Aku tengah berlari di jalanan menuju halte bus. Tidak kusangka aku akan terlambat. Ini gara-gara semalam aku tidur terlalu larut. Ditambah lupa kalau liburan sekolah sudah berakhir. Aku terburu-buru hingga tidak membuat sarapan terlebih dahulu.
Beberapa warga di komplek perumahan menyapaku. Aku pun membalas sapaan mereka dengan senyuman. Aku tidak tahu jam berapa ini. Semoga saja aku tidak ketinggalan bus.
Aku terus berlari hingga akhirnya tiba di halte bus. Syukurlah busnya baru saja tiba. Kupikir aku akan terlambat di hari pertama kelas dua aku bersekolah. Aku menaiki bus itu bersama beberapa penumpang lainnya.
Saat di dalam napasku terengah-engah. Tadi itu benar-benar parah. Aku tidak pernah menyangka akan bangun kesiangan. Aku mengambil tempat duduk paling belakang. Ya tempat duduk paling nyaman, jarang sekali orang duduk di bangku paling belakang. Aku menghelakan napas dengan lega sembari menyandarkan diri di bangku. Perlahan, aku menoleh ke samping, memandang bangunan-bangunan di Kota Surabaya. Rumah sakit tampak ramai. Pejalan kaki melangkah di trotoar. Beberapa ada yang berjualan di trotoar. Surabaya di pagi hari selalu sibuk. Tidak hanya di pagi hari, bahkan hampir 24 jam selalu ramai.
Ngomong-ngomong, soal diriku, namaku Aiko Miyako. Aku seorang gadis, berambut pendek. Umurku masih 16 tahun, lebih tepatnya. Kini aku tengah menginjak kelas dua SMA. Aku bersekolah di SMA Swasta, dengan seragam yang sediki unik dan langka ditemukan. Seragam yang kukenakan berupa seragam pelaut berwarna biru dan putih dengan dasi berwarna merah, lalu rok pendek di atas lutut berwarna biru. Seragam ini hampir mirip dengan yang ada di negeri Bunga Sakura.
Nama maupun sekolah sama-sama bernama dari Jepang. Entah kenapa aku diberi nama Aiko Miyako oleh kedua orangtuaku. Aku tidak tahu hingga saat ini. Mereka selalu mengatakan kalau namaku terlihat keren saja. Seperti nama brand, bukan?
Masa bodoh dengan hal itu.
Bus melaju dengan padat, di samping kiri dan kanan bus terlintas kendaraan beroda dua dan mobil. Mereka saling bersahut-sahutan seolah sedang saling berkomunikasi. Memang beginilah hidup di Kota Metropolitan.
Soal orangtuaku, mereka tengah bekerja di luar kota. Kadang beberapa minggu sekali pulang. Alhasil aku tinggal sendirian di rumah. Tapi aku mulai hidup sendiri ketika menginjak kelas satu SMA. Saat itu, aku dan orangtuaku hendak pindah. Aku sebenarnya tidak ingin ikut karena ada beberapa hal. Pertama, aku tidak ingin meninggalkan sahabatku. Kedua, aku selalu ingin ada di Surabaya. Sudah cukup lama aku tinggal di sini. Jika aku pindah, sama saja aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Alasan pertama adalah alasan paling kuat kenapa aku tidak ingin pindah.
Bus sempat berhenti di pinggir jalan, dekat dengan universitas. Beberapa penumpang turun di sana. Mungkin mereka mahasiswa, atau mungkin dosen. Suatu saat aku juga akan jadi seperti mereka. Kurang satu tingkatan lagi, setelah itu aku lulus.
Bus kembali jalan, meski sedikit susah karena jalanan ramai di sebelah kanan. Pelan-pelan bus itu mulai berjalan.
Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas, sejak tadi ponselku berdering terus. Paling-paling hanya pesan promosi yang masuk. Dugaanku benar, hanya ada beberapa notifikasi tentang promosi dan beberapa pesan di grup yang tidak penting. Aku menghelakan napas, lalu kembali memasukkan ponselku ke dalam tas ransel.
Bus pun akhirnya tiba di sekolahku, berhenti di halte bus. Aku pun turun dari bus. Gerbang sekolah sudah tampak ramai dengan para siswa-siswa. Aku berbaur dengan mereka.
Suasana yang selalu dipenuhi dengan tawa, percakapan normal. Bahkan ada yang membicarakan pelajaran di hari pertama kelas dua.
Namun, ada satu orang yang akan muncul setelah ini. Dan aku mengenalnya lebih dekat.
"A-i-k-o!"
Suara itu benar-benar kukenal. Dia dengan cepat langsung meraihku, memelukku seolah seperti sahabat yang jarang bertemu. Padahal dia selama liburan selalu datang ke rumahku.
"Akhirnya, aku bisa bertemu dengan adikku." Dia mengusap rambutku.
Dia adalah Fani, sahabatku sejak sekolah dasar. Rambutnya hitam panjang dengan mata berwarna biru. Sedikit tinggi dariku. Dia seperti sosok wanita yang anggun dan ideal di sekolah. Hanya saja masih terasa aneh saja kalau dia masih belum memiliki pacar.
Yang aku tahu tentang hubungan romansanya adalah dia selalu menolak semua laki-laki yang ada di sekolah. Bahkan itu sudah terjadi ketika dia berada di bangku SMP. Saat itu kami berada di kantin. Salah seorang cowok datang mengampiri kami dia memberikan sebuah surat pada Fani. Namun, apa yang terjadi? Benar, dia menyobek surat itu.
Aku hanya bisa terdiam saja melihat kejadian yang bisa dibilang sedikit kejam. Padahal Fani belum membacanya sama sekali. Itu yang aku ingat dahulu.
"Bukannya, kamu juga sering bermain di rumahku?" Aku bertanya.
Fani lantas melepaskan pelukannya dariku. Dia hanya terkekeh saja.
Mengenai kenapa dia memanggilku adik? Itu karena memang kami seperti sepasang adik kakak saja kalau dilihat. Lalu juga, itu permintaan Fani sendiri sejak SMP. Dia ingin memiliki adik. Dan benar saja dia langsung menganggapku adiknya. Padahal umur kita hampir sama, tidak, mungkin selisih satu tahun. Hanya saja kelakuannya kadang tidak sesuai dengan tempatnya.
"Fani, jika kamu melakukan hal itu lagi, aku akan meninggalkanmu lebih cepat."
"Eh, memang aku melakukan kesalahan?" tanya Fani yang berpindah posisi di depanku.
Aku hanya menatapnya saja dengan sedikit ketus. Lalu, menghelakan napas.
Tak lama terdengar suara bel yang sudah berbunyi. Baiklah, ini saatnya masuk ke kelas.
"Hei, Fan. Ayo kita masuk ke kelas ini sudah hampir terlambat." Aku menyondorkan tangan pada Fani. Lantas Fani meraihnya. Kami bergandengan bersama, memasuki sekolah.
***
Sebenarnya, itu masih awal mulanya saja. Cerita sesungguhnya terjadi setelah ini. Ada hal yang belum kuceritakan pada kalian. Ini sudah terjadi beberapa minggu yang lalu. Aku selalu bermimpi berada di sebuah pulau terpencil. Aku berdiri di tepi pantai. Angin kencang menerpa diriku, melambaikan rambut pendek. Deburan ombak menghantam karang. Kemudian petir menyambar di langit yang kini berawan. Gelap. Entahlah aku selalu saja bermimpi tentang hal itu belakangan ini. Apa penyebabnya? Aku tidak tahu. Selalu saja aku merahasiakan hal ini terutama dari Fani. Karena kupikir ini adalah efek stres saja, jadi bisa ditangani sendiri. Namun, bukan, aku tidak stres saat itu. Beberapa efek mimpi buruk biasanya terjadi karena stres. Itu hanya pandanganku saja.
Aku duduk di bangku kelas, menopang dagu, memandang kaca jendela. Berpikir sejenak tentang hal itu. Aku selalu menganggap hal itu cukup ringan. Namun, tepat tadi malam, hal itu benar-benar menggangguku. Mimpi yang selalu sama berulang kali terjadi.
Namun, setelah kejadian itu aku mendapatkan sesuatu yang tidak akan kalian sangka. Hal yang sebenarnya bukan menjadi keinginanku.