Di sore hari, langit sangat gelap yang disambut angin kencang merasuki tubuh serta suara gemuruh petir di balik gelapnya awan hitam. Terlihat seorang gadis mengenakan seragam sekolah sedang berjalan menyusuri jalan yang sepi dengan tertatih-tatih, menahan rasa sakit yang begitu menyakitkan di bagian pinggang sebelah kiri.
Rasa sakit yang dialami gadis itu tampaknya disebabkan oleh pukulan seseorang menggunakan sesuatu benda yang dipukulkan ke pinggang sebelah kiri gadis yang kini terlihat sangat lemah. Gadis itu bernama Yunafika Yanaira, atau kerap dipanggil Yuna. Di sekolahnya, Yuna sering dipanggil dengan nama inisialnya yakni YY atau Yeye untuk orang-orang yang sudah akrab dengan Yuna yakni seseorang yang merupakan sahabat Yuna.
"Jangan sampe dia ngejar gua lagi," ucap Yuna dengan jalan yang tampaknya tak seimbang. Ia menoleh ke kanan kirinya untuk meminta pertolongan, namun tak ada sesiapa di sana.
"Tolong.. Tolong.. " lirih Yuna dengan suara parau yang sepertinya mulai kehabisan suara. Jalanan yang ditempuh oleh Yuna benar-benar sepi tanpa ada kendaraan yang melintas di jalan itu.
Tak lama Yuna menempuh perjalanan dengan keadaan yang seperti itu, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari belakang. Yuna segera menoleh ke belakang dan merasa sangat bersyukur jika ada seseorang yang lewat di jalanan yang sepi itu, karena Yuna ingin meminta tolong padanya.
Mobil itu berhenti tanpa Yuna minta, seseorang yang ada di dalam mobil kemudian keluar menghampiri Yuna yang terlihat sudah sangat kesakitan karena terlihat dari wajahnya. Yang menghampirinya sosok laki-laki yang merupakan anak jurusan IPA, Yuna sedikit mengenal laki-laki itu tapi Yuna belum mengetahui namanya karena Yuna hanya pernah melihatnya saja di sekolah tanpa tahu nama dari laki-laki yang baru saja menghampirinya.
"Lu kenapa?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah khawatir.
"Ada yang mukul gua tadi, cepet tolongin gua karena gua udah gak kuat ... anterin gua pulang," lirih Yuna.
Beberapa saat kemudian, Yuna pingsan begitu mengatakan setengah dari kejadian yang menimpanya. Dengan cepat-cepat laki-laki itu menangkup badan dan kepala Yuna agar tidak terjatuh, kemudian Yuna dibawa masuk ke dalam mobil laki-laki tersebut yang bernama Rasya, seorang laki-laki tampan dan berprestasi di sekolahnya.
"Gua mau bawa kemana nih cewe? Gua belum tahu rumahnya juga," ujar Rasya tampak bingung sembari melihat wajah Yuna.
Karena sudah tak ada waktu untuk berfikir panjang, Rasya memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit karena dilihat dari keadaannya tadi, membuat Rasya khawatir dan menganggap bahwa kondisi Yuna memang benar-benar butuh pertolongan.
Mobil pun berjalan menuju sebuah rumah sakit terdekat untuk memeriksa cidera yang ada di pinggang Yuna, sekalian untuk merawatnya di rumah sakit sementara. Sesekali matanya yang berwarna coklat itu, memandangi wajah Yuna yang sangat cantik menawan. Pandangan Rasya seperti tidak bisa lepas darinya karena kecantikan Yuna membuatnya kecanduan meski dia tahu bahwa Rasya harus cepat-cepat tiba di rumah sakit.
****
Yuna tlah berada di sebuah ruangan yang dingin dengan selang infus yang melekat di tangannya, perlahan ia membuka matanya dan mulai melihat sekelilingnya yang tampak beda dari ruangan rumahnya. Pandangan Yuna saat itu masih buram dan kepalanya sedikit pusing karena kejadian tadi, bola matanya terus bergerak menyisiri ruangan itu satu-persatu hingga akhirnya dia mendapati sosok laki-laki yang berdiri di dekatnya dengan tatapan dingin melihat Yuna. Wajahnya tak berekspresi apa-apa, begitu juga dengan reaksinya yang tampak biasa saja.
Yuna tahu bahwa sosok laki-laki yang ada di sampingnya merupakan laki-laki yang sama yang menolongnya di jalanan tadi, ia juga yakin bahwa laki-laki itu yang membawanya ke rumah sakit. Hanya saja Yuna sedikit heran dengan laki-laki itu, mengapa dia terlihat biasa saja dan tak mengatakan apa-apa setelah Yuna sadar?
"Gua ada di mana?" tanya Yuna meski dia tahu keberadaan dia yang sekarang, tujuannya hanya untuk basa-basi.
"Ada di rumah sakit, lu kenapa? Siapa yang nyakitin elu?" tanya Rasya yang mulai banyak bicara.
"Ih, gua nanya dulu. Lu siapa? Maksudnya nama elu, kan kita belum kenalan." Yuna menghentikan topik dan pertanyaan Rasya.
"Rasya, anak IPA satu," jawabnya dingin dan pandangan matanya seakan tak sudi melihat wajah Yuna.
"Gua Yuna, sahabat-sahabat gua manggilnya Yeye. Makasih ya udah nolong gua," ucap Yuna tulus.
"Sama-sama," jawabnya singkat, padat, tak berperasaan.
"Cih.. dasar cowo sombong! Ni cowo ikhlas ga si nolongin gua?" batin Yuna.
"Eh gua pulang aja, gua gak perlu dirawat soalnya gua gak papa dan cuma cidera kecil doang. Ini juga apaan nih? Kok pake diinfus segala?" ujar Yuna sambil melihat infus.
Rasya menghembuskan nafas kasar ke segala arah. "Ck, bentar lagi pulang tapi jawab dulu, siapa yang lakuin ini ke elu?" tanya Rasya tanpa ekspresi.
"Hmmhh, lu tau gua kan?"
"Tau,"
"Pasti lu udah ngerti tentang cerita tak benar yang beredar di sekolah? Gua gak tau lu percaya apa nggak dengan isu yang beredar itu, yang pasti gua gak sesuai dikabarkan,"
Rasya hanya menganggukkan kepala, tetapi bukan karena dia sudah mengerti tapi dia belum juga mengerti tentang kaitannya dengan semua yang Yuna alami sekarang. "Gua tau, tapi apa hubungannya dengan cideranya elu sekarang? Gua sama sekali gak peduli lu siapa dan gua gak peduli tentang isu yang beredar di sekolah. Tapi seseorang yang sampe buat lu kayak gini, masih bisa dilaporkan ke polisi!" tegas Rasya.
"Ya jangan ke polisi juga dong, huffhh ... lu tau Erika?" tanya Yuna.
"Dia buat lu kayak gini?"
Yuna sedikit menggigit bibir sambil mengarahkan pandangannya ke lantai yang sama sekali tak ada apa-apanya. "Lu tau kan kalau dia ketua genk Archipelago di sekolah? Semua yang terjadi atas isu itu ya jadi sorotan mereka juga lah, karena cerita-cerita yang tak benar itu kalau gua berhubungan sex sama Gio. Gio kan juga anak Archi jadi mereka ga terima gitu, apalagi Erika yang memang pacar dari Gio," jelas Yuna.
"Hmm, gitu. Terus dia mukulin elu? Bener-bener kurang aja sih, biar besok gua lapor guru aja untuk menindaklanjuti masalah ini,"Β ucap Rasya mengambil keputusan.
"Ish, gua bilang jangan dulu! Ini cuma memperkeruh keadaan dan mereka pasti menjadi-jadi ke gua, kalau lu bener mau nolongin gua mending kita main rapih aja, setuju? " ucapnya.
"Main rapi? Gua males ah," jawabnya tak acuh.
"Lu harus mau, plis plis plis!" Yuna memohon. Akhirnya Rasya mau membantunya dalam masalahnya itu karena bagaimana pun Rasya sudah terlanjur mengenalnya dan menganggapnya sebagai seorang teman.
"Oke baiklah aku akan membantumu," ucap Rasya tulus tapi reaksinya tampak biasa saja.