Martin turun dari mobilnya. Seperti biasa, istri mudanya—Anna, tengah menunggu dengan senyum mengembang.
Direngkuhnya tubuh mungil itu dalam pelukan, seraya sesekali mengecup puncak kepalanya dengan lemah lembut.
"Maafkan Mas baru bisa berkunjung," ucapnya.
"Uhm, aku mengerti."
Anak buah Martin keluar dari mobilnya, lalu menyerahkan satu kotak perhiasan edisi khusus yang mereka beli di ibukota. "Ini, untukmu."
Anna menatap benda berkilauan itu dengan tatapan nanar dan senyum getir. Benda itu adalah benda yang sering suaminya berikan sebagai buah tangan sekaligus agar dia tidak marah karena jarang dikunjungi.
MeksiMeski harganya mahal, kilau dan keindahan batuan permata itu juga menyilaukan matanya, tapi saat itu Anna paham jika benda itu tidaklah bermakna.
"Terima kasih. Ayo masuk, hujahujan di luar, Mas."
"Ayo, Sayang."