Bab 15 - Bertemu Kembali
Setahun kemudian.
"Joya, bangun. Sudah siang ini. Nanti kamu terlambat pergi kerja!" teriak Hindun dari depan pintu kamar Joya.
Setiap pagi rutinitas membangunkan Joya selalu dilakoninya. Joya memang sangat susah dibangunkan, apalagi sekarang dia sering tidur larut malam semenjak bekerja di PT. Mekar Abadi.
Tugasnya sebagai sekretaris direktur utama membuatnya selalu pulang malam. Terkadang, Joya harus menemani bosnya untuk menemui klien di suatu tempat. Jika sudah begitu, bisa dipastikan Joya baru bisa pulang paling cepat saat jam berdentang dua belas kali.
Hindun sebenarnya merasa kasihan melihat Joya kerja begitu keras. Namun dia bersyukur karena Joya sudah bisa melupakan trauma akibat penculikan itu.
Sejak pergi dari rumah secara terpaksa, Joya dan Hindun memilih tinggal di kota kabupaten yang jauh dari jangkauan keluarga Kusuma.
Joya memilih melanjutkan kuliahnya yang tinggal menunggu waktu wisuda dari jarak jauh. Saat wisuda pun, Joya kembali dengan diam-diam.
Setelah itu, Joya pun mencari pekerjaan di kantor yang banyak terdapat di kota kabupaten. Dari sekian banyak lamaran kerja yang dilayangkannya, akhirnya Joya berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris.
"Joya! Bangun, dong, Joy!" teriak Hindun lagi.
Kali ini disertai dengan suara gedoran di pintu yang membuat Joya terbangun dari tidurnya. Joya menguap beberapa kali, matanya masih terasa mengantuk.
Joya merasa kalau matanya baru saja terpejam beberapa menit yang lalu.
"Iya, Mak. Ini sudah bangun!" balas Joya sambil berteriak juga.
"Kalau sudah bangun buruan mandi, Joy. Sudah jam setengah tujuh, lho!" balas Hindun lagi.
"Setengah tujuh? Gawat, hari ini ada rapat jam setengah delapan," gumam Joya.
Langsung saja dia melewati secepat kilat ke luar kamar lalu menuju ke kamar mandi. Lima menit kemudian, dia sudah selesai mandi kilatnya. Hindun hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya itu.
Joya bisa bergerak secepat kilat jika sedang kepepet. Lima belas menit kemudian,dia sudah ke luar dari kamar dengan pakaian rapi dan wangi.
Hindun tertawa melihat kemampuan Joya yang jarang dimiliki oleh anak gadis lain. Joya merapikan hijab berwarna hijau tosca senada dengan warna pakaian yang dikenakannya.
"Hebat sekali kami, Joy. Lima belas menit untuk mandi dan bersiap, rekor baru, nih," ledek Hindun.
"Siapa dulu emaknya, Hindun yang cantik se-Indonesia Raya," balas Joya.
Hindun tertawa mendengar ledekan Joya.
"Emak senang, sekarang Joya mau mengenakan hijab. Hati Emak adem melihatnya. Kamu tambah cantik dengan pakaian seperti itu, Joy," ucap Emak penuh haru.
Joya hanya tersenyum tipis. Lalu mengambil roti dan mengoleskannya dengan selai kacang. Kemudian menggigit sedikit ujung roti yang dipegangnya itu.
Tak lama terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Rupanya ojek yang dipesan Joya saat si kamar tadi sudah datang.
Dia pun pamit pada Hindun dan bergegas masuk ke dalam mobil. Biasanya perjalanan dari rumah ke kantor tak memakan waktu lama.
Jadi Joya masih bisa bersantai sedikit sebelum nanti akan sibuk dengan rutinitasnya. Namun, pagi ini ada pemandangan yang sedikit berbeda yang dirasakan Joya di jalan.
Jalanan di depan hotel terbesar di kota kabupaten itu tampak ramai. Banyak mobil mewah yang terparkir di depannya membuat jalan menjadi macet.
Joya melihat jam tangannya, jika menunggu sampai kemacetan itu selesai, dia merasa akan terlambat.
Joya memilih berjalan kaki menuju ke kantornya yang sudah tak jauh lagi letaknya. Hanya butuh berjalan sepuluh menit saja dari hotel tersebut.
Joya tiba di kantor tepat saat bosnya, Harun juga baru saja tiba di kantor. Harun menatap Joya dengan heran, wajah sekretarisnya itu seperti orang yang kelelahan habis berjalan jauh.
"Kamu sakit, Sya?" tanya Harun saat mereka berjalan bersisian menuju ke ruangan Harun.
"Tidak, Pak. Apa wajah saya pucat? " tanya Joya.
"Tidak, hanya saja wajah kamu seperti orang yang kelelahan," jawab Harun seraya tersenyum manis.
"Oh, itu. Tadi saya jalan kaki dari depan hotel sampai ke sini, Pak. Makanya jadi capek," beritahu Joya.
"Macet? Oh, itu pasti karena rombongan klien kita sudah tiba. Pasti sebentar lagi mereka akan datang ke kantor ini. Kamu siapkan dokumen yang ada di meja saya, ya!" jawab Harun mulai panik.
Joya mengangguk, mereka telah tiba di ruangan Harun. Joya segera melaksanakan tugas yang sudah diberikan Harun padanya.
Setengah jam kemudian, Joya telah siap menyambut rombongan klien dari Jakarta.
"Kliennya belum datang, Sya?" tanya Lilis, rekan satu kantornya.
"Belum, oh, iya, klien kita dari Jakarta katanya. Dari PT mana?" jawab Joya kemudian juga bertanya pada Lilis.
"Lho, bukannya kamu yang pegang dokumennya? Kok malah nanya, memangnya gak kamu baca isinya?" tanya Lilis lagi dengan heran.
Joya menggeleng, dia hanya mengambil dokumennya dari Harun lalu membawanya ke ruang rapat. Karena penasaran Joya pun membuka dokumen yang dibawanya tadi.
Seketika darahnya seperti membeku saat membaca nama klien yang akan datang sebentar lagi.
"PT. Heru and Son, keluarga Kusuma" gumam Joya.
Jantungnya tiba-tiba bergemuruh kencang. Dia takut keluarga Kusuma akan mengenalinya walaupun dia sudah berganti penampilan.
Joya masih sibuk dengan ketakutannya saat rombongan tiba. Dia masih belum menyadari kedatangan keluarga yang pernah dekat dengannya itu.
Untung saja Lilis menepuk pundaknya pelan.
"Eh, apa Lis?" tanya Joya tergagap
Dengan mulutnya Lilis menunjuk pada pintu ruang rapat. Refleks Joya berdiri dan bergegas mengambil posisi di samping Harun yang sudah berdiri menyambut klien mereka tersebut.
"Selamat datang, Pak Heru. Mas Seno, Mas Diki, Mas Riko, dan Mas Erik. Saya merasa sangat tersanjung dengan kedatangan keluarga Kusuma secara komplit begini," kata Harun menyambut kedatangan Heru dan anak-anaknya.
"Terima kasih, Pak Harun. Maaf kalau kami datang terlalu ramai begini. Saya ingin melibatkan anak-anak saya dalam setiap perjanjian bisnis saya yang baru," sahut Heru dengan ramah.
Senyum di bibir Heru mendadak hilang saat melihat wanita yang berdiri di samping Harun. Sepertinya dia pernah melihatnya, tapi Heru lupa di mana.
Harun menyalami semua anggota keluarga Kusuma lalu memperkenalkan sekretaris dan para stafnya yang hadir di ruangan rapat itu.
"Oh, ya perkenalkan ini Tasya,. sekretaris saya. Sepertinya nanti dia yang akan lebih banyak berhubungan dengan Anda."
Joya yang diperkenalkan Harun dengan nama Tasya pun menyalami satu persatu anggota keluarga Kusuma. Dalam hati Joya bersyukur memakai nama belakangnya di kantor ini. Joya Anastasya, nama asli Joya.
Selesai memperkenalkan diri, rapat pun dimulai. Joya lebih banyak menunduk saat rapat berlangsung. Dia mencatat semua hasil rapat dalam diam.
Sampai rapat selesai, Joya buru-buru pamit pada Harun untuk ke toilet. Dia mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa tak tenang.
Apa lagi sepanjang rapat berlangsung, Joya tahu kalau Erik terus menatapnya dengan tajam. Joya khawatir Erik akan mengenalinya.
Joya berdiri termangu di depan kaca di dalam toilet. Setelah merasa sedikit tenang, Joya pun keluar dari toilet dan dia terpelintir kaget karena sebuah tangan menarik lengannya dengan kasar.
"Erik," batin Joya.
"A-apa apa, ya, Mas?" tanya Joya berusaha tenang.
"Tasya, aku tahu kalau kamu itu Joya. Cih! Bersembunyi dibalik pakaian muslim seperti ini. Munafik!"
Joya tak menyangka jika Erik bisa mengenalinya.
"Apa yang akan kukatakan padanya?" tanya Joya dalam hatinya.
Bersambung.