Berita pembunuhan Isabella Falcon tersebar begitu cepat. Aktris teater yang sedang naik daun tiba-tiba dibunuh di taman kota.
Sampai sekarang belum menemukan siapa pelaku sebenarnya dan rumah teh milik Miranda masih terlihat normal saja.
Kini, Derren sedang berhadapan dengan putri seorang count yang banyak tingkahnya.
"Teh ini enak, tidak?"
"Semuanya enak kok, nona," balasnya dengan pasrah.
"Eh... Tapi apa tidak terlalu pahit, ya..."
Uhh... Rasanya aku ingin hantam tubuh dia secara langsung batinnya menahan emosinya.
Sabar... Sabar... Derren anak baik... Anak pintar...
"Nona... Bagaimana kalau saya rekomendasikan Teh Rooibos. Manis menyegarkan dan tidak mengandung kafein."
Tiba-tiba Miranda meletakan minuman itu kepada putri bangsawan tersebut.
Putri bangsawan itu memandang cangkir teh tersebut dengan lama. " Kalau tidak enak, bagaimana?" tanyanya lagi.
"Saya menjamin kalau teh buatan saya sangat enak. Mohon dicoba dulu."
Dia langsung mencoba teh buatan Miranda dan diam cukup lama.
"Rasanya..." Derren menelan ludahnya berharap hal positif dari putri bangsawan.
"Ini benar-benar enak!! Ini nama tehnya apa?!"
"Ini adalah Teh Rooibos, nona," jawab Miranda dengan tenang.
Derren menghela nafas lega. Untung saja bosnya dengan sigap mengatasi masalah pelanggan lain.
"Fyuuhh... Aku kira dia tidak menyukai tehnya," ujar Derren lega.
"Kalau tidak salah... Dia putri Count, bukan?" tanya Miranda kepada Derren.
"Iya. Dan kamu tau tidak? Dia adalah adik ipar dari Isabella Falcon."
Mendengar kabar terbaru, Miranda langsung terkejut. " Benarkah?" ia langsung menoleh ke arah gadis tersebut.
"Ia tampaknya biasa saja mendengar kakak iparnya meninggal."
"Bisa saja hubungan dia sama si aktris itu tidak terlalu dekat."
"Kalian sedang gosip apa?" tanya seseorang membuat mereka berdua langsung menoleh ke arah asal suara.
"Oh... Profesor Petterson. Lama tidak bertemu, ya..."
Profesor Petterson, seorang dosen yang mengajar di akademi sihir dan ksatria tempat Derren sekolah.
Selain Tuan Brooke, Profesor Petterson adalah pelanggan tetap di rumah teh ini.
"Pasti anda sibuk sekali dengan murid-muridmu," lelaki itu hanya tertawa saja. "Beginilah menjadi seorang pengajar. Terutama berurusan dengan modelan murid seperti dia," tunjuk ke Derren yang membuat orang yang ditunjuk merasa kebingungan.
"Aku dengar ada kasus besar kemarin, ya..."
"Iya. Tadi pagi, polisi mendatangi ke tempat ini."
"Benarkah?" tanyanya sedikit kaget.
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Profesor penasaran.
"Kamu mulai tertarik hal-hal seperti itu, Harry..." tiba-tiba Marco berjalan mendekati Miranda dan Profesor tersebut.
"Hai, ayah... Bagaimana kondisi tanganmu?" tanya Harry Petterson, anak dari Marco.
"Kau belum menjawab pertanyaan ayahmu, Harry."
"Ayah tidak menanyakan sesuatu barusan," balasnya dengan polosnya.
Miranda menghela nafas panjang. Kalau sudah berurusan dengan ayah-anak, gadis ini tidak bisa membantu banyak.
"Profesor... Anda ingin memesan apa?" tanya Miranda mencegah terjadinya perselisihan antara ayah-anak ini.
"Oh ya... Aku hampir saja lupa. Aku pesan Teh susu saja."
Miranda mengangguk paham dan ia kembali ke tempatnya. "Astaga... Gara-gara kasus kemarin aku tidak bisa melihat idolaku," ujar Marco sambil duduk dihadapan anaknya.
"Siapa? Si Isabella Falcon?" Marco mengangguk.
Harry melihat seorang gadis muda berambut merah sedang menikmati hidangannya. " Oh... Apakah gadis itu yang ayah ceritakan kemarin, ayah?"
Harry menunjuk ke arah putri bangsawan itu kepada Marco. " Bukan!! Bukan dia yang aku bahas kemarin. Tampaknya dia sedang tidak datang hari ini."
"Ngomong-ngomong soal Isabella Falcon..." Marco melirik ke arah Harry, begitupun dengan Harry.
"Aku dengar kalau pihak kepolisian datang ke sini. Mereka menanyakan apa?"
"Astaga... Kenapa kamu peduli sekali? Biasanya kami tidak begitu tertarik dengan begituan."
Marco hanya mengangkat kedua bahunya dengan cuek. "Ini pertama kalinya pihak kepolisian jauh-jauh dari kota ke sini selain jam istirahat atau libur."
Marco diam seribu bahasa. Menyerah berdebat dengan anaknya. " Mereka bertanya hal sepele. Seperti jam berapa dia datang ke sini atau pergi dari sini atau hal-hal aneh selama dia berada di sini."
Miranda datang dengan membawa pesanan untuk Harry. " Apakah ada hal aneh dengan dia kemarin?" tanya Harry kepada Miranda.
"Tidak. Hanya menikmati teh, terus tidak lama ia langsung pergi begitu saja."
Terdengar suara lonceng yabg menandakan bahwa ada pengunjung datang.
"Kalau begitu... Aku harus kembali ke taman belakang," ucap Marco dan bergegas pergi meninggalkan Miranda dan Harry.
Megan yabg berada di sekitar pintu masuk/keluar melayani pengunjung yang baru saja masuk.
"Selamat datang di rumah teh kami. Mari saya antarkan ke tempatnya."
Pengunjung kali ini adalah pasangan kekasih muda. Kata mereka, mereka menyempatkan diri untuk berlibur selama 3 hari dua malam di penginapan yang sama dengan pemandian air panas.
"Mau pesan apa, tuan dan nona?"
"Aku pesan Teh hijau dengan lemon, ya... Kamu pesan apa, sayang?" tanya pemuda itu kepada kekasihnya.
"Aku ingin teh mawar."
"Baik... Silahkan tunggu sebentar," Megan sedang menyampaikan pesanan kepada Miranda dan putri count itu langsung membayar dan pergi setelahnya.
Tidak lama, Megan memberikan dua cangkir teh kepada sepasang kekasih tersebut. "Maaf mengganggu... Apakah kalian sedang berlibur?"
Mereka berdua menoleh ke Megan dan gadis berambut hitam gelam mengangguk. " Benar. Sekalian merayakan hari jadi kita ke 5 tahun."
"Oh ya?! Selamat untuk kalian berdua," ucap Megan memberi semangat.
"Terima kasih banyak," balas pemuda itu dan Megan segera meninggalkan sepasang kekasih itu.
Bersamaan dengan kehadiran novelis muda yang membawa naskah novel buatannya, namun tampaknya ada yang tidak beres dengan gadis itu.
"Selamat datang, nona... Mau pesan apa?"
"Seperti biasa..." balasnya dengan lemah. Megan tampak bingung dengan wanita muda itu.
Kemarin-kemarin, dia kelihatan semangat, kenapa sekarang dia kelihatan letih lesu begitu?
Megan tidak banyak bicara setelah itu dan memutuskan untuk pergi menemui Miranda.
"Teh Chamomile untuk novelis yang sedang tidak baik-baik saja," Miranda yang sedang mengelap cangkir teh langsung menoleh ke rekannya.
"Kenapa dia?" wanita berusia 40-an itu hanya mengangkat bahu tanda tidak tau.
Miranda memandang gadis yang tampak lemas di sana. "Biar aku yang ngasih ke dia, Megan."
Megan hanya mengangguk tanda mengerti dan melanjutkan tugas lain.
"Boss..." panggil Derren kepada bosnya.
"Ada surat untukmu..." Miranda menoleh ke arah surat yang berada di tangan pemuda itu.
"Letakan di mejaku, Derren," Derren mengangguk saja dan melaksanakan perintah bosnya.
"Ini Teh Chamomile anda, nona," ujar Miranda meletakan cangkir teh kepada gadis itu.
"Ah... Ternyata kamu rupanya..."
"Aku dengar dari rekanku kalau kamu ada masalah ya?" gadis itu terdiam dan mengangguk paham.
"Kamu tau? Idemu ternyata berhasil lolos oleh editor."
"Benarkah? Bagus deh... Setidaknya anda bisa menggambarkan keseluruhan cerita yang anda buat."
"Iya.... Bagus... Tapi..." kepala gadis itu langsung jatuh ke atas meja.
"Deadlinenya untuk bab pertama seminggu lagi dan aku baru menyelesaikan 4 paragaf doang...."
"Deadlinenya seminggu lagi?"
"Iya..." balasnya dengan lemah. Miranda tersenyum paham.
"Lebih baik anda rehat sejenak dan menikmati teh buatan saya. Mungkin setelah anda rehat, anda memilki ide lagi."
"Benar juga... Terima kasih banyak, Nona-"
"Panggil saja Miranda," balasnya sambil tersenyum lembut.
"Oh ya aku lupa memperkenalkan diriku... Namaku Laura Wood, panggil saja Laura."
Dia bilang marganya adalah Wood?
"Salam kenal, Laura."