Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 21 - TATAPAN CINTA

Chapter 21 - TATAPAN CINTA

Perjalanan pulang diisi dengan canda tawa Azka dan Umar. Melihat kedua bocah itu tertawa sambil bercanda membuatku merasa miris dengan kehidupan yang kujalani saat dewasa. Dewasa itu tidak seindah yang kukira, bahkan menjadi dewasa jauh lebih mengerikan dari apa yang orang bilang.

Sosok Umar kecil yang ada di sampingku sekarang betul-betul mengingatkanku pada sosok Umar yang selama ini selalu menaruh hati padaku. Cinta pertamaku, apa kabar dia sekarang? Tanpa sadar aku tersenyum ketika mengingat wajahnya.

Melirik ke spion depan, ternyata ayahnya Umar memperhatikanku sejak tadi. Hingga saat kepergok memandangku, dia langsung tertawa. Tidak tahu lucunya dimana, aku hanya bisa tertunduk sambil memainkan tali tas selempang saja.

"Terima kasih atas tumpanganya," kataku pada mereka begitu sampai di depan rumah.

"Sama-sama."

"Assalamu'alaikum," ucapku dan Azka secara serempak.

"Wa'alaikumsalam."

Kedua bocah ini lagi-lagi saling melambaikan tangan sebelum aku berbalik badan dan berjalan menuju pintu utama. Ternyata Habib dan Farida baru saja pulang, mereka tampak baru keluar dari mobil dengan posisi terparkir di halaman rumah.

Habib yang turun lebih dulu tanpa sengaja melihatku yang baru saja turun dari mobil lelaki itu. Aku tidak sempat menanyakan namanya, karena memang kami tidak ada bicara sama sekali di dalam mobil tadi.

"Assalamu'alaikum," sapaku lalu mencium punggung tangannya.

"Wa'alaikumsalam. Pulang bersama siapa tadi?" Habib langsung bertanya.

"Itu ayah Umar, Ammun. Dia teman sekelasku di sekolah, kami di ajak pulang bersama karena cuaca hari ini panas sekali." Bukan aku, tapi Azka yang menjawab.

"Ayo, Azka! Kita masuk ke dalam, sholat zuhur dulu dan setelah itu Ammah akan membuatnya makan siang untukmu," ujarku pula menyela apa yang hendak Habib katakan lalu menarik tangan Azka untuk berjalan masuk ke dalam.

Melewati Farida, aku hanya diam saja tanpa memberi sapaan apa-apa. Sejujurnya aku tidak mau menyapa wanita itu, kekecewaanku terhadap sikapnya yang berani memeluk Habib dari belakang membuatku sangat tidak senang.

Dari pada memperbesar masalah dan akhirnya akan membuatku terbakar emosi, lebih baik kudiamkan saja sambil beristighfar. Habib yang tadinya berdiri di halaman juga mengikutiku bersama Farida yang mengekorinya.

"El, tunggu!" Aku tidak menghiraukan panggilan Habib, bahkan sampai beberapa kali dia memanggil aku terus berjalan menaiki tangga sambil menggandeng tangan Azka.

"Elyana, tunggu!" Sampai pada akhirnya aku berhenti saat Habib mencekal tanganku.

Aku berhenti tepat di anak tangga terakhir yang paling atas ketika Habib berdiri di satu anak tangga di bawahku. "Kenapa?"

"Ada apa denganmu? Apa Mas ada berbuat salah?"

Dengan kode mata, aku menyuruh Azka pergi sendiri ke kamarnya, sementara aku akan bicara dengan Habib. Di anak tangga paling bawah, ada Farida yang tadi mengekori Habib. Aku melirik wanita itu dengan sudut mata, membayangkan seperti apa kejadian saat Farida memeluk Habib waktu itu.

"Farida pernah memelukmu dari belakang, lalu apa yang bisa kamu harapkan begitu aku mendengar cerita itu dari Azka?" tanyaku tidak mau basa-basi.

Habib menoleh ke bawah, melihat istri keduanya yang tampak sok merasa bersalah. "Waktu itu Mas sudah berusaha menghindar, tapi Farida ... ah, lupakan saja. Itu sudah lama, tidak perlu—"

"Karena itu sudah lama, maka dari itu Mas bisa menyembunyikannya dariku?" Napasku sampai berhenti beberapa saat ketika membayangkan pelukan mereka. Tak sadar kah Habib bahwa aku cemburu dan tidak suka dia di peluk wanita lain? Kenapa sulit sekali membuatnya mengerti tentang itu?

"Baiklah, Mas minta maaf. Tapi bisakah kamu jelaskan alasan kenapa kamu pulang bersama lelaki tadi?"

"Sederhana saja. Aku kesulitan mendapat taksi karena kehabisan kuota, hari itu terlalu panas dan Mas Habib tidak datang menjemputku. Lalu mereka datang dan mengajak kami pulang bersama."

"Kamu tahu? Lelaki itu sudah mencintaimu."

Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. Semudah itu Habib menyimpulkan jika lelaki itu mencintaiku? Kami bahkan tidak saling mengenal nama satu sama lain, dan itu pertama kalinya aku duduk di jok belakang mobilnya. Lalu datang dari mana teori itu?

"Kami bahkan tidak saling mengenal, bagaimana Mas tahu kalau dia mencintaiku?"

"Kami lelaki, dan Mas hapal betul bagaimana tatapan lelaki yang mencintai seorang wanita. Tatapannya sangat dalam, El."

"Mas, dia lelaki beristri. Tidak mungkin dia mencintaiku!"

"Dia duda. Mas tahu, kami pernah bertemu di masjid dan wanita yang ada di rumahnya hanya pengasuh anaknya."

Ah, berarti kabar yang Mira ceritakan padaku waktu itu salah. Seharusnya aku tidak percaya begitu saja. Tapi bagaimana sekarang? Seorang pria duda mengantarku pulang, dan suamiku sepertinya cemburu melihat hal itu.

Aku tidak bisa membela diri atau berkomentar lebih, karena sejatinya aku masih kesal karena pelukan Farida yang Habib terima. Belum lagi tadi pagi dia memeluk Farida dengan suka rela demi membujuk wanita itu agar tidak merajuk lagi.

"Maaf, aku salah. Tapi tetap saja, hal itu tidak bisa menutupi rasa kecewaku terhadapmu. Ini bukan pertama kalinya, Farida juga sering melakukan ini. Kadang dia bersikap manja, minta di cium, sampai berani mencium bibirmu saat Mas tertidur. Aku tidak tahu hal berani apa lagi yang dia lakukan, tapi itu sungguh membuatku kecewa, Mas!"

"Mbak, aku juga istrinya Mas Habib dan aku—"

"Diam kamu! Ini bukan urusan istri atau bukan, tapi ini urusan kepercayaanku dan suamiku. Tolong, aku minta tolong agar kamu sadar diri dimana posisimu! Pernikahan ini hanya untuk menutupi anak hasil perzinaanmu dengan lelaki itu! Bukan untuk merebut apa lagi meminta cinta dari suamiku!" ucapku menyela perkataan Farida dengan emosi yang tak tertahankan.

Dari lorong, aku mendengar suara pintu tertutup, terpatnya dari arah kamarku yang kurasa adalah Mira. Dia pasti kembali masuk ke dalam setelah melihat pertengkaran ini di tangga, sebaiknya memang dia tetap bersama Rizky saja.

Air mataku kembali keluar tanpa ijin. Dan ini entah air mata keberapa yang menangis karena perbuatan Farida. Kenapa dia suka sekali membuatku menangis? Apa hal yang kuperbuat padanya dulu sangat egois, hingga dia membuatku seperti ini?

"El, jangan marah-marah seperti ini. Ingat kondisimu, kamu sedang mengandung. Tidak baik marah-marah," kata Habib memegang kedua belah bahuku setelah dia mensejajarkan posisi berdirinya di anak tangga yang sama denganku.

"Mas kamu tahu? Aku begini karena aku takut kehilangan kamu, Mas! Kehilangan Umar, adalah hal yang paling menyesakkan bagiku dan aku tidak mau hal itu terulang kembali! Farida mencintaimu, dan aku tahu itu!" Sesaknya dada, bahkan sampai sakit perutku saat mengatakan itu dengan air mata.

"Dari mana kamu tahu, kalau Farida mencintai Mas?"

"Kami wanita, dan aku hapal betul bagaimana tatapan wanita yang mencintai seorang lelaki," jawabku mengikuti bagaimana cara Habib menjawab pertanyaan yang sama dariku tadi.

Farida hanya diam, mungkin dia pikir aku bisa diam saja menerima semua ini? Tidak, aku tidak akan melepaskan Habib demi dia. Tap—tapi ....

"Argh! Astaghfirullah ..."

"Ada apa, El?"

"Perutku sakit! Ah.!"

Tanpa berpikir panjang, Habib segera menggendongku menuju kamar. Farida hanya diam dan melihatku dibawa pergi. Ini bukan sakit perut, apa lagi janin, ini lebih ke arah sakit di bagian ginjalku yang selama ini sudah lama tidak terasa.

Mira diminta membukakan pintu agar Habib bisa masuk. Dia ikut panik saat melihatku di gendong dalam kondisi kesakitan.

"Mir, tolong telepon dokter!" titah Habib.

"Iya, Pak!"