Chereads / Apakah Kamu Punya Adik Perempuan? / Chapter 10 - Bagian 10 : Duka

Chapter 10 - Bagian 10 : Duka

Pemakaman Aoyama, Shinjuku, Tokyo.

Pukul tiga sore.

Tap, tap, tap ….

Pada saat itu, Mikio bersama Aya sedang berjalan sambil bergandengan tangan menuju aula pemakaman Aoyama.

Dengan setelan pakaian berwarna hitam, Mikio dan Aya datang untuk menghadiri upacara otsuya mendiang Oki.

Sambil berjalan, Aya menatap sekitar.

Terpandang oleh Aya, pohon sakura berjejeran sepanjang jalan.

Kala itu bunga sakura sedang tidak bermekaran, hanya pohon beserta ranting yang Aya jumpai.

Suasana area pemakaman begitu senyap.

Tanpa saling menatap, Mikio dan Aya berbincang.

"Kakak?" tanya Aya.

"Kenapa" tanya balik Mikio.

Raut wajah Aya nampak sedih.

Aya berkata, "bunga sakura … tidak mekar."

"Begitulah … bunga sakura hanya mekar pada akhir maret hingga akhir juni," kata Mikio.

Huuuf ….

Aya menghembuskan napas tanda kecewa.

Mikio memandang Aya, lalu ia tersenyum.

Aula pemakaman Aoyama, Shinjuku, Tokyo.

Pukul tiga lewat, sore hari.

Tap, tap, tap ….

Mikio dan Aya berjalan memasuki aula pemakaman.

Setibanya di sana, kursi-kursi pada aula sudah banyak terisi.

Suasana begitu hening, orang-orang di sana tampak mengenakan pakaian serba hitam.

Sembari bergandengan tangan, Mikio dan Aya berjalan mencari kursi kosong.

Dari kejauhan terlihat oleh Aya, Mika sedang duduk pada salah satu kursi.

"Kakak Mika!" seru Aya.

Sontak pandangan orang-orang tertuju pada Aya.

Aya melepaskan genggaman tangan Mikio.

Tap, tap, tap ….

Dengan senyum di wajahnya, Aya berlari menghampiri Mika.

"Aya kamu ke mana?" tanya Mikio pelan.

Mikio memutuskan untuk mengikuti Aya.

Terlihat oleh Mikio, Aya sedang memeluk seorang wanita.

Wenita tersebut adalah Mika.

Dengan Kimono hitam serta rambut yang tertata rapi, Mika terlihat begitu menawan.

"Kakak Mika!" seru Aya.

Mika tersenyum.

"Aya jangan terlalu berisik ya … sekarang kita sedang berada di acara pemakaman," pinta Mika.

Secara perlahan, Mika mengelus rambut Aya.

"Iya," tutur Aya pelan.

Mikio menatap Mika, lalu Mika menatap balik.

Terpandang oleh Mikio, mata Mika yang berkaca-kaca.

Tidak ada pembicaraan di antara mereka, Mikio segera duduk pada salah satu kursi.

"Duduklah," pinta Mika pada Aya.

Aya melepaskan pelukannya dari Mika, lalu ia duduk pada salah satu kursi.

Kini Aya sedang duduk di antara Mika dan Mikio.

Waktu berlalu.

"Apakah aku boleh duduk di sebelahmu?"

Terdengar oleh Mikio suara seseorang.

Mikio menoleh, ia melihat seorang pria dengan setelan kemeja rapi.

Kalau tidak salah, batin Mikio sembari menatap pria itu.

"Detektif Nishi," tutur Mikio.

Detektif Nishi tersenyum ramah.

Beberapa saat berlalu, kursi kosong nyaris tidak

tersisa.

Oki hebat ya … mungkin jika aku yang mati tidak akan sebanyak ini, batin Mikio.

Mikio memandang ke depan, terpandang oleh Mikio sebuah peti mati.

Tidak jauh dari peti mati, terlihat bingkai foto berisikan foto Oki.

Elegan dengan jasnya, pada foto itu Oki tersenyum.

Pada sisi kiri dan kanan peti, ungkapan bela sungkawa serta bunga warna-warni bertebaran.

Tap, tap, tap ….

Pada keheningan, Mikio melihat seseorang datang menghampiri peti mati.

Orang itu adalah biksu Buddha.

Pada hadapan peti mati, biksu Buddha membacakan kitab sutra.

Semua berjalan lancar hingga biksu Buddha membacakan membacakan karaniya metta sutta.

Aya yang sedang duduk pada salah satu kursi, merasakan rasa sakit dari dalam tubuhnya.

Apa ini? batin Aya.

Hueek ….

Terdengar oleh seisi aula pemakaman, suara dari Aya.

Sontak Mikio menoleh, ia melihat Aya sedang menutup mulut dengan kedua telapak tangan.

"Kenapa Aya?" tanya Mikio khawatir.

Mata Aya tampak melotot, memandang lurus ke depan.

"Apa yang terjadi?" tanya detektif Nishi.

"Aya?" tanya Mika.

Secara perlahan, Aya melepaskan kedua telapak tangannya dari mulut.

Kedua tangan Aya tampak bergetar.

Pada kedua telapak tangan terlihat darah.

"Ini," tutur detektif Nishi sambil menyodorkan sapu tangan kepada Aya.

Aya berkata, "terima kasih."

Memanfaatkan tisu itu, Aya membersihkan darah dari kedua telapak tangannya.

"Aya kamu tidak apa-apa?" tanya Mikio.

Aya tersenyum kepada Mikio.

"Tidak apa-apa," jawab Aya.

Mikio berseru, "tidak apa-apa katamu!"

Seisi ruangan memandang Mikio rishi.

Sementara itu, Mikio tidak memperhatikan orang

sekitar.

"Ayo kita ke rumah sakit!" seru Mikio.

Mikio meraih tangan Aya, lalu ia membawa Aya

meninggalkan aula pemakaman.

Beberapa saat berlalu.

Tap, tap, tap ….

Kini Mikio dan Aya sedang berjalan sambil bergandengan tangan.

Langkah kaki Mikio begitu cepat, Aya tertinggal

beberapa langkah di belakang.

"Kakak," tutur Aya pelan.

Mikio acuh.

"Kakak!" seru Aya.

Tiba-tiba Aya berhenti melangkah, sadar akan itu Mikio berpaling menghadap Aya.

Terlihat oleh Mikio, wajah datar Aya.

Pandangan Aya nampak kosong.

"Kakak … kenapa kamu teriak kepadaku?" tanya Aya.

Mata Mikio berkaca-kaca.

"Kakak mengkhawatirkanmu!" seru Mikio.

Perkataan Mikio membuat Aya senang.

"Kakak!" seru Aya.

Aya memeluk Mikio, kemudian Mikio mengelus rambut Aya dengan lembut.

Aula pemakaman Aoyama, Shinjuku, Tokyo.

Pukul lima sore.

Upacara otsuya mendiang Oki berakhir, satu-persatu keluarga serta kerabat meninggalkan aula pemakaman.

Isak tangis dari keluarga maupun kerabat dekat

menggema pada seisi ruangan.

Sementara itu Mika masih duduk pada salah satu kursi, pada wajahnya Mika sama sekali tidak menunjukkan kesedihan.

Tap, tap, tap ….

Terdengar oleh Mika, langkah kaki menghampirinya.

Mika menoleh, terlihat olehnya sosok pria.

Pria itu adalah detektif Nishi.

"Ah … kenalannya Mikio?" tanya Mika.

"Iya," tutur detektif Nishi.

Mika bertanya, "Ada perlu apa?"

"Apakah kita bisa bicara sebentar," tutur detektif

Nishi sembari menunjukkan kartu identitasnya.

Restoran cepat saji, Shinjuku Tokyo.

Pukul lima sore lewat.

Sekarang Mika duduk berhadap-hadapan dengan pria yang baru saja ia temui.

Berjanji akan di traktir, Mika tidak dapat menolak.

"Lalu … yang ingin om tanyakan?" tanya Aya sembari mengaduk minuman dengan sedotan.

"Ini tentang Oki … tidak apa?" tanya balik detektif Nishi.

Aya berhenti mengaduk minuman, suasana di antara mereka menjadi hening.

"Tidak apa," jawab Mika pelan.

"Apa hubunganmu dengan mendiang Oki?" tanya detektif Nishi.

Mika menjawab, "teman."

"Bagaimana hubungan Mikio dengan mendiang Oki?"

"Yang aku tahu … mereka berteman cukup akrab," jawab Mika.

Perbincangan terus berlanjut, detektif Nishi

mengajukan bebragai pertanyaan kepada Mika, terkait Oki.

Hingga air mata mengalir pada kedua pipi Mika.

Gawat … apakah aku salah mengajukan pertanyaan? batin dettektif Nishi.

"Kenapa?" tanya detektif Nishi.

Hiks, hiks, hiks ….

Mika menangis.

"Tidak apa-apa … hanya sedikit teringat masa lalu," ucap Mika.

10 Juli 2020.

Lorong kampus, kampus Nishi Waseda, Tokyo.

Pukul tiga sore.

"Berpacaranlah denganku!" tutur Oki.

Dengan gestur sedikit membungkuk, Oki menyodorkan bunga kepada seorang wanita di hadapannya.

Pipi Oki memerah, Oki tidak mampu menatap langsung wanita di hadapannya.

Wanita itu adalah Mika.