Chereads / Transformasi dan Balas Dendam Kupu-Kupu Biru / Chapter 4 - Menuduh karena Benci

Chapter 4 - Menuduh karena Benci

Keesokan harinya, Cantika sarapan dan mengendarai sepedanya ke kota untuk menjual ular berbisa yang ditangkapnya. Hari ini adalah hari minggu, jadi kota sangat ramai.

Cantika menjual ular itu kepada pemilik toko obat. Ular berbisa sangat berharga. Kulit, empedu, dan dagingnya, semuanya bisa

dibuat menjadi bahan obat. Cantika menjual 40 rupiah untuk ular berbisa yang beratnya hampir sepuluh kilo itu.

Setelah mengambil uang itu, Cantika membeli ginseng, kurma merah, dan wolfberry. Ada toko kecil di sebelah toko obat tersebut. Setelah keluar dari sana, Cantika pergi ke supermarket dan membeli dua kantong susu bubuk. Cantika berpikir dalam hati bahwa masih ada 22 rupiah. Dia bisa membeli ayam dan memasaknya untuk makan hari ini.

Cantika juga memikirkan ibunya. Jika ibunya punya cukup nutrisi, maka dia bisa memberi makan adik bayinya dengan maksimal. ASI lebih baik dari susu bubuk.

Memikirkan hal ini, Cantika membeli ayam seharga tujuh rupiah dan dua kilo tepung. Usai menempatkan barang-barang di gerobak, Cantika berjalan sambil mendorong gerobak. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, bukan ingin membeli barang, tetapi mengamati bisnis di masing-masing kios. Dia mengamati toko seperti apa yang memiliki bisnis terbaik.

Standar hidup di era ini tidak terlalu tinggi, tapi sudah terbuka, dan bisnis perlahan naik.

Ketika Cantika melihat ke sebuah restoran, jendela kaca besarnya didekorasi dengan penuh gaya. Ada gambar hidangan khas di pintu yang dibuat dengan indah. Cantika melirik ke dalam, matanya tiba-tiba melebar, itu Tasya dan Ferro!

Tatapan Cantika jatuh ke wajah Tasya. Penampilan Tasya mengikuti ayahnya, tetapi sosoknya mengikuti ibunya. Dia lebih

tinggi dari Cantika dan tidak kalah cantik darinya. Memikirkan pengkhianatan Tasya di kehidupan sebelumnya, mata Cantika menjadi panas. Dia bertekad akan mengubah kisah kelam itu di kehidupan ini.

Ketika Cantika kembali ke rumah, Sukma melihatnya membeli ayam dan

terkejut, "Berapa harga jual ular itu?"

Cantika mengeluarkan roti yang dibelinya untuk Maya. Maya yang melihat roti, merasa sangat bahagia. Hal ini membuat Cantika dalam suasana hati yang baik. Dia menunjukkan empat jari ke arah Sukma.

"Empat puluh?" Sukma terkejut, "Bagaimana kamu bisa menjual seharga empat puluh rupiah?"

Cantika mengeluarkan susu bubuk, dan berkata sambil tersenyum, "Ibu, aku akan memasak ayam dan sup kacang untukmu untukmu."

Sukma melihat ke arah Cantika, dan tiba-tiba merasa bahwa Cantika telah dewasa dan lebih bijak. Dia senang, tapi hatinya terasa sakit lagi, "Hidup kita sulit, maafkan aku, aku tidak dapat memberimu kehidupan yang baik. Saat kamu masih sekecil ini, ayahmu sudah pergi."

Cantika tersenyum dan tidak begitu peduli, "Bu, orang tidak bisa hidup kembali setelah kematian. Kita bisa berduka, tapi jangan sampai hidup kita mundur."

Mata Sukma merah, "Ya, ibu berjanji padamu."

"Jangan menangis. Jika ibu sakit, itu akan sangat buruk. Keluarga kita seperti ini, dan tidak ada uang tambahan untuk ke dokter dan membeli obat." Kata-kata Cantika tiba-tiba membangunkan Sukma.

Sukma buru-buru mengangguk, "Ibu berjanji padamu, ibu tidak akan menangis lagi!"

Cantika tersenyum, "Bagus. Aku juga sudah membeli tepung, yang murah. Satu kilo cukup untuk kita makan selama tiga hari."

"Bagaimana cara memasak tepung untuk dimakan?" Sukma bingung.

Mereka bisa makan padi, ubi jalar, talas, jagung, dan kacang tanah. Orang di masa ini tidak tahu jika tepung bisa dibuat menjadi mie.

Cantika adalah orang yang sudah pernah hidup satu kali, jadi dia bisa membuat roti. Melihat ada tepung yang dijual di toko tadi, dan harganya lebih murah, maka dia membelinya. Dia akan membuat beberapa roti dan mie, lalu memakannya dengan sayuran hijau. Pasti lebih enak dari bubur putih.

"Aku sudah tanya pada penjual tepung ini ketika aku membelinya. Dia mengajariku cara membuat roti. Aku akan mencobanya besok." Cantika tersenyum dan pergi memasak.

Aroma ayam dan kacang menyebar ke seluruh ruangan, dan semburan aroma ini bisa tercium dari jauh. Bau ini menarik perhatian ibu Liana, Dinar.

Ketika Liana dan Dinar datang, Maya kebetulan sedang duduk di

depan pintu sambil makan roti.

"Dasar jalang kecil, berani mencuri uangku untuk membeli roti di kota!" Liana melihat Maya sedang makan roti, tiba-tiba bergegas ke dapur dengan lengan yang sudah terangkat. Benar saja, dia melihat Cantika sedang memasak.

Liana menarik Cantika pergi dengan aura yang ganas. Dia melihat panci yang penuh daging ayam. Dia melemparkan tutup panci dengan keras ke lantai, menunjuk ke arah Cantika dan berteriak, "Kamu menggunakan uangku untuk membeli ayam?"

Segera setelah tutup panci porselen jatuh, benda itu pecah dan tersebar ke mana-mana. Cantika melihat tutup yang pecah dan wajahnya menjadi gelap. Dinar juga masuk, mencium bau ayam yang menyengat, wajahnya yang kejam semakin merah karena marah. Dia bergegas memukuli Cantika.

Cantika menghindar, menatap Dinar dengan dingin. Dinar mengutuk, "Bahkan uang sekolah untuk sepupumu sendiri berani kamu gunakan untuk makan!"

Liana juga bergabung, menarik Cantika untuk memberinya pelajaran. Cantika melawan, tetapi bagaimanapun juga, dia adalah gadis kecil yang kurus. Liana tinggi seperti raksasa, dan Dinar juga kuat. Saat mereka menangkapnya, Cantika hanya bisa melawan sebisanya.

"Aku tidak menggunakan uangmu!" Cantika menggigit Liana dengan giginya.

Liana kesakitan dan berteriak, "Kamu berani menggigit bibimu?"

Dinar mengangkat tangannya dan ingin memukul Cantika. Tiba-tiba Cantika mengambil kayu bakar dan mengarahkannya ke Dinar. Dia menatap Dinar dengan marah, "Jika kamu memukulku, aku akan melawan!" Mata Cantika menunjukkan rasa marah.

Dinar terkejut dengan sorot matanya. Apakah ini pecundang yang penakut dan bodoh? Kenapa sekarang menjadi seperti ini?

"Apakah kamu menjadi sombong setelah mencuri uangku?" Liana melihat

Cantika memegang tongkat kayu, jadi dia tidak berani melangkah maju. Dia hanya mengutuk.

"Kamu harus memberi bukti dalam segala hal. Apakah bibi memiliki bukti untuk membuktikan bahwa aku mencuri uangmu?" Cantika memandang Liana tanpa rasa takut.

"Aku kehilangan lima puluh rupiah!" Liana berteriak dengan marah.

Lima puluh rupiah adalah biaya hidup keluarganya selama setengah bulan.

Cantika merasa geli, "Kamu menuduhku mengambil uangnya?

"Tentu saja, kalau tidak, dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli ayam? Dan kamu membeli roti untuk Maya, uang dari mana itu?" Dinar menatap Cantika dengan tegas. Gadis yang sudah tidak punya ayah ini masih berani mengacungkan tongkat kayu padanya. Semakin lama semakin kurang ajar!

"Keluargaku miskin, tapi aku masih punya uang untuk membeli ayam. Terlebih lagi, apakah kamu kira ibuku mengajariku tentang mencuri uang?"

"Kamu jelas mencuri uangku! Jika kamu punya uang, mengapa kamu tidak

mengembalikan bunganya pada suamiku?"

Cantika mencibir, "Kamu tidak membayar biaya hidup kedua anakmu saat di sini. Mengapa aku harus membayar bunga?"

"Dasar gadis sialan, berani-beraninya kamu! Aku akan menghajarmu sampai mati, dasar anak tidak tahu diuntung!" Dinar

bergegas menuju Cantika. "Jangan mengira aku tidak berani melakukan apa pun padamu!"

Cantika mundur dua langkah, mengangkat tongkat kayu, dan menatap Dinar dengan ganas. Dinar memandangi tongkat kayu yang dipegang Cantika dengan heran. Dia terdiam karena takut Cantika akan memukulnya. Kemudian, dia terduduk di lantai dan berteriak, "Oh, sakit sekali! Kenapa kamu berani memukuli aku seperti ini? Sungguh, ini menyakitkan bagiku, itu menyakitiku…"

Liana bingung oleh perilaku Dinar, tapi dia segera bereaksi. Dia melangkah maju, menolong Dinar, dan menunjuk ke arah Cantika dengan tangan yang lain. Dia mengutuk, "Cantika, kamu bajingan kecil, mencuri uangku dan sekarang menyakiti ibuku. Apa orangtuamu tidak mengajarimu? Keluarga Tarigan pasti malu memiliki keturunan seperti kamu. Ini adalah kehancuran! Jika kamu tidak menghormati yang lebih tua, kamu akan disambar petir!"