Aufa POV
Acara makan malam yang biasanya di isi canda tawa berubah jadi penuh dengan situasi mencekam. "Fa aku ngga masalah kamu bawa Naina waktu lagi jalan sama Citra. Cuma ya jangan lupa juga Naina itu anak kecil yang gampang bosan,"ucap Dimas.
"Maaf Kak. Tadi aku juga ngga tau soalnya waktu itu aku masih mesenin makanan buat Naina,"ucapku menghela nafas. "Sudah sudah. Yang sudah ya sudah. Buat pelajaran buat ke depannya aja,"ucap Gifari memutus perdebatan yang tak kunjung usai. "Naina sekarang mana?,"tanya Aisha.
"Ibun. Naina tadi udah makan di kost Kakak koploan. Tapi bukan kakak koploan yang masak. Kak Ayesha yang masak,"ucap Naina ikut bergabung. "Kakak ke tempat Kakak koploan ngga ngajak,"ucap Arini. "Iya kak. Mau ketemu sama kakak koploan juga,"ucap Maira. "Kok kakak koploan kalian panggilnya?,"tanya Gifari.
"Kakaknya suka putar lagu Koplo Abi,"ucap Naina. "Loh memang nama aslinya siapa?,"tanya Ayana. "Almira Adya Kartika Mbak. Biasanya di panggil Almira. Itu nah yang kemarin salah paham,"ucapku. Bahasan tentang gadis itu bukannya tambah habis tambah banyak terus setiap harinya. Bahkan chat untuk kepentingan akademi di read aja.
"Almira yang pakai baju apa tadi?,"tanya Dimas. "Yang pakai baju biru Yah. Kakak koploan itu rajin tau Yah. Baru lebih banyak buku daripada baju di kamarnya. Baju nya cuma satu kotak bukunya penuh di lemari,"ucap Naina seperti dugaan ku. Gadis itu datang dari kampung dan memang acuh tak acuh dengan perkembangan fashion.
"Mungkin Kak Almira punya alasan lain makanya cuma sedikit baju nya,"ucap Aisha. "Kak waktu di kostnya mutar lagu koploan juga kah,"tanya Arini. "Iya sambil minum kopi sama baca buku. Kakak koploan itu kutu buku kata Kak Ayesha,"ucap Naina. Hah ayolah kenapa bahasan Almira bisa sampai ke meja makan.
"Kok sama kayak kamu Fa,"ucap Gifari menyenggol lengan ku. Jelas sarat akan makna kemana arah perbincangan ini. "Banyak juga yang begitu Yah. Aufa ngga kutu buku sama ngga ngopi. Citra juga kan suka baca buku,"ucapku. "Kak koploan konyol kah Kak kalo di kost,"tanya Maira. "Tambah parah lagi.
Cuma kakak Koploan tadi bilang kalo kita belajar serius nanti bisa masuk universitas berasrama. Jadi ngga makan mie kayak kakak,"ucap Naina. "Kalian kayak sudah akrab dengan Almira,"ucap Dimas. "Yah kakak koploan itu memang cover nya kayak biasa biasa aja. Tapi seru,"ucap Naina.
Bosan terus mendengar obrolan tentang Almira, ku langkahkan kaki menuju kamar sembari membuka kembali ponsel ku.
Citra
Mas udah makan belum?
Nih aku masak banyak
Pesan yang masuk membuatku menarik senyum sembari menekan tombol obrolan video. Gadis manis dengan rambut pendek itu masih aja selalu tampak elegan dan memukau di mata siapapun yang melihatnya. "Makan gih. Mas baru aja makan,"ucap ku sembari menyusun beberapa riset yang tinggal di publikasi.
"Yah udah duluan. Mas mau riset lagi pasti,"ucap Citra. "Ya begitulah nama nya juga dosen. Kemarin maaf ya jadi terganggu dengan ponakan ku,"ucapku tak enak hati. "Aish ngga papa lagi Mas. Aku ngga terganggu dengan mereka kok,"ucap Citra begitu lemah lembut. Semua hal yang terkait dengannya itu elegan dan menawan.
"Kapan mau main ke rumah Cit? Aku sudah pernah ke rumah mu loh,"ucap ku. "Ehm boleh Mas. Akhir minggu insya Allah semoga ngga hujan,"ucap Citra ku angguki. "Makan dulu gih. Ngga enak kalo sambil makan. Nanti di sambung lagi,"ucapku menutup panggilan video membuatku menarik senyum lebar.
Sebenarnya bukan alasan makan sih. Hanya saja ngga mungkin bungkus kado anniversary ke 3 bulan di depannya. "Fa ada punya selotip kah? Beh mau ngapain itu?,"tanya Dimas. "Ada di tempat pensil Mas. Buat anniversary ke 3 bulan,"ucapku. "Oalah. Fa aku mau ngomong serius ini. Kamu kan udah 36 tahun. Apa ngga mending saatnya serius lamar langsung kah?
Bawa ke rumah kenalkan sama Bapak Ibu. Mereka itu punya pandangan lain kalo ku perhatikan. Jangan sampai kayak aku yang selesai gara-gara bapak duluan mutuskan siapa yang nikah dengan ku. Tapi bahagia sih sampai 3 anak ku. Cuma ingetin aja Fa jangan sampai terulang di kamu,"ucap Dimas membuatku berbalik menatapnya.
"Mantan kakak memang lain sih. Nanti lusa ku bawa ke sini insya Allah. Doa kan semoga lancar kak. Lagian cewek mana lagi yang mau di lamar sama mereka kak,"ucapku. "Almira,"ucap Dimas tak bisa ku tolak. Apalagi setelah salah paham kemarin. "Ku segera kan kak,"ucapku yakin sebelum gadis itu masuk ke dalam keluarga ku.
-^-
Almira POV
Gemericik air yang turun hanya bisa ku pandang saja. Apa juga guna nya liburan ke wisata air ternyata aku haid. "Gusti kenapa coba aku yang duduk di sini,"ucapku sebal sendiri. Mending aku tidur aja di kost daripada begini. Mana cuma aku yang haid lagi. Ayesha aja sudah nyebur dengan bahagia nya.
"Mau baca novel ngga Al,"tanya Kafa mengambil air minum. "Boleh boleh. Kamu bawa?,"tanyaku berbinar. "Ada di tas. Daripada kamu bosen cuma nontonin aja,"ucap Kafa memberikan 3 buah novel membuat bibir ku terangkat. "Makasih banyak loh Fa,"ucapku. "Sama-sama Al. Ngga papa kan sendirian di sini,"tanya Kafa.
"Aish kalo udah ada ini ngga papa kali Fa,"ucapku. "Kafa gas terus eh. Bukan main,"ucap Revan hany lewat di telinga ku sementara Kafa sudah berlalu menyusul. Sembari memutar musik dengan headset dan sebotol susu di tumblr rasanya ngga ada bedanya dengan di kost.
"Baik banget juga kamu Fa. Jadi kan aku ngga kesepian kalo begini,"ucapku tersenyum lebar sembari mulai berselancar ke dalam novel. Satu hal yang ku sukai dari novel itu terkadang bisa membuatku seolah memiliki kekasih padahal ngga ada. Sebenarnya ngga ada bedanya dengan halu nya Ayesha. Cuma kalo aku berbeda tiap novel dan jelas itu cuma karakter fiksi.
Byurr
Rasa dingin dari air es yang mengalir mengenai wajah dan setengah buku membuatku terkesiap. Mata ku menatap tajam wanita yang salah outfit di depan ku. Bisanya sudah tau yang namanya air terjun itu rata-rata tempat nya di gunung. Bukan malah pake sepatu putih, celana putih berhoodie. "Gila kah kamu Mbak,"tanya ku.
Wajahnya pernah ku lihat beberapa kali dengan Regal, kakak tingkat ku. "Sopan ya begitu dengan kakak tingkat Dek,"tanya Citra membuatku menatap semakin tajam tanpa rasa takut. "Ngga pernah dengar pepatah kalo mau di hargai, hargai orang?,"tanyaku tanpa tedeng aling-aling. Suasana yang terbuka membuat suara ku semakin keras.
"Saya dari tadi tanya tapi kamu yang sengaja diam kan,"ucap Citra membuat ku menarik headset yang tergantung. "Su'udzon. Sudah merasa ahli surga? Bisa kan senggol tangan ku,"tanyaku singkat. "Ck bodo amat. Dimana Pak Aufa,"tanya Citra membuatku menaikkan sebelah alisku. "Kok tanya saya.
Saya aja ngga ada urusan dengan beliau,"ucapku. "Kak Citra kenapa ya kak,"tanya Revan menghampiri. "Kamu tadi bilang Fa kan. Dimana Aufa?,"tanya Citra. "Mau ku siram air septic tank kah? Kira mu semua yang panggilan nya Fa itu cuma Aufa? Ck bikin rusuh aja. Sudah ngga bawa baju ganti malah basah basah begini.
Rusuh,"ucapku sebal menjemur novel Kafa yang basah tanpa peduli tatapan penuh dengan kebohongan make up. "Ehm mungkin yang dimaksud Fa itu Kafa kali Kak,"ucap Revan. "Dasar adek tingkat ngga tau sopan santun,"ucap Citra berlalu. "Oh. Baik kak besok lagi kalo aku mau nyapa orang ku siram dulu,"ucapku menghentikan langkah nya.
Ku lihat tangannya mengepal sembari menatap kuat ke arah ku. Sontak dengan cepat ku langkahkan kaki menepi membuatnya terjatuh ke jalan berlumpur karena berulang kali teman ku dengan kaki basah lewat di situ. "Almira kamu ngga takut kena pelanggaran etika kah,"tanya Revan. "Van aku masih tau yang mana bisa di hargai dan ngga.
Santai aja tapi kalo kamu jadi aku mikir. Kamu lagi haid ngga bawa baju ganti. Trus di kasih basah. Menurutmu gimana,"ucapku. "Mir ngga papa kah,"tanya Kafa kembali naik ke permukaan. "Maaf ya Fa basah novel mu,"ucapku tak enak hati. "Nggak papa kali Al. Mending kamu baca nya di batu dekat air terjun aja biar ngga begitu sendiri,"ucap Kafa menyampirkan jaket di bahu ku.
"Makasih banyak ya,"ucapku tersenyum lebar. "Keras memang sih Kafa,"ucap Revan. "Tas nya disini aman aja kan,"tanyaku sembari menyimpan ponsel ke dalam tas sebelum berlalu mengikuti jejak. "Aman insya Allah,"ucap Revan ku angguki. "Almira ayo nyebur sini,"ajak Dimitri. "Kalo bisa nyebur aku,"ucapku santai.
"Ngga seru. Almira ngga bisa nyebur. Kalo bisa kan malah tambah rame lagi,"ucap Ayesha di setujui banyak pihak. "Oke semuanya diberkatilah kalian,"ucapku jenaka mengundang tawa. Udara sejuk di sekitar air terjun kalo bisa bukan hanya membuatku nyaman. Terlalu nyaman malah sampai mau tidur rasanya. "Al ngga mau koplo an kah,"tanya Arvati.
"Aish kalian ini lagi mood ambyar kah,"tanyaku menyisihkan novel yang ku baca. "Almira tanpa koplo itu bagai taman tak berbunga,"ucap Ayesha. "Al ayolah lama ngga denger kamu nyanyi,"ucap Dimitri. "Iya Al. Mumpung ada gitar di ruangan terbuka ngga mantul suaranya kayak kalo lagi di kelas,"ucap Revan ku angguki.
"Ehem untuk semua yang pernah lelah berjuang tapi hanya di anggap teman. Sebenarnya kita bukan menganggap nya teman hanya saja ada hal lain yang tak bisa di ungkap kan. Dengan teman aku tak akan ada kata putus dan bisa terus dengan mu,"ucapku memetik senar gitar mengawali lagu.
"Penuh makna banget,"ucap Ayesha ku abaikan. Pasti sasaran mereka yang ku maksud Kafa. Padahal aku juga ngga tau mau pikirkan siapa. "Yang hafal lagu nya bisa nyanyi ya,"ucapku seolah akan memulai sebuah konser saja.
Namun kenyataan engkau sia-siakan
Dan setelahnya hanya kau anggap teman
Sembari mengikuti iringan musik dari gitar yang ku petik. Bisanya juga mereka malah joget di dalam air. Hah sudah sama-sama kehilangan kadar waras sepertinya. Ujian melelahkan harus di sambut dengan hal bahagia seperti ini juga kan. "Almira,"panggilan pelan di sela riuh itu terasa nyata tapi ngga bisa ku yakini siapa dirinya.
"Siang Pak,"
Kalimat serempak itu sontak membuat ku menghentikan lantunan dan Petikan gitar. "Almira saya mau minta penjelasan tindakan untuk mu,"ucap Aufa membuatku sontak berdiri. Gadis dengan salah outfit tadi juga ikut rupa nya. "Apa yang perlu saya jelaskan Pak,"tanyaku masih mengingat etika.
"Kenapa mendorong Citra ke jalan berlumpur Almira?,"tanya Aufa membuatku hanya menaikkan sudut bibirku sinis. "Izin Pak. Almira ngga dorong, Kak Citra jatuh karena mau mukul Almira. Tapi Almira bisa hindar jadi Kak Citra yang jatuh,"ucap Revan membuka suara. "Sudah Pak?,"tanya ku.
"Kenapa kamu juga mau mukul Dek,"tanya Aufa. "Dia itu ngga tau sopan santun,"ucap Citra menunjuk ku. "Dengan menyiram air ke orang yang ngga di kenal?,"tanyaku memeras ujung hijab yang masih basah. "Saya rasa ini salah paham. Mohon maaf Almira dan untuk kalian juga jadi terganggu,"ucap Aufa menarik Citra berlalu.
Byurr
Dasar sok kuat. Sudah dua kali nyasar sasaran pukulan nya sekarang malah terjun bebas kan. "Eh tolongin weh,"ucap Ayesha menarik Citra ke tepi. "Mbak saya orang kampung. Pedalaman malah. Jadi ngga usah nantang hiu di laut lah,"ucapku tersenyum cuek sembari kembali duduk di tempat ku.
"Ck haruskah berdebat. Sudah ayo Dek nanti di atas aja ada jaket ku,"ucap Aufa menarik Citra berlalu. "Kamu ngga ada belain aku gitu,"tanya Citra hanya terdengar di telinga ku. "Kamu juga Almira. Apa bisa gunakan bahasa yang lebih baik untuk kakak tingkat mu?,"tanya Aufa. "Lalu dengan apa saya berbicara dari tadi.
Haruskah saya misuh dulu?,"tanyaku cuek tanpa menatap Aufa sedikitpun. "Ck memang gitu caranya ngomong sama dosen,"ucap Citra membuatku sontak berdiri. "Maaf Pak dan Mbak yang terhormat. Saya ngga tau ada masalah apa dengan saya. Tapi saya memang tidak ada urusan. Apalagi ini hari libur.
Saya datang kemari mau liburan bukan mau cari masalah. Saya masih punya sopan santun. Mbak jangan terbiasa membesarkan masalah yang sumber nya dari Mbak sendiri. Kalo minta saya minta maaf. Oke saya minta maaf. Apa perlu sungkem juga? Sudah masalah selesai kan,"ucapku menarik akar gantung yang tampak kokoh.
"Saya rasa juga cukup di sini saja. Saya Permisi,"ucapku berayun dengan akar gantung naik kembali ke pondok. "Almira Masya Allah,"ucap Ayesha ku abaikan. Aku sudah terlalu muak semua hal selalu berkaitan dengan keriuhan olehnya. Kemarin keponakan sekarang pacarnya. Besok entah apa yang dia lakukan.