an tercekat di dada melihat wajah Mas Dika yang begitu nelangsa. Ia cinta pertamaku, lelaki yang bahkan hingga detik ini masih mengalirkan gelenyar aneh dalam dada. Saat mataku terasa memanas, aku mengusapnya cepat.
"Anne."
"Emp?" Aku mendongak menatap Mas Dika. Ia menggelengkan kepala.
"Ada apa denganmu? Tiba-tiba terlihat sedih." Dirangkulnya bahuku menuju kamar.
"Apa Anne berkata yang tidak-tidak padamu?" Ia mendongakkan daguku. Kugelengkan kepala.
"Gak, kok. Hanya ... tadi kan aku kebanyakan ngupas bawang merah. Jadi pedas deh, mata."
"Tapi bukankah kamu tak mengupas bawang tadi? Aku terus memperhatikanmu."
Aku tergagap. "Itu ... maksudku, Tika mengupas bawang. Karena duduk dekatan, aku ... mataku jadi ikut pedas." Aku sedikit tergagap.
"Begitu?" Diciumnya keningku.
Aku hanya membisu.
Berdebar keras dadaku mendengarnya. Aku menggeleng kuat. "Jangan disuruh ke sini, Mas Dika
Mas Dika memperhatikanku sejenak, lantas menggelengkan kepala. "Benar juga."