Mereka berdua berjalan menuju mading, disana sudah banyak yang berkumpul sampai berselipan, ada yang menulisnya, ada yang hanya melihatnya saja langsung pergi, dan ada yang membacanya sampai diingat-ingat.
Ara dan Ziah datang mendekati mading mereka hanya berhenti dan diam melihat orang yang berselipan, disaat sudah tidak ada orang Ara dan Ziah langsung melihat mading, baru saja mereka melihat belum membacanya ada yang menghampiri mereka.
"Ekhem, kenapa kalian masih disini? Sekarang sudah masuk jadwal pelajaran," ucap seorang lelaki mengagetkan Ara dan Ziah.
"Astaghfirullah, Ustadz maaf kami disini sedang melihat jadwal yang akan diujikan," ucap Ziah gugup karena yang menegur adalah calonnya sendiri.
"Ini sudah lewat 20 menit sesuai peraturan siapa saja yang melanggar peraturan pesantren harus disanksi," ucap Ustadz Daffa tegas, keduanya melohok tak percaya.
"Ustadz tadi banyak melihat mading jadi penuh, kita nunggu dulu sampai semuanya bubar," ucap Ziah memelas, namun bukan Ustadz Daffa yang akan luluh dengan santriahnya, meskipun Ziah ini calonnya tapi tetap saja peraturan pesantren harus ditegakkan.
"Sudah jangan banyak alasan kalian tetap harus dihukum, silahkan lari di lapangan!"
Ara dan Ziah semakin tak percaya, apa hukumannya? Lari di tengah lapangan dengan banyak orang yang melihat? Sungguh tega Ustadznya ini.
"Ra ngomong dong 'kan kamu jago alasan, biasanya orang-orang pasti kasian sama kamu," bisik Ziah dan Ustadz Daffa masih memantau mereka.
"Ziah ini mah beda lagi, kamu gak liat muka nya Ustadz Daffa serem banget kalo lagi gini mah, jangankan buat alasan melihatnya saja aku gak kuat," ucap Ara so' ketakutan.
"Kata siapa saya serem? Gak lihat apa saya ganteng begini dibilang serem, cepat keliling lapangan 10 kali."
"Yaelah kedengeran kirain mah nggak denger hehe, Ustadz Daffa ganteng banget jadi kurangin dong hukumannya," mohon Ara sambil menangkupkan tangan di dadanya.
"Iya Ustad Daffa ganteng banget asli, ya tadz kurangin lagi hukumannya," sambung Ziah memelas dan mengedipkan matanya.
"Belajar dari mana kamu genit seperti itu? sudah jangan banyak protes atau saya akan tambah lagi hukumannya hmm? lakukan saja apa yang saya perintahkan, dan kamu Ziah jangan genit ke laki-laki lain kamu itu calon istri saya dan saya gak mau dengan tingkah kamu genit seperti tadi membuat para ajnabi menyukaimu, saya gak mau banyak yang menyukai selain saya."
"Cieee cieee malah romantis-romantisan, jiwa jomblo ku meronta, ada oksigen gak sih? kalo romantisan jangan di depan jomblo atuh," ucapnya heboh namun ustadz Daffa dan Ziah hanya menghiraukan apalagi Ziah sudah jenuh melihat tingkah Ara yang seperti ini.
"Ya udah kalo sama calon jangan berat-berat ustad," rengeknya.
"Jangan dijadikan umpan Ziah! Meskipun kamu calon saya tapi peraturan pesantren harus ditegakkan," ucapnya langsung meninggalkan mereka.
"Dingin banget calon mu, Zi. Gimana kalo berumah tangga paling dingin suasana rumah."
"Dah ah ayok kalo banyak bicara bakalan lama, nanti keburu keluar para santri dan santriahnya," ucap Ziah lari ke lapangan, Ara pun menyusulnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi dengan terik matahari yang begitu panas membuat Ara dan Ziah kepanasan, baru saja mereka berkeliling satu kelilingan banyak para santri dan santriah yang menertawakan mereka.
Disudut lain ada yang diam-diam memperhatikan gerak-gerik Ziah, dia merasa tidak tega memberi hukuman kepada Ziah tapi dia harus tegas kepada santri dan santriah yang melanggar peraturan. Karena tak kuasa melihat dia pergi berjalan ke kelas. Mau tau siapa? Ya siapa lagi lah kalau bukan ustad Daffa.
Tak terasa Ara dan Ziah sudah berkeliling sembilan kali sisa satu keliling lagi. Dilihat mereka sudah kecapean tak berdaya untuk melanjutkannya sampai lari pun seperti orang mabuk, sudah lah mereka menyelesaikan hukumannya dan berduduk di pinggir lapang.
"Zi!" panggil Ara lemah.
"Alhamdulillah, kita sudah selesai, Ra," ucap Ziah antusias namun dibarengi kecapean nya.
"Iya Zi gila banget astaghfirulloh baru kali ini aku dihukum sampe begini."
"Sama apalagi tadi diketawain sama santri dan santriahnya lagi."
"Hmm, kita istirahat dulu 5 menit, terus ke kantin yuk beberapa menit juga istirahat."
"Oke."
***
Disinilah Ara dan Ziah sedang terlahap memakan makanan yang ada di depan matanya, banyak mata yang melihatnya mungkin mereka merasa aneh dengan tingkah Ziah dan Ara, tapi yang diperhatikan hanya biasa-biasa saja dengan santai melanjutkan aktivitasnya.
"Alhamdulillah Zi kenyangnya aku aduh dari tadi lari aku tahan lapar," curhatnya.
"Hehe udah yuk balik lagi ke kelas Ra," ajak Ziah.
Mereka pun berbalik akan meninggalkan kantin, namun ketika Ziah berbalik badan Ziah beradu dengan ustad Daffa.
"Ustadz … kapan ustadz berada di sini?" ucapnya langsung tertunduk.
"Disaat kamu akan berbalik," ucapnya dingin.
"Ziah! Ikut saya ke kantor, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan," ucapnya langsung meninggalkan Ziah dan Ara.
"Dih ko udah gitu langsung pergi," ucap Ara kesal.
"Eh dia tuh ke aku bukan ke kamu, udah aku nyusul Ustadz Daffa dulu ya assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh," ucap Ziah meninggalkan Ara sendirian.
"Hadeh Ziah sama ustad Daffa bikin kesal saja, yah namanya juga jodoh kali ya jadi apa-apa tuh serba sama, sama-sama bikin kesal," gerutu Ara.
"Ara! kamu bicara sama siapa?" tanya Ustadz Arifin, Ara melihat sekelilingnya hanya mereka berdua yang ada di kantin, Ara yang tadi bicara sendirian kaget kenapa harus ada ustad Arifin? Jangan-jangan ustad Arifin makhluk gaib? Tapi secepat mungkin Ara menggelengkan kepala menghilangkan haluannya itu.
"Kenapa kamu menggelengkan kepala?" tanyanya lagi.
"Hehehe nggak Ustadz aku pergi dulu ya ustad udah mau masuk nih assalamu'alaikum ustadz," ucap Ara sambil jalan terburu-buru karena malu.
Ustadz Arifin hanya melengkungkan bibirnya ke atas dan menggelengkan kepala, karena dilihatnya tingkah Ara seperti anak kecil.
***
Ziah berjalan mengikuti ustadz Daffa ke ruangan kantor dan banyak mata yang melihat dan berbisik dari yang satu ke yang lain apalagi para santriah calon ibu-ibu gosip. Selama perjalanan Ziah menundukkan kepala sampai dia tak menyadari sudah berada didepan pintu tapi saking nunduk banget dia terjedot keningnya.
"Aduh," ringisnya memegang keningnya yang terjedot. Ustad Daffa yang mendengarkan suara itu langsung keluar.
"Kenapa Ziah?" tanyanya.
"Ini keningku terjedot ke pintu sakit pula sht," adu Ziah meringis.
"Haha makanya kalo jalan itu liat-liat untung bukan bibir laki-laki yang kena kening kamu."
"Ih, Ustadz ko gitu sih."
"Gitu apa? kamu mau nya bibir saya yang kena kening kamu," goda ustadz Daffa sambil menaik turunkan alisnya.
Ziah malah semakin malu mendengar godaan Ustadz Daffa, beraninya sekali dia berbicara seperti itu untungnya Ziah memakai cadar jika tidak sudah ketahuan tuh pipi merah meronanya.
"Eh nggak. Udah apaan sih, Tadz masuk napah banyak yang liatin malu," cicitnya.
"Hahaha, rasanya pengen cepat-cepat ngehalalin kamu Ziah, saya jadi ada kerjaan buat menggoda kamu apalagi liat pipi merona, sudah ayok masuk ada hal penting yang harus saya jelaskan," ucap Ustadz Daffa dan mereka masuk.