TV yang menampilkan kredit di akhir banyak karya audiovisual adalah satu-satunya sumber cahaya ruang tamu rumah itu, menyorot dua orang yang duduk bersampingan bersandar di sofa.
Mengambil kesempatan untuk akhirnya bicara, "Aku masih tidak mengerti kenapa kau suka film ini." Salah satu dari mereka berkomentar dengan mulut yang agak sibuk mengunyah jagung berondong dari mangkuk besar yang terletak di antara keduanya.
Menghela napas lelah, "Kau sudah melihat alasanku suka film ini, Alex." Yang lain kembali menjelaskan diri, "Leonardo. DiCaprio." Sebelum kemudian tersenyum lebar.
Menangkap jawaban jahil itu, Alex hanya menggelengkan kepala dengan senyum di muka.
Lalu, menggunakan energi terakhirnya, "Aku terlalu lelah untuk cemburu sekarang, Tia." Dia memosisikan kepala agar terbaring di paha teman bicara dan hidupnya, "Ingatkan aku besok, ya." Dan menutup mata di sana.
Mendengarkan respons penuh sang suami, "Ten ...." senyum Tia melembut, lalu dia diam tak berkedip merasakan kepala sang suami yang sekarang berbaring di pahanya.
Kemudian setelah beberapa lama, "... eh?" Dia berkedip sadar suaminya tidak lagi bangun, "Alex ...?" Yang mana hanya berarti satu hal: dia terjebak dalam posisinya saat itu hingga pagi tiba; salah satu dari sedikit nasib yang lebih buruk dari mati.
Menolak untuk menerima kutukan semacam itu lagi, "Tidak, tidak, tidak!" Tia menggeliat di tempat duduknya sembari berteriak, "Alex!" Berdoa keajaiban akan tiba dan sang suami membuka mata.
Sayangnya, sihir tidak ada di dunia nyata.
Bukannya terbangun, suami Tia malah tenggelam semakin dalam ketidurannya, bagai bayi yang sedang digoyang perlahan hingga mereka tidur.
Melihat itu, Tia menunduk menyerah pada nasib.
Dia sudah mengenal Alex lama, sudah tidur bersama pria itu sejak lama pula; dan dia tahu betul bahwa sang suami tak akan tertendang keluar dari mimpi-mimpinya.
Menerima nasibnya bersama pengetahuan itu, Tia menghela napas dan bersumpah pada semesta dia akan mengomeli si pria esok hari sembari mencari posisi paling nyaman untuk sekali lagi tidur duduk.
Perlu beberapa percobaan bagi Tia untuk menemukan posisi yang tepat sebelum dia akhirnya bisa tertidur karena terlalu lelah mencari.
Pelan, kegelapan merampasnya; merebut kesadarannya, menenggelamkan dia ke dalam mimpi yang sang suami juga lihat di tempat berbeda.
Di sana, dia melihat langit retak dan jatuh ke tanah. Gunung-gunung runtuh dimakan bumi yang bergetar marah, menggerakkan lautan ke daratan dan pemukiman manusia yang tak bisa menghindar dari segala serangan alam.
Namun, bagian paling buruknya bukanlah itu semua, bukan pula fakta bahwa Tia bisa merasakan setiap efek bencana.
Tidak, tidak, tidak. Bagian paling buruknya adalah bagian yang Tia tak mau terima, yaitu fakta bahwa dia dan suaminya berpisah di hari semesta berakhir.
Jari manis kiri keduanya tidak lagi diikat apa-apa, hati mereka tidak lagi mengandung satu sama lainnya, dan mata mereka hanya memandang kosong ke langit merah; berharap mati segera datang.
Tentu saja, bila orang tahu itulah kekhawatiran terbesar Tia di hari kiamat, mereka akan tertawa mengejek dan merasa Tia adalah wanita egois.
Dan mereka tidak salah, Tia cukup egois bila sesuatu hal mulai bersangkutan dengan Alex. Lagi pula, dia berniat membuang seluruh hidupnya bersama si pria manis.
Oleh karena itulah, menyaksikan panorama di depan, Tia hanya bisa bertanya, "Bagaimana bisa ...?" Dan menundukkan kepala; dia menemukan jawabannya.