Chereads / Dendam Rana / Chapter 2 - Bab 2. Putusnya Persahabatan

Chapter 2 - Bab 2. Putusnya Persahabatan

Mata Adrian melebar, tangannya bergetar dengan ponsel yang masih dalam genggaman. Dia tidak menyangka jika Kirana hamil, ini akan menajadi rumit pikirnya. Dalam pesan berikutnya tampak sebuah foto benda putih bertanda dua garis merah.

"Bagaimana bisa Kirana juga sedang hamil?" dia menggumam.

Rasa sesal menyerangnya, mengapa dia mengetahuinya di saat dirinya sudah berstatus sebagai suami Sintia? Andai saja sejak awal dia tidak menerima perjodohan itu, andai saja dia tidak merenggut kesucian gadis polos itu, andai saja ia membuka pesan itu lebih awal sebelum ia menikah. Apakah keadaannya akan berbeda?

Sintia, oh ya Sintia juga sedang mengandung buah hatinya dia mencoba menepiskan Kirana, saat ini dia harus lebih mengutamakan istrinya itu dan buah hatinya. Andaipun ia tahu lebih awal sebelum pernikahan ini terjadi, keadaan tidak dapat mengubahnya. Adrian akan tetap menikahi Sintia, wanita yang dicintainya sejak dulu jauh sebelum Kirana mengisi hari-harinya.

Menikahi Sintia adalah salah satu impiannya, wanita yang selama ini selalu menolak cintanya meskipun Adrian berkali-kali mengungkapkan perasaannya. Tapi selalu berakhir dengan penolakan Sintia dan berdalih tidak ingin merusak persahabatan di antara mereka, tapi kini ia berhasil meluluhkan Sintia bahkan berhasil menanamkan benih di rahimnya.

Pintu kamar mandi terbuka sebagai tanda Sintia sudah selesai dari kegiatannya di kamar mandi. Fengan cepat Adrian menghapus semua pesan yang dikirimkan Kirana dan meletakan ponsel itu di meja samping tempat tidur.

"Kamu sudah selesai, Sayang?" tanya Adrian dengan nada sedikit gugup. Dia melihat istrinya tampak menggoda dengan balutan lingerie merah terang, tampak serasi yang membuat kulit putihnya semakin terpancar.

Sintia tersenyum menghampiri Adrian dengan tatapan menggoda, "Iya, kamu mau mandi dulu atau ...." Sintia tidak melanjutkan kata-katanya, bibirnya sudah berada dalam pagutan Adrian. Laki-laki itu begitu bernafsu mencumbunya dengan dalam, seolah ingin melupakan pesan yang baru saja ia baca dan kekacauan yang dia perbuat.

Seperti layaknya pasangan pengantin baru, malam itu mereka menghabiskan malam itu penuh dengan gairah merengkuh manisnya birahi. Namun, anehnya dalam pikiran Adrian yang terbayang adalah sosok lain, tunangannya yang saat ini sedang merasakan patah hati yang teramat dalam.

Sementara itu Kirana, gadis itu tidak mengatakan apa pun kepada kedua orang tuanya tentang Adrian dan keluarganya. Dia mengurung diri di dalam kamar masih terus menangisi atas kegetiran yang terjadi dalam hidupnya. Perasaan cinta yang begitu dalam kepada Adrian menutupi rasa benci yang seharusnya lebih mendominasi setelah laki-laki itu mengkhianatinya. Selama ini laki-laki itu adalah sosok sempurna di matanya. Kirana sudah menyukai Adrian sejak ia mulai masuk Sekolah Menengah Pertama. Saat itu Adrian sudah menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama.

Keluarga mereka sangat dekat dan sering mengadakan pertemuan, di situlah benih-benih cinta mulai bersemi di hati Kirana. Sedangkan Adrian sendiri tidak memiliki perasaan spesial terhadap Kirana, hatinya sudah tertambat kepada wanita lain yaitu Sintia. Sintia adalah wanita yang gaya hidupnya sangat hedonis, cantik, dan kaya. Dia sudah terbiasa di kelilingi dengan laki-laki yang selalu memujanya, bertolak belakang dengan Kirana yang hanya gadis sederhana dan lugu.

Kirana memang selalu merasa cemburu dengan kedekatan antara Adrian dan Sintia, tetapi kekasihnya itu selalu meyakinkannya jika mereka hanya bersahabat baik. Kirana pun percaya saja dengan ucapan Adrian.

"Kirana, bisa kita bicara sebentar Nak?" Suara ibunya mengejutkan lamunan Kirana. Ratih melihat wajah Kirana yang sembab, batinnya ikut menangis dan dia bisa menebak jika putrinya sudah mengetahui apa yang terjadi dengan Adrian.

"Iya Bu," jawab Kirana, dengan mencoba memaksakan senyum utuk menyembunyikan kesedihannya.

Ratih duduk di tepi ranjang, mengehla napas berat dan menatap anaknya, "Kamu sudah mengetahuinya, Sayang?"

Satu pertanyaan yang baru dilontarkan ibunya, tidak mampu lagi menyembunyikan luka hati Kirana, dia menghambur memeluk ibunya. Ratih membalas pelukan putrinya dan membelai kepalanya dengan lembut, dengan menahan tangis agar jangan sampai putrinya tahu bahwa ia juga merasa terluka.

"Mungkin kamu dan Adrian tidak berjodoh," ucap Ratih mencoba menghibur putrinya, walaupun dia sendiri merasa diperlakukan tidak adil oleh Adrian dan keluarganya.

Hermawan di depan pintu menyaksiakn kepedihan putri satu-satunya itu yang menangis dalam pelukan istrinya. Dia mengepalkan tangannya kemudian dia masuk ke dalam kamar dan berkata "Sudahlah kau tidak perlu menangisi laki-laki pengkhianat itu!" Suaranya cukup bergetar.

"Mereka sungguh tidak mneghargai kita dan telah meremehkan kita, menyesal aku telah menjodohkan kalian," lanjutnya.

Hermawan keluar meninggalkan mereka dengan perasaan amarah di dadanya, hatinya juga sakit namun karena dia seorang lelaki dan Ayah bagi putrinya, dia harus terlihat kuat.

Dua hari setelah acara pernikahan itu, Ferdian dan Julia datang menyambangi keluarga Kirana. Julia duduk berdampingan bersama suaminya dan berbisik, "Pah gak usah lama-lama! males mama di sini."

Tidak lama Hermawan dan Ratih muncul sedangkan Kirana enggan menemui orang tua Adrian. Mereka tidak banyak bicara, wajahnya menunjukan sikap tidak bersahabat. Tentu saja bagaimana mungkin mereka akan bersikap ramah kepada keluarga pengkhianat itu. Untuk menemui tamunya saja itu sudah lebih dari cukup.

"Kedatangan kami kemari ingin meminta maaf kepada kalian," ucap Ferdian.

Tidak ada respon dari kedua orang tua Kirana, wajah Hermawan merah menahan perasaan marah, begitu juga Ratih. Sedangkan Julia, entahlah dengan wanita itu tampaknya tidak ada perasaan bersalah sedikit pun, dengan santainya dia memainkan ponsel yang ada di genggamannya.

"Seperti yang sudah kalian ketahui, Adrian sudah menikah dengan gadis lain, kami juga tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Sekali lagi kami mohon maaf!" tutur Ferdian.

"Anak kami Kirana sangat berharga memang seharusnya mereka tidak bersama, Kirana tidak pantas untuk seorang pengecut macam anak kalian!" tukas Hermawan.

Mendengar ucapan itu Julia yang sedari tadi acuh menjadi berang dan mendongakan kepalanya, lalu ia berkata, "Apa kalian bilang? Seenaknya mencela anak kami. Adrian sudah menikah dengan seseorang yang lebih pantas di bandingkan dengan anak kalian yang bodoh itu, Sintia wanita pintar, cantik, dari keluarga kaya dan terpandang itu sangat tidak ada apa-apanya di banding Kirana."

Mendengar penghinaan seperti itu Ratih menjadi naik pitam, "Walaupun kami tidak sekaya mereka tapi kami masih punya adab dan harga diri, kudengar wanita itu sudah hamil terlebih dahulu bukan? Pantas saja buru-buru menikah tanpa memutuskan terlebih dulu pertunangan dengan Kirana."

"Hahaha ... harga diri katamu? Kalau kalian masih punya harga diri tidak mungkin kalian merasa kehilangan anak kami karena tidak jadi menikahi anakmu itu. Oh ya dan satu lagi Kirana juga sedang bunting sama seperti Sintia, tapi sayang akal bulusnya untuk menjerat Adrian gagal, anak kami lebih pintar memilih seorang istri," cela Julia dengan menggebu-gebu.

Mendengar ucapan Julia, Hermawan dan Ratih tentu saja tercengang, Kirana hamil? itu tidak mungkin pikir mereka. Kirana tidak mengatakan apapun soal kehamilan.

Kirana yang sejak tadi mendengar perbincangan mereka di kamarnya terus saja menangis, dan kini orang tuanya sudah mengetahui tentang dirinya yang tengah hamil. Tangisnya semakin pecah, dia bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tuanya saat ini.

"Sudah Mah berhenti!" titah Ferdian kepada Julia.

"Tunggu Pah! Mereka harus tahu itu agar tidak memandang remeh kita lagi, selama ini aku sudah muak harus bersikap merendah di hadapan mereka. Enak saja mengatakan Adrian tidak layak untuk putrinya, aku juga tidak sudi mempunyai menantu dungu macam Kirana." Julia mengatakan itu dengan berdiri dan berkacak pinggang, ini sudah kepalang basah pikirnya, toh hubungan mereka tidak akan pernah membaik lagi.

"Kau sungguh keterlauan Julia! Padahal aku sudah menggapmu sebagai saudaraku sendiri, ternyata ini sifat aslimu selama ini," geram Ratih.

"Jujur saja selama ini aku benci selalu berada di bawahmu dan selalu menyanjungmu, itu membuat aku jijik," cela Julia.

Hermawan yang sudah tidak tahan lagi atas hinaan-hinaan yang di lontarkan Julia pun berang. "Cukup! Silahkan kalian keluar dari rumah kami! kita sudah tidak mempunyai urusan apa pun lagi," usirnya, dia lantas pergi meninggalkan mereka.

"Ayo Pah kita pergi! Aku sudah tidak sudi lagi menginjakan kaki di rumah ini," ajak Julia pada Ferdian.

Ia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari suaminya. Ferdian menghela napas lalu mengikuti langkah istrinya keluar dari rumah yang dulu tempat ia mengagantungkan harapan dan belas kasih dari Hermawan.

Sekarang keadaannya sudah berbeda dan memang tampaknya Ferdian tidak akan datang lagi meminta pertolongan atau sekedar mengobrol santai dengan Hermawan selayaknya sahabat karib seperti dulu.

Persahabatan mereka selesai karena pengkhianatan.