Hari Minggu adalah hari dimana vina pergi menjemput syila untuk tinggal dirumah mereka. Belakangan, vina rutin mengunjungi syila untuk memastikan gadis remaja itu benar-benar menyanggupi permintaannya. Karena , vina tidak ingin syila merubah pikirannya. Bahkan wanita itu sudah menyiapkan kamar khusus yang nantinya ditempatinya. Tepatnya, kamar di samping kamar alex ,putra kesayangannya. Yang sudah ia bersihkan semalaman dibantu para pelayannya.
Mobil yang mengantar mamanya akhirnya sampai di halaman rumah keluarga Prawira. vina dan syila terlihat keluar dari mobil lebih dulu, sementara pria berusia empat puluh tahun yang merupakan sopir mereka itu mengeluarkan barang-barang syila terlebih dahulu dari bagasi.
"Sini, Pak. Biar saya yang bawa ke dalam," ucap syila berusaha meraih salah satu kopernya.
"Nggak usah, neng. Biar saya sendiri saja," tolak yusman halus. Syila langsung cemberut ketika keinginannya untuk membantu pria itu dilarang.
"Tapi, Pak—"
"Lebih baik neng syila tunggu di dalam saja."
"Iya, la. Ayo masuk ke dalem! Kamu udah capek ngemasin barang barngmu dari kemarin."
Dia tidak memiliki pilihan lain selain mengekori vina. Ia berpamitan pada Yusman, merasa tidak enak karena tidak bisa membantunya. Padahal itu barang-barangnya sendiri, meski barangnya tidak terlalu banyak karena ia hanya membawa pakaian dan barang penting lainnya. Hanya dua koper dan satu tas besar serta tas ransel yang kini di gendong syila.
"Silakan duduk," vina beralih memanggil salah satu pelayannya. "Mbak, tolong buatin minuman buat tamu saya, ya?"
"Baik, Bu."
syila memperhatikan setiap sisi rumah keluarga Prawira yang sangat megah. Keseluruhan dinding bernuansa emas dan putih gading, dihiasi dengan perabotan antik yang pasti harganya tidak bisa dibayangkan oleh nya.
"Barangnya saya taruh sini, ya, Bu," ucap Yusman sambil menenteng tas dan dua koper syila sekaligus.
"Makasih banyak, Pak!" balas syila lengkap dengan senyum manis.
"Iya, sama-sama, neng." Yusman beralih pada vina. "Bu, maaf, saya harus segera pergi."
"Iya Pak. Nanti biar saya nyuruh alex aja ."
"gak apa-apa, Bu?"
"Iya, gak apa-apa."
"Terima kasih, Bu. Mari neng syila, saya permisi."
Setelah Yusman pamit, kini tinggal vina dan syila. Pelayan baru saja meletakkan jus jambu di atas meja. syila memberi senyuman sebagai rasa terima kasih.
"Itu, jusnya diminum! Nggak usah sungkan, kan mulai sekarang ini rumah kamu sendiri."
"Iya, Tan." syila meneguk jus jeruknya sedikit. "Ngomong-ngomong, Om raka di mana, Tan?"
"Kayaknya di ruang kerja. Om kamu itu kalau hari libur gini, cuma keluar waktu jam makan saja. Sibuk terus, sama berkas kantor!"
syila tersenyum kecil. Sebenarnya dia ingin menanyakan keberadaan alex juga, namun dia urungkan. Dia merasa tidak punya urusan dengan cowok itu.
Di sisi lain, alex baru saja keluar dari kamarnya di lantai dua. Langkahnya mendadak terhenti ketika ia melihat seorang gadis yang beberapa waktu lalu di Rumah Sakit sedang duduk berdua bersama sang mama.
alex Memilih berdiri di samping tangga seraya mencuri dengar pembicaraan mamanya dan syila.
"alex?, kamu ngapain disana? Sini turun!"
"Ngapain, Ma? alex mau berangkat."
"Jangan ketus-ketus, dong, Nak! Kamu kan tahu, mulai hari ini syila bakal tinggal di sini. Kamu harus menyambut dengan baik," hardik vina. Dia tidak habis pikir dengan sikap anaknya yang acuh pada saat yang tidak tepat. Tapi bagaimana lagi? alex sudah menuruni sifat sang papa yang dingin dan keras, meski sang papa tidak separah alex.
"Mama kemarin nggak bohong?" tanyanya memastikan.
"Ngapain mama bohong, hm? Udahlah, sekarang kamu bantuin bawa barang-barang syila ke kamar kosong sebelah kamarmu yang mama beresin kemarin."
"Ga-gak usah, Tan! Saya bisa bawa sendiri," sela syila sambil meraih koper besarnya. syila hanya tidak ingin merepotkan. Terlebih meminta bantuan anak pemilik rumah yang ditumpanginya itu.
"gak boleh. Ini berat, loh! Kasian kamu nanti cappek," vina memaksa untuk mengambil koper syila. Terjadi perdebatan kecil sebelum syila mengalah dan melepaskan pegangan kopernya.
"Kok aku sih, Ma? alex mau pergi sekarang." Kali ini alex bersuara. Mata tajamnya melirik syila sebentar.
"Bentar aja. Kamu nggak kasian sama syila?"
"Gak!" alex membatin. Mana berani ia mengatakannya langsung dihadapan orang yang paling dicintainya.
"Kalau ada Pak Yusman, mama nggak bakalan nyuruh kamu. Sayangnya, Pak Yusman barusan pamit. Cuma kamu cowok satu-satunya di rumah."
alex menghembuskan nafas berat. Dia meraih koper syila dan langsung ditahan pemiliknya.
"K-kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, kok! Aku bisa sendiri." syila merasa tidak enak. Apalagi melihat ekspresi alex yang sangat kusut. Cowok itu pasti sangat terpaksa menolongnya.
alex tidak menggubris, justru beralih menatap mamanya. "Kamarnya gak dikunci kan, Ma?"
"Enggak."
alex membawa satu koper besar dan koper kecil itu menjauh. Namun sebelum benar-benar pergi, alex sempat berbisik di samping syila tanpa diketahui sang mama.
"Ngerepotin," ucapan yang singkat, pelan dan tajam.
Jangan tanya bagaimana terkejutnya syila kala itu. Dia menatap punggung alex yang menaiki anak tangga satu persatu dengan cukup kesusahan. Sepertinya alex memang benar, syila benar-benar merepotkan.
"Nggak usah diambil hati, alex memang orangnya kayak gitu, susah kenal sama orang baru. Tapi sebenernya baik, kok," jelas vina, nyaris sama seperti tadi malam. Seolah tidak mau jika ia nantinya akan takut berhadapan dengan anak nya itu.
"Oh, ya, kamu naik ke kamar kamu dulu, gih! Langsung tata barang-barang kamu juga nggak apa-apa. Udah dibersihin sama bibi kemarin. Tante mau ke belakang nyiapin makan siang sama bibi."
"A-ah, iya, Tan."
"perlu aku bantuin tan??"
"gak usah."
Jangan salahkan syila jika detik ini merasa ragu untuk melangkah. Namun syila tidak memiliki pilihan lain selain ikut ke lantai atas, mengekori alex yang berhenti di depan sebuah kamar dengan pintu berwarna putih.
"M-makasih, ya!" ucap syilas, ia berusaha keras mengusir ketakutannya atas tatapan tajam yang terus menjurus ke arahnya.
Tanpa merespon apapun, alex meninggalkan syila yang kemudian mengendikkan bahu tak peduli. mulai memindahkan barang-barangnya ke dalam kamar.
Kamar yang ditempati syila cukup luas, mungkin dua kali lipat dari kamar sebelumnya. Warna putih mendominasi, kontras dengan ruang tamu di lantai bawah yang bernuansa emas. Namun sama-sama memberi kesan elegan. Di sisi kiri, ada sebuah ranjang berukuran king size, meja, dan lemari tinggi. Sementara di sisi kanan, terdapat meja belajar dan cermin seukuran badan. Bisa dibilang, fasilitas dalam kamar itu cukup lengkap, jangan lupakan kamar mandi di samping pintu.
Namun sebelum syila membereskan kamarnya, syila melangkah lurus menuju balkon. Dari sana, syila bisa melihat taman belakang keluarga Prawira yang indah dan menyegarkan. syila tersenyum, akhirnya impiannya untuk bermain di balkon sambil menghirup udara segar dapat terwujud. Meski ia tidak tahu, sampai kapan ia bisa merasakan hal itu. Tidak mungkin selamanya ia menumpang tinggal di rumah besar ini.
syila tidak akan melupakan kedudukannya disini. Dia hanya tamu yang menumpang tinggal karena permintaan pemilik rumah. Tamu yang tidak memiliki alasan menolak ketika pemilik rumah menawarkan tempat tinggal yang nyaman dan fasilitas yang memadai.
Namun, diantara kebaikan keluarga Prawira, syila diam-diam menyimpan kebahagiaan lebih banyak ketika ia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidkannya hingga perguruan tinggi.
Suara mobil terdengar menjauh, tanda raka dan vina telah berangkat. ketika makan malam berlangsung, vina memang memberitahu syila perihal kepergiannya setelah makan malam. Sepasang suami-istri itu akan menghadiri pesta ulang tahun pernikahan dari rekan bisnis raka. Meninggalkan syila sendirian bersama pelayan karena alex belum pulang sejak pagi tadi.
"Kalau ada apa-apa, telepon Tante ya, Sayang." pesan vina sebelum pergi dengan gaun yang tampak mewah. syila tidak berbohong, vina tampak lebih cantik daripada biasanya.
Syila memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Agendanya malam ini adalah memindahkan foto-foto bunda dari album ke bingkai foto yang masih kosong. Dengan begitu, jika syila merindukan bunda, dia bisa langsung melihat foto beliau di atas meja tanpa repot-repot membuka album foto.
Sebagian besar foto itu diambil berdua. Sisanya hanya mamanya sendiri, syila yang memotret diam-diam. Sama sekali tidak mengira jika foto-foto itu sangat berguna untuk sedikit mengobati rindu ketika wanita itu tiada.
PRANG!!
Violet baru saja berhasil memindahkan beberapa foto sampai dia mendengar pecahan benda. Tanpa pikir panjang, syila keluar dari kamar. Pandangannya langsung tertuju pada seorang pelayan wanita yang tertunduk di depan pintu kamar alex.
"Bego banget lo, jadi pelayan!"
"M-maaf, mas alex. S-saya akan membuatkannya lagi."
"Nggak usah! Mending lo nggak usah kerja disini lagi! Bikin susu aja nggak becus!"
"J-jangan, mas."
Pelayan itu hampir menangis. syila menggigit bibirnya, tidak tega melihat pelayan itu mendapat kemarahan sekaligus ancaman pemecatan. syila pernah mengalaminya waktu kerja part time dan rasanya sangat sakit. syila mendekat, melihat pecahan gelas dan cairan cokelat seperti susu berceceran di lantai.
"Mbak!" panggil syila. Pelayan itu menoleh dan terkejut melihat keberadaan sang penghuni baru kediaman Prawira. syila sempat berkenalan dengan pelayan itu sebelumnya. Kalau tidak salah namanya Rani. Pelayan baru yang baru bekerja satu minggu di keluarga Prawira.
"Mbak Rani punya roti?" Pertanyaan syila terdengar tak masuk akal. Kenapa dia justru meminta roti di kondisi menegangkan seperti ini?
"Y-ya?"
"Kalau ada bawa sini, ya? Buat bersihin lantainya biar nggak kena kaki. Oh ya sekalian kain pel."
"A-ada, mbak."
Rani cepat-cepat pergi dari sana. syila sempat melihat sekilas rani mengusap kasar matanya.
"Cih! Mau jadi pahlawan, lo?!" ujar alex, mengalihkan perhatian Violet sepenuhnya.
Syila menatap alex dengan sinis. Tak gentar meski alex menatapnya jauh lebih tajam daripada kemarin malam atau tadi pagi. Sayangnya, syila terlanjur kesal oleh tingkah semena-mena alex pada pelayan. Ketakutannya hilang entah kemana. Toh, ternyata tatapan dingin Ega tidak semenakutkan yang ia pikir. Setidaknya syila bisa menghadapinya dengan baik.
"Nggak, kok," sahut syila. "Gue bertingkah sewajarnya 'manusia yang punya hati'."
Dengan sengaja syila menekankan kata terakhirnya, membuat api amarah alex semakin menjadi-jadi. Dia tahu syila tengah menyindirnya.
"Nggak usah ikut campur urusan gue!"
"Tapi lo marah-marah ke pelayan! Lo nggak kasian liat Mbak rani ketakutan kayak barusan? Lagian Mbak rani salah apa? Nggak bikinin sesuatu sesuai permintaan lo? Lo harusnya ngasih Mbak rani kesempatan lagi, nggak seenaknya mau mecat kerjaan orang."
"Nggak usah ngajarin gue!" bentak alex, tak lagi peduli bahwa syila seorang perempuan yang tidak seharusnya dibentak. alex menarik nafas dalam. Kepalanya terasa akan meledak menghadapi gadis ini. "Sekarang, dimana mama gue?"
"Kenapa tiba-tiba nanya—"
"Jawab!"
"Lagi keluar sama Om raka –akh!"
Semuanya terlalu cepat. syila belum sempat menyelesaikan ucapannya saat alex tiba-tiba menarik tangannya dan membawanya ke dalam kamar lalu menutup pintu. Cowok itu mencengkeram pergelangan tangannya kuat , membuat gadis itu meringis menahan sakit.
"L-lepasin!" syila mencoba memberontak, namun tenaganya tidak sebanding dengan alex.
"Diam, lo!" perintah alex mutlak dengan nada dinginnya. Dia mengambil satu langkah mendekat, membuat syila menjadi tidak bisa berkutik. Punggungnya menabrak dinding, dan didepannya ada alex yang sangat dekat. syila tidak bisa berbuat apapun saat alex membawa tangannya di atas kepala, lantas memberikan tatapan tajam penuh intimidasi kesekian kalinya. Lagi, syila menatap balik cowok itu tanpa rasa takut.
"Katakan..."
"Hah?"
"Apa tujuan lo dateng kesini?"