Pada dasarnya tidak pernah ada yang menduga bahwa pagi hari ini akan terasa begitu dingin. Sudah lama sekali aku tidak merasakan Tebes sedingin ini. Atau mungkin karena aku secara tidak sadar telah menjadikan Tebes sebagai bagian dari sejarah yang hampir aku lupakan. Aku terlalu lama menghabiskan masa kecilku di selatan yang hangat. Setiap hari matahari selalu membakar kulitku sampai-sampai kulitku sekarang menjadi lebih gelap dari orang Amal pada umumnya. Mungkin kalau aku ke theatre sekarang, orang tidak akan bisa membedakanku dengan para penari Aravia itu.
Sudah tujuh tahun lamanya aku tidak pernah merasakan dinginnya musim gugur sepanjang aku masih bisa mengingat. Tentunya apabila aku masih bisa mengingatnya, ya. Ketika aku masih berumur lima atau enam tahun, aku mengenakan jubah bulu beruang berwarna coklat gelap yang apabila aku meletakkannya dengan serampangan, Hamar Tua itu pasti akan menghajarku, anaknya sendiri.
Dan pagi ini aku menatap Tebes dari balkon puri ini. Dibangun di atas salah satu bukit tertinggi di Lembah Besnar, aku bisa menyaksikan hiruk pikuk kehidupan kota itu dari atas sini. Matahari baru saja naik pagi ini meski awan menantang kekuasaannya, tetapi kehidupan sudah berjalan di bawah sana. Para pedagang serta orang-orang yang berasal dari bangsa lain datang ke tempat ini untuk berdagang atau hanya sekadar menikmati kehidupan yang jarang mereka rasakan. Tentu dibandingkan dengan Kekaisaran Elma Isi yang jaraknya tiga puluh kar[1] dari sini atau mungkin Republik Teoutopolos yang ada di ujung Tanah Yudea ini, Tebes memiliki pesona bak perempuan sundal yang menggoda setiap raja untuk menceraikan istrinya. Sanggat menggoda, bukan?
Tetapi jikalau aku bisa menarasikannya, kedamaian Tebes bukan hasil ciptaan satu malam saja. Aku dan seluruh orang Tebes adalah keturunan Bangsa AmalâSang Penghancur Peradaban. Para sejarawan Maros Seperti Alfonso Benur, Eni Eliye Madani, atau si begundal tua, Basil Alemudur, sudah menuliskan tinta darah di atas leluhurku, "Bangsa yang dahulu haus darah sekarang menikmati pagi hari dengan berjualan kain dan menjual bunga."
Angin gunung benar-benar menusuk tubuhku. Percuma saja aku pakai mantel ini apabila hawa dingin seakan-akan memaksaku berhenti melihat si Perempuan Sundal.
Di bawah balkon ini, beberapa orang berkumpul di dekat perapian dengan wajah yang tidak aku kenal. Mataku tidak pernah berhenti memperhatikan kerumunan orang yang lalu lalang di pagi hari ini. Dayang-dayangku baru saja kembali dari dalam kota dengan membawa logistik harian puri ini. Sementara itu para pengawal, tentunya dengan pakaian tipis mereka masih dengan setia melaksanakan patroli rutin di sekitar puri. Ini benar-benar hal yang aku lupakan. Tujuh tahun telah aku habiskan di wilayah selatan yang hangat. Sendirian. Tanpa dayang ataupun pengawal yang setia membantuku menjalani hari. Dan hari ini, seperti bunga mawar yang baru saja mengepakkan kelopaknya setelah lama terkatup, ayahku yang entah bagaimana keadaannya memanggilku pulang ke Tebes. Tujuh tahun aku jalani sendiri; tujuh tahun aku jalani tanpa seorang ayah. Kemudian dia memanggilku begitu saja bahkan tanpa pernah sekalipun menengokku di puri ini. Aku sudah tinggal di puri ini tiga hari dan tidak ada hari aku tidak bertanya kepada para dayangku, "Kapan ayahku mempersilahkan aku masuk ke dalam Kota Tebes?"
Ayahku membuatku harus bertanya-tanya, apa yang saat ini dia pikirkan? Putri semata wayangnya yang telah ia buang di wilayah selatan yang hangat selama tujuh tahun kini telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan bahkan ayah kandungnya tidak memperbolehkan ia masuk ke dalam Tebes. Hal ini membuatku terus bertanya-tanya tapi tidak ada seorangpun yang mau menjawab pertanyaanku. Padahal aku hanya ingin bertanya satu hal kepada Hamar, "Apakah aku masih anak perempuanmu?"
Tetapi aku hanya berkelakar saja. Aku tidak berharap ayahku sendiri akan menolak eksistensi anak perempuannya ini. Seorang Illwa Silla seperti Hamar tidak akan melakukan tindakan tidak terpuji seperti membuang anaknya sendiri, bukan? Atau mungkin ayahku memang seperti itu. Siapa yang tahu? Aku saja, anak kandungnya, bahkan tidak pernah mengerti alasan mengapa dia mengirimku jauh ke wilayah selatan yang hangat. Apa tujuannya? Apa maksudnya? Aku tidak pernah mengetahuinya.
Kalaupun aku boleh berpendapat, aku tidak masalah kalau aku baru kembali ke Tebes sepuluh tahun lagi. Wilayah selatan yang hangat jauh lebih bagus dari pada Tebes. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tetapi Umran saja memperlakukan aku dengan baik di sana.
Puri ini tidak lebih bagus dari pada penjara. Paling tidak kalau kau dipenjara, kau tahu kesalahan apa yang telah kau lakukan. Tapi di puri ini aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Sempat aku membuang pikiran-pikiran kotor seperti itu, tetapi kenyataannya sampai saat ini ayahku saja, seorang Illwa Silla Tebes, tidak menghormati anak kandungnya sekadar untuk melihat berapa tinggi anaknya saat ini. Atau melihat wajah anak perempuannya yang sudah lama ia tidak lihat. Paling tidak, di hatiku yang paling kecil, Hamar akan merindukanku.
Aku harus berkata lain tentunya saat ini.
Saat kemudian aku ingin kembali masuk ke dalam puri, seseorang mendekatiku dari dalam. Baru kemudian aku menyadari bahwa itu adalah Umran. "Selamat pagi putri," katanya, menyambutku dengan suaranya yang berat itu. Ia berdiri di situ dengan pakaian tradisional Amal berwarna biru gelap dengan panji keluarga Amallech di dadanya. Berbeda dengan tradisi bangsa Amal, ia mengurai rambutnya yang panjang itu. Meskipun tidak memperlihatkan, namun tubuhnya yang tegap itu tertutup oleh pakaiannya yang menjurai ke bawah menutupi seluruh tubuhnya. Kumis tipisnya juga mengesankan ketidak-rapian yang paling dihindari oleh bangsa Amal. "Apakah putri sudah mulai bisa beradaptasi di sini?" katanya untuk menenangkanku.
"Aku paham, Umran. Aku rasa aku masih perlu beradaptasi lagi." kataku. Ia kemudian berjalan mendekatiku dengan langkah yang tegas namun membuatku merasa nyaman mendengar suara sepatunya yang mendekatiku. "Memang banyak yang tidak kita pahami di tempat ini. Semua kemungkinan terburuk yang putri pikirkan malah menjadi kenyataan kita berdua saat ini," kata Umran membenarkan semua asumsi tentang ayahku selama ini. "Jujur saja aku tidak menyangka kalau Hamar akan memperlakukanmu seperti ini. Sepertinya banyak hal yang berubah dalam tujuh tahun, ya. Jangankan ayahmu," matanya mengamati tubuhku; suatu hal yang sudah terlalu sering ia lakukan sampai-sampai aku terlanjur terbiasa karenanya, "putri juga sudah berubah banyak. Benar kan, Ultaira Amallech, putri dari Hamar Amallech, Illwa Silla Tebes dan seorang Thrisna Liga Amal?"
Ayahku, Hamar Amallech, adalah seorang Illwa Silla Tebes ke-9 yang berkuasa di atas Kota Tebes. Seorang pejuang perkasa yang ditakuti dan disegani oleh banyak orang. Ia tidak hanya berkuasa di atas Tebes, tetapi ia juga merupakan seorang Thrisna, jabatan tertinggi di dalam Liga Amal yang merepresentasikan kekuatan persatuan bangsa Amal yang tersebar di seluruh tanah Yudea.
"Ayahmu saat ini adalah satu-satunya orang Amal paling berpengaruh di seantero tanah Yudea. Seharusnya saat ini kita bangga dengan pencapaian ayahmu," kata Umran dengan melihat Tebes di bawah sana. "Tebes adalah kota yang lahir dari darah. Sejarah mengutuk kota ini dan sepertinya takdir menuntut kita untuk mengakhiri semua ini."
"Umran," Ultaira mengatupkan tangannya di dadanya dengan ragu, "aku masih belum bisa menjawab pertanyaan Ash'lak. Aku benar-benar perlu mengetahui apa yang sebenarnya ayahku pikirkan selama ini. Aku menginginkan kebenaran dari mulut ayahku sendiri."
"Tenang saja Ultaira. Ash'lak tidak akan menghukummu karena tidak bisa memberikan jawaban. Dia terlalu murah hati. Tidak seperti aku, tentu saja," katanya dengan tawa yang keras. "Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu, sayang. Tetapi aku belum bisa menemukan waktu yang tepat. Aku ingin kita mengambil langkah yang tepat. Kita tidak boleh bertindak sembrono di sini. Mungkin Hamar memiliki pemikiran lain, aku tidak tahu. Yang jelas kita harus bertahan di sini sampai waktu yang tepat."
"Aku mengerti, Umran."
Kita berdua berjalan masuk kembali ke dalam puri ini. Meski aku sendiri merasa bahwa aku sedang dipenjara, tetapi puri ini sebenarnya tidak terlalu jelek. Aku bisa mengatakan bahwa tempat ini sangat terawat dan hangat.
"Waktu aku kecil, aku tidak pernah tahu ada puri seperti ini di sekitar Tebes."
"Sepanjang yang aku tahu, puri ini baru selesai dibangun 3 tahun yang lalu. Tapi para dayang yang bekerja di sini bilang kalau puri ini baru ditempati satu bulan yang lalu. Ia diperintahkan untuk merawat tempat ini sampai anaknya kembali pulang ke Tebes."
"Siapa yang bilang seperti itu?"
"Sovina. Kau tahu?"
"Hah, Umran. Aku saja tidak tahu siapa yang membersihkan kamarku hari ini."
"Dia Embala puri ini."
"Embala?"
"Semacam perwira kalau aku harus menjelaskan. Tapi dia bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga. Termasuk membersihkan kamarmu."
"Dia tahu banyak, ya."
"Menurutku, dia termasuk beberapa orang penting di dalam puri ini."
Setelah berjalan agak lama, kita berdua sampai ke aula, tempat administrator puri ini menyambut tamu-tamunya. Tempat ini adalah tempat paling gelap yang pernah aku lihat di dalam puri ini. Tetapi meja-mejanya tetap tertata rapi meskipun tidak ada pencahayaan di sini. Bahkan tidak ada lilin yang menyala.
"Kenapa kamu bisa bilang kalau Sovina adalah orang penting."
"Dia satu-satunya orang di puri ini yang bisa memerintahkan para dayang untuk masuk ke dalam kamarmu. Dia bisa mengganti setiap dayang yang ada di sini sesuka hatinya tanpa perlu diketahui oleh siapapun. Dan satu hal lain yang paling penting adalah Sovina memiliki kewenangan sirkulasi logistik di puri ini. Kamu tahu artinya?" aku memilih untuk mendengarkan apa yang akan dia katakan. "Artinya adalah dia bisa memerintahkan para dayang untuk keluar dari sini, mengambil logistik dari komando logistik Tebes, dan kembali ke sini."
"Tunggu sebentar, jadi maksudmu adalah?"
"Kita akan keluar dari sini."
Kita berdua menghabiskan waktu sampai dengan siang hari di aula ini membicarakan dan mendiskusikan cara kita keluar dari tempat ini. Namun kita masih memiliki hambatan karena kita sendiri kekurangan informasi. Meskipun aku adalah anak dari seorang Illwa Silla Tebes sekalipun, semua sopan santun di puri ini sepertinya memang dituntujukkan untuk menghormati darah yang mengalir di dalam tubuhku saja. Mereka semua tidak benar-benar menghormati aku.
Satu masalah besar yang aku harus pecahkan sekarang adalah jadwal sirkulasi logistik yang kita sendiri tidak punya. Apabila logistik sudah didapatkan, kapan mereka akan kembali turun ke Tebes? Apakah mereka akan turun 1 bulan lagi? Aku benar-benar membutuhkan informasi yang tepat. Aku tidak mungkin menunggu satu bulan hanya untuk turun ke Tebes.
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar puri ini dan Umran tidak menyebutkan apa yang akan dia lakukan sekarang. Ringkikan kuda mulai bersahut-sahutan ketika seorang hendak memberikan pakan kuda siang hari ini. Aku tersenyum ketika melihat kandang itu. Dahulu ayahku biasa membawaku ke dalam kandang kuda yang kita miliki dan mengajariku dasar-dasar berkuda sejak kecil. Waktu itu, jika ingatanku masih segar, di hari pertama setiap bulan Hamar akan mengajakku pergi ke luar Tebes. Hamar mengendarai kuda seperti seorang ksatria yang gagah. Dari tempat dia duduk di atas pelana kuda, ayahnya menunjukkan betapa hebatnya hal itu. Semua benda di sekitarnya seperti mengkerut dan hanya Ultaira dan ayahnya saja yang terasa begitu besar.
Beberapa orang yang berkerumunun di dekat perapian sedang mengobrol dengan santai ketika kemudian satu di antara mereka menyadari bahwa aku memperhatikan mereka dari sini. Sontak mereka langsung menunduk hormat padaku yang mana hal itu membuatku sangat terkejut dan dengan spontan aku memberikan salam balik kepada para prajurit di bawah sana. Salah satu di antara mereka kemudian berkata, "Putri, saya senang sekali melihat putri mau datang ke tempat seperti ini. Namun saya mohon maaf bahwa tempat ini tidak terlalu rapi untuk dilihat oleh putri." Ultaira memandang lambang Fynall yang menempel di lengannya dan hal itu membuat Ultaira mendengarkan permintaan maaf sang kapten dengan senyum. "Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa seperti ini ketika aku tinggal di selatan," kataku untuk menenangkan suasana
Salah satu dari prajurit itu kemudian mengucapkan salam padaku, "Selamat pagi tuan putri, sebentar lagi hawa dingin akan membuat tubuh putri kedinginan. Tebes mempunyai musim dingin yang sangat buruk dan saya khawatir putri bisa sakit karenanya."
Aku kemudian membalasnya dengan berkata, "Baiklah kalau begitu, prajurit, saya akan masuk kembali ke dalam ruangan. Terima kasih atas perhatian kalian." Ketiga prajurit itu kemudian memberikan salut kepadaku dan akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan tempat ini dengan senyum tipis.
Setelah berjalan cukup cepat, secara tidak sengaja aku melihat segerombolan dayang sedang berkumpul pada satu tempat. Aku berpikir untuk masuk ke dalam pembicaraan mereka namun ketika mereka melihatku datang mendekat, mereka langsung membubarkan pembicaraan mereka dan spontan mereka memberikan hormat kepada Ultaira.
Ternyata begini rasanya bertemu dengan banyak orang tetapi tidak bisa berbicara satu katapun dengan mereka.