PYL 10
-playlist chapter: Leaving So Soon by Robert Castilone
...
Vin hanya diam. Vin tidak bisa menjawabnya. Karena Vin pun tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Vera.
Vin bukan anak yang bodoh. Tetapi, Vin tidak jauh lebih pintar dari Vera secara akademis. Sebagai balasan dan untuk formalitas, Vin menggelengkan kepalanya lalu menatap Vera.
"Aku tidak tahu. Mari kita coba percaya saja kepada Hojo." balas Vin sedikit ragu.
Mereka berjalan mendekati Hojo saat pesawat jet itu sudah berhenti. Tanah lapang yang semula indah oleh bunga kering masih tetap sama. Seolah kehadiran pesawat jet tersebut sama sekali tidak mengganggu.
"Kalian sudah siap?" tanya Hojo sebagai formalitas. Dalam beberapa detik, Hojo memandang wajah Vin dan Vera, menghela napas panjang lalu akhirnya berjalan meninggalkan mereka memasuki pesawat jet.
Vin dan Vera mengangguk bersamaan. Mereka berdua lebih penasaran dengan sesuatu yang ada di dalam pesawat tersebut dari pada mendengarkan perintah Hojo untuk berhati-hati saat di dalam pesawat.
"Vera, jangan jauh-jauh dariku." Vin memperingatkan Vera saat masuk ke dalam kabin yang tidak ada seorang pun di dalamnya.
"Iya, aku tahu. Aku bukan lagi anak kecil, Kak Vin." gerutu Vera, lalu duduk di samping Vin dengan gelisah.
Seperti remaja pada umumnya, rasa penasaran menguasai Vera. Hal itu jelas terlihat dari sorot mata Vera berkilat antusias. Pandangan mata Vera terus menilai isi dalam pesawat berwarna kelabu.
"Bisa berhenti memandangiku? Bisa-bisa dinding pesawat berlubang." kekeh Hojo kepada Vera.
Vera kembali mendengus kesal. Mengabaikan isyarat tangan Vin yang meminta Vera untuk tetap tenang.
"Katakan padaku, ke mana kita sebenarnya?"
"Kita akan pergi menuju akademi. Kali ini yang sebenarnya."
"Di mana itu?"
"Jauh dari semua benua dan berada di sebuah pulau di tengah Samudera Pasifik."
"Anda tidak sedang berbohong atau berusaha menipu kami kan? Jika itu yang Anda lakukan maka Kakak Vin akan membuat tulang-tulang Anda tidak bisa saling bersama satu sama lain." kata Vera penuh nada ancaman.
Hojo tertawa terbahak-bahak.
"Kalimat macam apa itu? Tidak bisa saling bersama satu sama lain? Kamu pikir aku sedang main-main seperti sedang bermain peran Puteri dan Pangeran? Lihat ke luar jendela. Apa kamu bisa melihat daratan?" kata Hojo jauh lebih tenang.
Vera, dengan cepat, bergerak ke arah jendela kecil di dekat Vin. Melihat apa yang sedang dilihatnya, Vera membelalakkan mata lebar-lebar. Hanya ada awan putih yang bisa mereka lihat.
"Ini sungguhan?" pekik Vera.
Setidaknya, mereka berada di atas ketinggian 50.000 kaki. Hanya ada awan putih berarak-arak dan langit biru dengan semburat sinar matahari yang mulai terbit. Jika sedang bahagia, Vera akan sangat senang melihat pemandangan ini.
"Ini terlalu tinggi untuk ukuran pesawat?" kata Vera lagi.
"Kenapa? Apalagi masalahmu sekarang, gadis kecil?" gerutu Hojo mulai tidak senang.
Bukan karena Hojo tidak menyukai anak-anak. Hojo hanya tidak senang mendengar suara Vera yang terlalu banyak menuntut pertanyaan. Secara mental Hojo sedang sangat kelelahan.
"Ssst." bisik Vin, salah satu tangan Vin letakkan di bibir.
...
"Selamat datang di Academy Superhuman Forces." kata Hojo, setelah beberapa jam perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah pulau.
"Sebut saja pulau ini dengan nama Pulau Tiga Hantu." lanjut Hojo.
Setelah mereka turun dari pesawat Jet, baik Vin atau Vera dibuat takjub dengan apa yang dilihat oleh kedua mata mereka. Vera, si anak jenius, harus menggosok-gosok matanya dengan tangan kanannya karena tidak percaya dengan penglihatannya.
Sebuah bangunan megah yang berdiri di hadapan mereka terlihat begitu megah. Penampakan seperti kastil paling megah yang pernah ada di muka bumi. Bahkan melebihi keindahan kastil mana pun.
Mulut Vera dan Vin dibuat menganga lebar karenanya. Mata Vera dan Vin yang melotot dan hampir saja keluar dari tempatnya. Hojo yang melihat dua anak kampungan itu hanya mendengus. Hojo menertawakan dirinya sendiri karena tidak bisa menunjukkan ekspresi kagum seperti dua anak itu.
"Kalian tidak ingin masuk?" tanya Hojo, setelah memberi jeda waktu untuk Vin dan Vera untuk mengagumi keindahan gedung utama Academy Superhuman Forces.
"Tentu." balas Vin buru-buru mengikuti Hojo yang sudah berjalan di depan mereka.
Vera hanya berjalan dalam diam dengan salah satu tangannya menggandeng tangan kiri Vin.
"..."
Memasuki halaman depan Academy Superhuman Forces. Tidak lebih dari satu hectar luas taman depan yang dipenuhi dengan aneka pohon dan beberapa jenis bunga yang tidak Vin dan Vera ketahui.
Ada banyak bangku taman terbuat dari kayu dan beberapa di antaranya terbuat dari besi yang dicat putih. Sedangkan suasananya terkesan sunyi seperti tidak ada suara aktivitas dari dalam gedung utama.
Seperti mereka sedang berada di lautan padang pasir di sebuah pulau tidak berpenghuni.
"Kenapa sepi sekali?" tanya Vera, akhirnya bersuara.
"Kamu pikir tempat ini pusat keramaian seperti mall atau pasar ikan? Akademi ini adalah tempat orang untuk belajar. Seperti kamu atau Vin." balas Hojo datar.
Mereka terus melangkah memasuki aula gedung utama yag ternyata terbuat dari marmer dan dinding kaca. Ada banyak lampu kelap-kelip di atas plafon berbentuk kubah. Sedikit banyak mengadopsi konstalasi bintang dalam satuan galaksi.
Saat Vera mendongakkan wajahnya ke atas, plafon yang awalnya berwarna putih terang menjadi berubah warna-warni pelangi dengan campuran sinar ultraviolet yang masiv. Seperti sebuah pertunjukkan penampakan galaksi atau antar bintang.
"Indah sekali." komentar Vera takjub.
Hampir bersamaan Vin dan Hojo menggelengkan kepala prihatin. Pada beberapa kasus, memang Vin tidak pernah melihat hal seperti itu sebelumnya. Tapi, Vin cukup tahu diri dan menahan dirinya untuk tidak bersikap konyol seperti Vera.
Singkatnya, Vin tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri di depan Hojo. Bagi Vin, cukup dia memohon kepada Hojo saat situasi kemarin yang tidak memungkinkan bagi dirinya untuk melarikan diri.
"Apa ada orang seperti diriku di tempat ini?"
"Tentu saja. Banyak sekali. Pulau Tiga Hantu ini memang dibuat khusus untuk orang-orang seperti kalian. Juga Vera akan mendapatkan pendidikan kedokteran yang paling modern. Keahlian Vera pada akhirnya akan sangat membantu dirimu di masa depan."
"Lalu dimana kami akan tinggal?" desak Vin.
"Apa itu yang kamu khawatirkan?"
"Tentu saja. Melihat tempat megah seperti ini pasti biaya hidupnya sangat besar. Bagaimana aku bisa membayarnya? Belum lagi untuk keperluan sekolah Vera." balas Vin resah.
Saat ini semua uang yang Vin miliki sudah ikut terbakar karena aksi tidak terkontrol yang dia lakukan. Mustahil tidak ada biaya untuk semua kemewahan yang terpajang di depan matanya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Cukup ikuti saja semua kata-kataku." kata Hojo tersenyum lebar. Senyum yang membuat Vera bergidik ngeri.
-TBC-
Yuk dukung cerita ini dengan tambahkan di daftar bacaan kamu, tulis komentar atau review, vote dan power stone supaya penulis jadi tambah semangat. Terima kasih telah membaca. Semoga harimu menyenangkan.