannya.
Hal itu membuat ayahnya begitu murka hingga mengusirnya dan tidak menganggapnya lagi.
Ella memandang pertanyaan itu seolah pertanyaan itu adalah lelucon terkonyol yang pernah ia dengar selama lima tahun terakhir.
Maaf? Untuk apa maaf?
Siapa yang peduli mengenai apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu?
Hidup Ella tidak lebih dari sebuah lelucon belaka di mata keluarganya.
Semua ini, tidak lain dan tidak bukan, karena ibu tiri dan adik tirinya.