Kakinya melangkah dengan dengan kedua tangan saling bertaut di depan perutnya, matanya yang indah itu berkeliling menyapu seluruh tempat di jalan yang ia susuri dengan perasaan hati yang tampak biasa saja. Setiap harinya, Yuna memang berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.
Tidak lama ia melangkah sembari menikmati keindahan alam, tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari arah belakang. Gadis yang sedang berjalan itu pun sontak terkejut, spontan menoleh ke belakang mencari sumber suara yang membuatnya terkejut tadi.
Mobil itu berhenti, tampaknya seseorang yang berada di dalam mobil ingin menemuinya.
"Siapa tuh?" tanya Yuna seraya memicingkin matanya untuk mengetahui seseorang yang berada di dalam mobil.
Tidak lama setelahnya, seorang wanita perlahan keluar dari mobil tersebut. Rambutnya panjang terurai dengan kalung berwarna hitam dengan inisial E yang melingkar indah di lehernya.
"Erika?" gumamnya pelan sambil melihat pergerakan Erika yang perlahan menuju ke arahnya. Pandangan matanya tetap lekat pada wanita itu.
Tidak lama setelahnya, Yuna menyadari bahwa Erika tidak sendiri menemui Yuna, ia bersama genknya yang kemudian juga keluar dari tiga sisi pintu yang tersisa. Mereka ada lima orang yang tampaknya sama-sama menuju ke arah Yuna, tapi Yuna tak peduli dengan kehadiran mereka.
"Ada apa lagi mereka? Ya, Tuhan ... cobaan apa lagi ini?" ucapnya pelan sembari menghembus nafas pasrah.
"Heh, Yuna!" bentak Erika yang baru saja datang.
"Entah apa yang dialami perempuan ini, apa dia mengalami gangguan jiwa? Kenapa dia selalu menggangguku bagai zombie yang kelaparan," ucap Yuna pelan.
Namun, kata-kata yang diucapkan Yuna tetap terdengar oleh Erika. Bagaimana tidak? Erika mampu mendengar perkataan seseorang yang menjelekkan dirinya, hal itu pernah diungkapkan Erika kepada teman-temannya. Perkataan Yuna tentu saja membuat emosi Erika menjadi tidak stabil, dan ingin memberi pelajaran pada Yuna.
"Lu bener-bener ya ..." desis Erika kesal.
Sementara Yuna, hanya bisa memutar mata malas. Sepertinya Yuna sudah tak sudi dan muak dengan seseorang yang ia hadapi saat itu. "Cepat katakan apa mau kalian? Apa kalian mau nyakitin gua lagi? Emang kemarin belom puas?" ujar Yuna dengan pandangan mata merendahkan dan tangan yang melipat rapi di perutnya.
"Lu jangan belagu jadi cewek!" tandas Aurel sembari menunjuk kasar ke arah Yuna. Ia juga merupakan salah satu genk Archipelaho serta tim band musik di sekolahnya.
"Apa sebenarnya masalah anak Archi ini? Jadi curiga kalau mereka sakit mental," batin Yuna.
Di situ juga ada Gio yang hanya menjadi figuran sejak tadi, mematung bagai malin kundang yang tak bergerak sedikitpun.
"Sini lu! Sini sini," ucap Lya sembari menarik tangan Yuna
Yuna hanya bisa bergerak kemana Lya yang menarik tangannya itu, tampaknya dia sudah pasrah. Menurutnya percuma melawan, karena Yuna tak akan bisa menang melawan mereka yang jumlahnya lebih dari satu.
"Mau diapain tuh anak orang?" Rio tiba-tiba turut campur.
"Diem lu, lu sama Gio jadi pajangan aja ya," ucap Lya.
Tampaknya Lya akan melakukan sesuatu pada Yuna, karena dari senyumnya saja sudah terlihat bahwa senyuman dia tak simetris. "Apa yang lu lakuin Ly?" tanya Erika yang kemudian menghampirinya lalu memutus lepaskan tangan Lya dan Yuna yang semula saling tertaut.
"Kenapa?" tanya Lya heran melihat tindakan Erika yang aneh, karena tak seperti biasanya Erika menghentikan aksinya untuk menyakiti Yuna.
"Kemarin kan kita udah kasih dia pelajaran, sekarang biar aku yang urus wanita tak tahu diri ini!" ucap Erika dengan penuh penekanan, kemudian menarik tangan Yuna dengan kasar.
"Awwhh ... sakit! lepasin!" desis Yuna kemudian memutar pergelangan tangannnya dengan kasar, guna melepaskannya yang digenggam erat oleh Erika.
Yuna memberontak karena tangan yang ditekan oleh Erika sangat kuat. "Diem lu, sini!" Erika kasar dan kemudian membenturkan badan Yuna ke mobil yang ada di belakangnya dengan kasar.
'Bruk!'
"Sekarang bilang ke gua, apa maksud lu ngelakuin itu semua ke Gio?" tanya Erika dengan sorot matanya yang tajam, nafasnya juga tersendat-sendat akibat emosi.
Kedua mata saling bertatap tajam dan sinis, raut wajah yang tampak tegang dan mengeras. "Apa maksud lu? Mana ada cewek ngelecehin cowok? Lu bodoh banget si, yang ada cowok yang ngelecehin cewek. Coba lu tanya Gio deh, apa maksud dia ngelecehin gua?" ucap Yuna yang tampaknya sudah sangat kesal, sehingga secara tak langsung dia mengungkapkan sesuatu yang sama sekali tak pernah ia lakukan. Percuma baginya menjelaskan bahwa Yuna tak melakukan itu, karena Erika tak mau dengar dan tak percaya.
"Jadi bener? Lu berhubungan dengan Gio?" ujar Erika yang kini tatapannya semakin tajam dan matanya membulat lebar.
"Ih, minggir lu!" ucap Yuna kasar yang kemudian mendorong kuat-kuat Erika yang ada di hadapannya itu.
Kakinya mulai melangkah ke arah Gio dengan emosi yang berapi-api, keringat bercucuran membasahi seragam sekolah, dan pakaiannya kini yang sudah lusuh.
"Kenapa lu diem aja jadi cowok? Apa ini semua memang lu dibalik semua ini? Lu kan yang menyambar isu-isu tak benar yang beredar di sekolah?" bentak Yuna.
"Gua juga gak tahu tentang hal itu," jawabnya dengan raut wajah tak bersalah.
"Terus kenapa dari tadi lu diem aja? Jelasin ke Erika bahwa kita tidak pernah melakukan hubungan apa-apa!" teriak Yuna dengan histeris, karena tampaknya emosinya sudah pada puncak klimaks.
"Dan lu juga Erika! Kenapa lu selalu menyerang gua atas kejadian ini? Kenapa Gio gak pernah lu tanyain? Percuma lu menjadi ketua band musik di sekolah, tapi lu itu seperti halnya orang yang tidak bermoral dan berandal!" tegas Yuna sambil menunjuk kasar ke arah Erika.
Seketika suasana disitu menjadi senyap mendengar bentakan-bentakan dari Yuna untuk yang pertama kalinya. "Gua tekankan sekali lagi sama kalian, kalau gua sama sekali gak melakukan hubungan apa-apa dengan Gio. Gua minta kalian cari dulu bukti dan sumbernya dari mana, percuma kalian bersikap seperti itu tanpa bukti!" ucapnya lagi dengan kesal.
Kemudian Aurel memberanikan diri untuk menghampiri Yuna, kemudian mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya yang sejak tadi bersemayam di sana. Tangannya mulai menggeser geser layar ponsel di sana, kemudian menunjukkan sebuah foto kepada Yuna tepat di depan matanya.
"Kalau elu mau bukti, ini buktinya. Lu bisa lihat sendiri dengan jelas, kan?" ucap Aurel sembari memampangkan ponsel yang terdapat foto ke arah Yuna.
"A-apa? Apa ini maksudnya? Itu enggak benar tahu engga? Foto itu salah dan semua yang ada di foto itu merupakan rekayasa!" tegas Yuna mencoba meluruskan.
"Kamu sudah tidak bisa mengelak lagi," ucap Aurel dengan senyuman miring sambil menatap Yuna.