'Ketika ada hari dimana seseorang mau melengkapi kekuranganmu.'
.
.
.
.
klang!
Aku berhenti menuruni tangga ketika mendengar suara cangkir yang diletakkan. buru-buru menoleh ke ruang tengah. Terlihat Ayah sedang duduk disana sambil menonton televisi.
Dalam sepersekian detik itu aku merasa tiba-tiba Tuhan menjadi sangat baik, aku mengangkat kedua sudut mulutku dan bergegas menghampiri Ayah.
Aku hampir memanggilnya sebelum sosok itu lenyap bersamaan dengan dering ponsel di saku almamaterku.
"Halo Ayah!"
"Halo Ar, Ayah boleh minta tolong sama kamu?"
"Bisa," jawabku singkat.
"Carikan Flashdisk hitam di laci kerja Ayah ya?"
"Ya, Arda carikan," aku mengiyakan tanpa pikir panjang.
"Nanti antar ke kantor setelah pulang sekolah, Ayah ada meeting sekarang, jangan lupa ya Ar."
tut! tut! tut!
Ayah menutup teleponnya sebelum mendengar jawabanku, dan aku sudah terbiasa. Melihat ke ruang tengah sekali lagi membuatku menghela napas pasrah, alangkah baiknya jika Ayah benar-benar duduk disana sambil menikmati hari-hari yang tenang, tanpa peduli dengan segala hal tentang pekerjaan.
Aku berjalan menuju ruang kerja Ayah yang berantakan, setelah menemukan flashdisknya aku akhirnya berangkat.
Ketika sampai di gerbang sekolah, Kenan mencegatku. Dia mengisyaratkanku untuk ikut, dan aku mengikutinya tanpa mengatakan apapun.
Aku dan dia berjalan menuju roftop. Kami hanya berdiri disana sambil menikmati angin yang berhembus. Kenan akhirnya menyalakan rokoknya.
"Putus?" tanyanya.
Aku mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa.
"Bodoh!"
"Ha?"
"Kau bodoh!"
Sarkasme itu membuatku tidak nyaman.
"Apa yang membuatku terlihat bodoh?"
Kenan menyesap rokoknya, mengeluarkan asap dari hidungnya dan menatapku.
"Jangan bilang kau memutuskan dia hanya karena cinta tidak datang seperti yang aku katakan."
"Itu sudah satu semester, tapi tak ada perubanan apapun."
"Itulah kau Arda, orang yang tidak sabaran."
Aku diam, setuju dengan Kenan yang mengataiku tidak sabaran.
Kenan membuang rokoknya ke tanah dan menginjaknya, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, matanya menatap pemandangan yang terlihat dari atas rooftop.
Aku melakukan hal yang sama.
"Cinta itu butuh waktu, dia tidak bisa kamu paksa untuk datang dan pergi sesuai keinginanmu. Semuanya berawal dari kata terbiasa."
"Itu artinya aku tidak terbiasa dengannya, makanya cinta tidak datang."
Aku sedikit mengerti setelah mendengarkan Kenan, tapi ucapan Kenan yang selanjutnya membuatku bingung lagi.
"Kau salah!"
"Diamana salahnya?"
"Kau sebenarnya terbiasa dengan kehadiran Elen, tapi kau hanya belajar untuk terbiasa, bukan belajar mencintai."
Aku hanya terbiasa dengan hadirnya Elen, aku menganggapnya bagian dari hidupku. Tapi walau begitu aku memang tidak belajar untuk mencintainya, atau lebih tepatnya aku hanya menganggapnya sebagai teman.
"Kau hanya memposisikan Elen sama sepertiku 'kan? Kau terbiasa dengan kehadiranku tapi kau tak pernah berpikir untuk mencintaiku, jadi cinta tidak datang pada akhirnya."
"Kau itu laki-laki, wajar untukku menolak perasaan cinta," jawabku datar.
"Itu hanya perumpamaan."
Kemudian, hening beberapa saat diantara kami, jam tanganku menunjukkan pukul setelah tujuh, sebentar lagi kelas akan dimulai dan kami masih berdiri di Rooftop.
"Jadi bagaimana?" tanya Kenan setelah kesunyian itu.
Aku menoleh, "Bagaimana apanya?"
"Mau cari penggantinya?"
"Mungkin!" jawabku agak ragu.
***
Waktu berlalu tanpa ku sadari, kantor kerja Ayah sangat ramai ketika aku sampai di sana. Rasa malas tiba-tiba membuatku berhenti di depan pintu masuk.
Aku menggelengkan kepalaku dan memberikan flashdisk itu pada seorang tukang satpam.
Aku pergi ke restoran setelahnya, masih mengenakan seragam sekolah dan masih membawa tas.
Meja yang ku pilih selalu tempat yang dekat dengan jendela, karena langit selalu terlihat cantik ketika kupandang dari balik kaca.
Di sana, diantara pengunjung yang padat, sudut mataku menangkap sosok perempuan yang terlihat kebingungan, mungkin mencari sesuatu.
Tanpa peduli, ku sesap teh manis yang baru datang beberapa detik lalu, tapi tetap saja, bayangan gadis itu masih menggangguku.
Dan entah takdir atau apa, aku melihat sebuah kertas terinjak² di lantai. Sesuatu yang mungkin dicari gadis itu.
Aku akhirnya memungutnya dan menghampiri pemiliknya.
"Kau cari ini?" kusodorkan kertas itu sambil bertanya.
"Terimakasih sudah memungutnya."
Aku mengangguk, lalu kuajak dia untuk duduk bersamaku. Punya teman bicara mungkin lebih baik, pikirku.
Tapi yang kuharapkan tidak terjadi, gadis itu ternyata lwbih pendiam dari yang terlihat.
"Mau ku pesankan minum?" tawarku.
Dia menjawabku dengan gelengan. Suasanya sunyi menyelimuti kami berdua.
"Mencari seseorang yang membuat nyaman ya?" gumamnya, membuatku agak terkejut.
"Kau mengatakan sesuatu?" rasa penasaranku mendorongku untuk bertanya.
"Bukan, aku tidak mengatakan apapun."
"Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Namaku Safa," jawabnya.
"Arda!"
Aku mengatakan apa yang harus kukatakan, dengan begitu kami bisa dianggap sebagai kenalan.
"Aku akan pergi," ucapnya tiba-tiba.
"Begitu terburu-buru?"
"Ah ... y ... ya!"
"Kenapa gugup begitu?"
Aku bingung, gadis itu tidak mengangkat wajahnya sama sekali sejak kami bertemu. Dan di sepertinya gugup saat berbicara denganku.
"Maaf!"
Setelah itu dia bergegas meninggalkan Restoran, dan aku hanya menatap punggungnya dari jauh.
Katanya cinta datang dengan tiba-tiba, semua yang asing bisa berubah jadi sesuatu yang berharga dalam sekejap. Entah benar atau salah, tapi hari ini aku ingin bertemu gadis aneh itu sekali lagi.
Mungkin ketika kami bertemu, sesuatu yang hilang dari hidupku bisa kembali.