Devan sampai di rumah sakit untuk menemui papanya. Sambil tersenyum ia masuk ke rumah sakit melewati lorong-lorong rumah sakit dengan pemandangan berupa kesibukan para dokter dan perawat yang berlalu lalang melayanj pasiennya. Sepanjang perjalanan Devan menjadi pusat perhatian. Terutama para gadis yang ada dengan kesibukan mereka di sana. Pesona Devan yang tak dapat di tolak oleh mata manapun membuat mereka terkesima dengan perawakannya yang tampan dan gagah.
Devan sambil berjalan melepaskan kacamata hitam miliknya. Di masukkannya kacamata itu ke dalam saku di balik setelan jas yang dikenakannya. Ia melayangkan senyumannya. Mencoba bersikap ramah dengan para perawat ataupun pasien yang tanpa sadar tersihir dengan pesonanya.
"Kamu bisa membuat mereka berbondong-bondong masuk ke ruang ICU hanya karena senyumanmu, Nak!"
Seorang pria paruh baya menghentikan langkahnya. Pria itu berdiri di hadapannya sambil tersenyum. Kemudian di angkat kedua tangannya, seakan mengharapkan pelukan Devan yang sangat dirindukannya.
"Papa!"
Devan berlari dan langsung memeluk erat papanya tersebut. Meski hanyalah orang tua angkat, Hanson adalah sosok yang berjasa dalam hidupnya. Jika saat itu Hanson tak menolongnya, pastilah Devan tak akan menjadi sosok kuat seperti saat ini.
"Apa kabar, Pa?" tanya Devan ketika melepas pelukannya. Di raihnya satu tangan Hanson dan mengecupnya dengan rasa hormatnya sebagai seorang anak.
"Baik, Nak!" jawab Hanson seraya menepuk bahu lebar milik Devan.
Dengan perasaan bangga Hanson mengamati anak angkatnya itu. Ia tersenyum sebelum akhirnya memeluknya kembali untuk sesaat. Ia sangat bahagia melihat Devan kembali dengan perubahan yang terlampau sangat baik dalam hidupnya.
"Kebetulan Papa ada janji temu sebentar di ruang dokter." ucap Hanson sambil merangkul Devan dan menuntunnya berjalan hingga berhenti di depan ruangannya.
"Kamu masuklah terlebih dahulu! Tunggulah Papa di dalam! Aku tidak akan lama." pesan Hanson kepada Devan.
"Baiklah, Pa!"
Setelah melihat Hanson pergi, Devan pun masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ia mengamati ruangan kerja milik Hanson sambil tersenyum. Ia tersenyum saat melihat deretan foto yang terpajang rapi di meja kerja Hanson. Terdapat banyak sekali potret dirinya dan Hanson saat berusia 15 tahun sebelum kepergiannya ke Eropa. Lalu ia melihat potret adik perempuan yang sangat ia rindukan saat ia berada di Eropa. Ia tersenyum melihat foto terbaru milik Hanson. Dalam foto itu, Hanson dan Miranda tengah merangkul Stecy yang tersenyum mengenakan seragam putih abu-abu.
"Sudah besar dia!" komentarnya sambil tersenyum.
"Permisi, Tuan!"
Seorang petugas kebersihan datang dan masuk sambil membawa peralatan kebersihan. Sosok petugas kebersihan wanita itu menarik perhatian Devan ketika masuk ke ruangan. Mata besar dengan bola mata berwarna coklat membuatnya terus memperhatikannya. Dengan pandangan takjub Devan memperhatikan sosok cantik itu dan ia sempat terenyuh melihat senyumnya yang ramah.
Dalam diam Devan memperhatikan sosok itu. Hingga kemudian wanita cantik itu keluar sambil tersenyum sebagai tanda sapaannya kepada Devan. Melihat betapa cantiknya sosok cleaning service rumah sakit itu membuat Devan melangkahkan kakinya untuk mengikuti langkahnya.
"Tunggu!" ucap Devan dengan suara sedikit kencang.
Mendengar panggilan Devan, wanita itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Devan dengan ekspresi wajah penuh tanya.
"Ya?" tanggap wanita itu dengan ekspresi ramah.
"Kamu harus bertanggung jawab." ucap Devan kemudian.
"Bertanggung jawab?"
Devan mendekati wanita itu. Kemudian memandanginya dengan tatapan tajam. Di tatap dengan ekspresi dingin seperti itu membuat wanita itu sedikit takut dan memundurkan langkahnya.
"Itu!"
Devan menunjuk kedua bola mata indah milik wanita yang baru di jumpainya itu. Terang saja hal itu membuat wanita itu semakin bingung.
"Itu?" tanyanya dengan rasa penasaran.
"Kedua bola matamu yang indah itu tak bisa ku lupakan."
Wanita itu membelakkan kedua matanya. Ia terkejut dengan ucapan Devan yang mirip sebuah rayuan. Setengah tersenyum wanita itu menanggapi ucapannya, lalu membelakkan badannya dan melangkah pergi.
"Hei!" panggil Devan dengan suara beratnya.
Dan lagi-lagi wanita itu berhenti karenanya. Ia kembali membalikkan badannya menanggapi panggilan Devan. Menatap Devan dengan tatapan ramah. Sementara Devan dengan kepribadiannya yang kaku memandang wanita itu dengan tatapan datarnya.
"Jika nanti kita bertemu lagi, kamu harus memberitahu aku namamu!"
Ada rasa yang tak bisa di ucap. Meski baru pertama kali saling menatap dan berbicara. Ada debaran yang saling bersahutan di antara mereka. Baik Devan maupun wanita itu merasakan satu rasa aneh yang sama.
"Baiklah! Akan ku beri tahu jika hal itu benar-benar terjadi!" ucap wanita itu lalu bergegas pergi meninggalkan Devan sendiri.
Devan memperhatikan wanita itu dari belakang. Kemudian meraba dadanya yang merasakan satu debaran hebat.
"Devan! Sedang apa di sana!"
Lamunan Devan buyar ketika Hanson memanggilnya. Orang tua angkatnya itu ternyata sudah berdiri di depan ruangan pribadinya dan melambaikan tangannya.
"Baik, Pa!" jawab Devan kemudian setengah berlari menghampiri Hanson yang
Setelah ada di dekatnya, Hanson langsung merangkul Devan dan mengajaknya masuk.
"Wah... wah... Siapa yang kau goda sepagi ini?" goda Hanson.
Devan hanya tersenyum. Melihat senyuman Devan, Hanson mengacak-acak rambut anak angkatnya itu karena gemas. Kemudian keduanya duduk di sofa dan saling berhadapan.
"Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan dengan perusahaan barumu itu?" tanya Hanson menanggapi langkah anaknya yang dua bulan sebelum kedatangannya sudah berhasil memindahkan kantor pusat yang ada di Eropa ke Indonesia.
Devan terdiam. Ada satu pemikiran yang terus terngiang di kepalanya beberapa bulan ini.
"Tadinya aku mau mengerjakan benerapa protein baru mengenai alat medis. Tapi, ada satu hal yang ada dalam pikiranku dan jadi tujuan utamaku selama ini."
"Apa itu, Nak?" tanya Hanson ingin tahu.
Devan tersenyum. Lalu memandang Hanson dengan ekspresi optimis. Kedua tangannya menyatu dan membentuk kepalan.
"Aku harus masuk kembali ke keluarga itu, Pa. Aku harus masuk dalam JN Group!"
"Maksudmu? Kamu mau kembali ke rumah itu?" tanya Hanson.
Devan terdiam. Lalu tak lama kemudian ia menganggukkan kepalanya. Hal itu pun membuat Hanson sedikit cemas. Ia cemas karena mengingat bagaimana keluarga besar itu membuang Devan ke jalanan saat berusia 13 tahun.
"Aku harus kembali, Pa. Aku harus menghapus lukaku yang sudah lama aku pendam..." terang Devan menerawang.
"Jangan katakan jika ini tentang dendammu pada mereka!"
Devan tersenyum smirk mendapati ucapan papanya. Melihat senyuman licik Devan tentu saja membuat Hanson semakin cemas.
"Kamu jangan berbuat yang tidak-tidak Devan." Hanson mencoba memperingati.
Devan menghela napas sejenak. Ia mengatur napas nya.
"Maafkan aku, Pa. Aku sudah menahannya selama 15 tahun ini!"
Bersambung...
Salam sejahtera para readers yang baik hati.
Jangan lupa!
Tinggalkan pesan.
Dukung author dengan vote, komen dan subscribe.
Saya sangat membutuhkan masukan dan dukungan dari kalian semua.