Chereads / Menantu Bungsu Keluarga Kusuma / Chapter 26 - Orang-orang yang Baik

Chapter 26 - Orang-orang yang Baik

Bab 26

Jihan memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dia mencoba mengingat jalan yang mereka lalui. Sarah masih melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tapi tiba-tiba mobil berhenti dengan mendadak.

Sarah berusaha menghidupkan kembali mobil tersebut. Namun, mobil tetap tak mau hidup. Sarah pun memperhatikan monitor penunjuk bahan bakar lalu mengumpat.

"Sial, kenapa aku sampai lupa mengisi bahan bakar tadi. Mana pom bensin masih jauh lagi," omelnya.

Sarah pun turun dari mobil, tapi sebelumnya dia mengancam Jihan agar diam tak berteriak. Sarah mengancam akan menyakiti Jihan jika dia sampai melanggar larangannya.

Jihan yang masih ketakutan hanya bisa mengangguk saja. Sarah pun turun dari mobil lalu menghibingo Ronggo untuk meminta bantuan.

"Om, Mobil aku mohon kehabisan bensin. Om bisa batu antarkan emari bensinhya, kan?" lapor Sarah.

"Aduh, Sayang. Kok bisa sampai kehabisan bensin sih? Kamu di mana, biar Om susul kesana."

Sarah memperhatikan jalan di sekitar lalu menyebutkan sebuah alamat.

"Oke, Om kesana sekarang juga. Kamu jangan kemana-mana, ya!"

"Idih, si Om. Gimana Sarah mau kemana-mana, mobilnya aja mogok," sahut Sarah kesal.

Ronggo pun tertawa lalu berkata kalau dia hanya bercanda. Sarah pun mengakhiri panggilannya lalu menoleh ke dalam mobil. Dia terkejut karena Jihan tak ada di sana.

Sarah membuka pintu mobil dan mencari keberadaan Jihan di kursi belakang maupun tengah. Namun,tak ditemukannya juga gadis kecil tersebut.

"Areggh, kenapa aku bisa seceroboh ini

Seharusnya pintunya aku kunci tadi, pasti dia kabur waktu aku sedang fokus menelepon tadi," sesal Sarah.

Sementara itu, Jihan yang berhasil kabur dari mobil Sarah berlari sekuat tenaganya. Napasnya sampai tereengah karena terus berlari menjauh dari Sarah. Langkah kaki kecilnya mulai terseok-seok menyusuri jalan yang asing baginya.

Jihan ingin meminta tolong pada orang yang ditemuinya di jalan, tapi dia takut jika Sarah berhasil menyusulnya. Dalam pikiran gadis kecil malang itu, Sarah sedang mengejarnya dan akan segera menangkapnya.

Jihan terus berlari di atas trotoar tanpa peduli dengan jalan yang dilaluinya. Dia tak memperhatikan kalau ada trotoar yang terbuka tanpa penutup. Joya pun terperosok ke dalam parit yang untungnya sedang kering.

Hanya ada tumpukan sampah di dasar parkirnya karena saat itu memang sedang musim kemarau. Kepala Jihan terantuk tepi parit dan berdarah. Lukanya sangat serius, karena tajamnya batu tepian parit tadi.

Jihan terbaring tak berdaya di atas tumpukan sampah di dasar parit. Dia berusaha berteriak minta tolong, tapi suaranya tak bisa keluar. Jihan pun pingsan tanpa ada orang yang tahu ataupun melihat. Apa lagi saat itu hari sudah mulai berangsur malam.

Beberapa jam kemudian, saat mendekati tengah malam sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pemulung lewat di tempat itu. Mereka berhenti sejenak untuk beristirahat di atas trotoar.

Malam mulai sepi dan terasa dingin. Marni dan Saleh, sepasang suami istri tersebut adalah seorang tuna wisma. Mereka tak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Hidup mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, pekerjaan mereka sebagai pemulung gak bisa mencukupi untuk mengontrak sebuah rumah yang layak.

Marni dan Saleh tidak mempunyai anak. Penyakit tumor di rahim Marni beberapa tahun yang lalu membuat rahimnya rusak dan harus di angkat sehingga dia tak bisa hamil lagi.

Walau demikian, Saleh tetap mencintai dan menyayangi istrinya tersebut. Mereka selalu mesra dan romantis layaknya pengantin baru membuat para pemulung lainnya iri.

"Kamu lapar, Mar? Itu ada tukang nasi goreng, aku beli dulu, ya?" tanya Saleh pada Marni yang sedang duduk dia tas trotoar dengan santai.

"Iya, Pak. Beli satu saja. Kita makan berdua biar roamntis," jawab Marni sambil terkekeh.

Saleh mengacungkan jempolnya lalu berlarienyeberang jalanwnunu ke gerobak nasi goreng yang sedang mangkal di tepi jalan.

Marni memperhatikan suaminya sambil tersenyum sendiri. Namun, telinga Marni mendengar suara rintihan yang sangat lemah. Marni mencari ke sekelilingnya, tapi tak ada siapa pun di situ.

Suasana gelap membuatnya kesulitan melihat dan mencari asal suara. Mammmeni masih berdiri dengan gelisah mencoba mencari asal suara rintihan itu.

Saleh anggota sudah selesai membeli nasi goreng merasa heran dengan kelakuan Marni. Dia pun mendekati istrinya lalu bertanya, " kamu cari apa, Mar. Kenapa mondar-mandir terus sejak tadi?"

"Aku mendengar suara orang merintih, Pak. Tapi Ndak tau dimana, coba, deh, kamu dengarkan!" jawab Marni.

Saleh pun menajamkan pendengarannya, dia juga mendengar suara itu.

"Iya, Mar. Aku dengar juga, tapi di mana, ya?"

Saleh berkeliling di sekitar trotoar itu, lalu menuju ke lubang yang menganga di dekatnya. Dia melihat sesosok anak kecil sedang terbaring lemah di bawah sana.

"Mar, di sini rupanya. Ya, Allah anak siapa itu!" seru Saleh. Dia pun turun ke dalam lubang parit yang dalamnya hanya setinggi dadanya. Kemudian mengangkat tubuh Jihan yang sudah dingin.

Marni membantu menariknya ke atas lalu memangku Jihan sambil menangis.

"Ya, Allah. Siapa yang tega menyakiti anak secantik ini. Pak, kita bawa dia ke rumah sakit sekarang, yuk!" ajak Marni.

Saleh membopong tubuh Jihan ke klinik yang ada di dekat tempat itu. Mereka berlarian ke klinik takut terlambat menyelamatkan Jihan. Sampai di klinik, luka Jihan segera diobati. Dokter yang mengobatinya mengatakan kalau kepala Jihan terantuk benda keras dan terluka.

"Anak itu tidak apa-apa, kan, Dok?" tanya Saleh.

"Alhamdulillah, dia sudah stabil. Jika dia sadar nanti, kita akan periksa lagi dan kemungkinan bisa dibawa pulang," jawab Dokter Ivan.

"Alhamdulillah, tapi berapa biayanya kira-kira, Dok? Kami akan punya banyak uang," tanya Marni.

Saleh juga baru sadar akan biaya yang harus mereka tanggung nanti. Sedangkan Saleh hanya mengantungi uang beberapa puluh ribu saja.

"Apa Bapak sama Ibu tidak tahu dia anak siapa. Sepertinya dia anak orang kaya. Lihat saja pakaiannya!" kata dokter Ivan seraya menunjuk pada pakaian Jihan.

"Kami gak tahu, Dok. Wong kami menemukannya di parit sana tadi," jawab Saleh bingung.

"Kalau begitu bapak usahakan cari keluarganya dulu kalau begitu, kalau tidak kalian yang harus menanggung biaya pengobatannya. Saya permisi ke depan dulu, Pak!" kata Dokter Ivan.

Bukannya dia tak merasa kasihan, tapi Ivan juga bekerja di klinik ini. Jadi dia tak bisa membantu biaya pengobatan Jihan nantinya.

Marni dan Saleh saling berpandangan setelah Dokter Ivan pergi. Saleh mendekati Jihan yang masih belum sadarkan diri di tempat tidur.

Dia melihat pada kalung Jihan yang sangat cantik dan pasti berharga mahal. Saleh membuka kalung itu lalu menunjukkan pada Marni.

"Kita jual kalung ini saja ke Mpo Lela, Mar. Nanti kalau dia sudah sadar dan tahu dimana orang tuanya kita suruh tebus kalung itu," usulnya.

"Kita lihat besok saja dulu, Pak. Kita tunggu anak ini sadar, baru memikirkan langkah selanjutnya. Sementara kalung itu aku simpan dulu, ya?"

Saleh pun menyerahkan kalung milik Jihan pada Marni, istrinya. Malam itu memejamkan habiskan waktu di Klinik sekalian berisitirahat dengan nyaman.

Biasanya mereka hanya tidur di emperan toko yang dingin.

Bersambung.