Langit mendung, namun tanpa hujan. Kaki Kinan melangkah cepat, dirinya ingin cepat sampai rumah. Tempat peraduannya adalah Ibunya. Pelukannya hangat nan sejuk, mampu meniadakan segala hal buruk yang ada dalam harinya.
Sesampainya di rumah, Kinan langsung menenggelamkan dirinya di pelukan Ibu.
"Buuuu, apa Kinan memiliki perilaku buruk? Atau apakah Ibu pernah mengajari Kinan untuk melakukan hal yang tidak baik?"
Tanya Kinan dengan penuh kepolosan.
"Kinan sayang. Ada apa? Kok pulang sekolah sedih dan tanya seperti itu?. Kamu anak Ibu, dan nggak mungkin Ibu mengajarimu keburukan. Orang tua mana yang mengajari anaknya hal buruk? Kamu pun anak baik, tak ada perilak buruk yang selama ini kamu lakukan, jika hal itu Ibu temui, maka Ibupun akan mengarahkanmu ke arah yang baik"
Jelas Ibu sembari mengelus kepala Kinan.
Kinan sementara masih terdiam, namun matanya berkaca-kaca membendung air mata. Ibunya sudah menduga jika di sekolah tadi, Kinan mengalami problematika.
"Indri Bu. Ia menuduhku mengambil uang yang ada di dalam dompetnya sebesar 100.000, padahal Kinan tak mengetahui apapun. Jangankan uang yang ada di dompetnya, tas dan barang-barang ia pun tak berani kusentuh. Lalu ia mengancamku kalo semua ini benar terjadi, ia akan melaporkan aku ke wali kelas. Bagaimana Buuuuu. Kinan merasa gelisah. Walaupun sebenarnya jika kita tidak terbukti bersalah. Maka kita tidak perlu takut".
Dengan nada manjanya, Kinan menceritakan harinya.
Sri Rihana menjadi penyejuk bagi anak-anaknya. Dengan senyuman lembut. Ia menatap mata Kinan. Sebenarnya beban yang ada dalam dirinya sangat berat, namun Sri Rihana merasa ringan jika ia masih berada dalam keliling anak-anaknya. Apalagi Kinan, anak bungsu yang sedari kecil ditinggal Ayahnya.
"Jika kamu tak bersalah dan benar-benar tidak melakukannya, lantas mengapa kamu harus gelisah dan takut? Bersabarlah atas segala apa yang ada, Nak. Mungkin Indri merasa kehilangan dan menyangka kamu yang telah melakukannya. Tenang saja, kebenaran pasti akan terungkap kok. Nanti jika sampai Indri melaporkan Kinan ke wali kelas, Kinan jelaskan saja yang sebarnya".
Lagi-lagi setelah mendengar jawaban dari Ibu, Kinan hanya terdiam. Namun dalam otaknya berfikir dan menyerap kalimat demi kalimat yang diucapkan Ibu.
"Kinan benci Bu sama Indri, dia tega sekali menuduh Kinan. Apa sih salah Kinan? Mengapa harus menuduh Kinan, dengan membawa Ibu, Ayah, Mas Kenan juga. Kata Indri, aku kekurangan uang. Hingga akhirnya mengambil hak milik dia".
Sambung Kinan yang sedang merasa geram.
"Kinan. Apa Ibu pernah mengajarimu untuk membenci orang?, sudahlah. Apa yang dibicarakan Indri, tak usah kau ambil pusing. Buktinya kita masih bisa makan kok, kamu masih bisa sekolah, Ibu masih bisa memutar uang modal untuk usaha. Bagi kita, begini saja cukup. Kamu nggak perlu mendengar apa kata orang di luar sana, Kinan. Baik buruknya kita, orang lain nggak ada yang benar-benar mengerti. Percaya deh sama Ibu".
Kinan hanya terdiam, namun tangannya sangat erat memeluk Ibunya.
Keesokan harinya, Kinan dipanggil oleh Bu Asih, wali kelasnya. Kinan dengan langkah ragu mendatangi ruang kantor. Ia sudah menduga kalau panggilan tersebut hanya untuk membahas kasusnya dengan Indri. Kinan ingin sekali marah, namun ia ingat nasihat Ibunya bahwa segala hal buruk tidak dapat diselesaikan dengan kemarahan.
"Selamat siang Bu"
"Selamat siang, Kinan. Silakan duduk di samping Indri"
Benar dugaan Kinan. Panggilannya hanya soal tuduhan kehilangan uang.
"Terimakasih Bu. Maaf, ada perlu apa Ibu memanggil saya untuk bertemu dengan Ibu?"
Tanya Kinan kepada Bu Asih, dengan tenang namun sedikit gugup. Sementara Indri hanya tersenyum sinis.
"Apa benar uang Indri yang hilang adalah kamu pelaku pencuriannya, sebelum kamu datang Indri sudah menceritakannya?"
"Tentu tidak Bu. Untuk apa saya ambil uang dia? Ibu saya bekerja, dan tentunya masih cukup untuk hidup kami. Saya tidak faham dengan isi uang atau barang yang dimiliki Indri. Dan mana mungkin saya berani untuk mengutak-atiknya".
Seperti sedang disidang, Kinan masih berusaha untuk tetap tenang.
"Lalu siapa yang mengambil uang itu, Ndri?"
Tanya Bu Asih kepada Indri.
"Namun dalam tas saya ada bukti bolpoint atas nama Kinan. Barangkali saja, bolpoint itu jatuh atau tertinggal saat ia mengambil uang di dompetku"
Mendengar itu, emosi Kinan naik. Namun kemarahan tak mampu untuk menyelesaikan banyak hal.
"Ya sudah, Kinan. Lebih baik kamu memutus saja perkara ini dengan mengganti rugi sebesar 100.000 untuk Indri. Nanti setelah itu, kalian anggap saja masalah ini sudah berakhir. Ibu nggak mau ambil pusing hanya karena masalah uang".
"Bagaimana begitu? Ibu tidak sepantasnya membagi rata dan menjadikan tanggung jawab ada padaku. Jelas-jelas saya tidak mengambil uang dari dompet ia".
Indri tetap saja kekeh dalam argumennnya. Ia terus-menerus menyudutkan keadaan Kinan. Sampai akhirnya Bu Asih terbawa oleh argumen Indri, ia lebih percaya kepada Indri. Penjelasan dari Kinan seakan tak ada artinya.
Hingga akhirnya, sepulang sekolah Kinan menjelaskan apa yang sudah terjadi kepada Ibunya, lalu Ibunya pun dengan legowo menerima semua tuduhan mereka dan siap untuk mengganti rugi uang Indri yang hilang.
"Yaudahlah Nduk, uang segitu Ibu ada kok. Dan nggak harus dipermasalahkan. Kalau kamu bukan pelakunya, ya sudah hitung-hitung beramal saja. Yang ikhlas, jangan ngedumel, nanti jadi penyakit hati"
Tutur Ibu kepada Kinan.
***
Kehidupan mereka masih dalam kondisi tenang dan bahagia. Sri Rihana menjadi sosok Ibu sekaligus Ayah untuk Kinan dan Kenan. Kelebihan yang ada pada dirinya menjadikan banyak pria yang meliriknya. Tak hanya satu, bahkan lebih dari dua lelaki datang dan berbicara bahwa ia ingin mempersunting Sri Rihana. Namun Sri Rihana tetap dalam komitmennya untuk sehidup semati mencintai Taufik. Walaupun Taufik telah tiada, namun cinta kasihnya tetap saja ada dalam dirinya.
"Kinan, boleh Ibu minta tolong? Ibu ngerasa capek banget. Tolong pijitin Ibu yah"
Perintah Ibu sembari merebahkan badannya ke tempat tidur.
"Baik Ibuku sayang"
"Anak-anak Ibu ternyata sudah besar. Kenan sudah bisa mencari nafkah untuk kita, dia pekerja keras, dan Kinan sudah membahagiakan Ibu dengan prestasi yang didapatkan Kinan. Ibu sangat bersyukur memiliki Kinan dan Kenan".
Sembari dipijit oleh Kinan, Ibunya membuka dialog.
"Iya Bu. Nggak terasa Kinan hampir menginjak masa remaja. Kinan berharap semuanya akan berjalan dengan semestinya. Ibu dan Mas Kenan sehat, selamat, bahagiaku ada pada Ibu dan Mas Kenan".
"Iya Nduk. Jalani saja apa yang ada".
Ketenangan hati dan jiwa Kinan berada pada sosok Ibunya. Sri Rihana. Bak mentari yang terik namun menyejukkan, ia selalu ada dalam dekap sebuah bayang. Ia mampu meyembuhkan segala bentuk kesakitan, ia teramat peka atas apa-apa yang terjadi.