Hembusan angin semilir yang menyegarkan kala hujan mulai reda menyibak kerudung putih yang dikenakan oleh Lara. Gadis cantik asli Jawa Tengah itu, terlihat kepayahan berjalan sambil memegang bagian belakang jilbab yang ia kenakan.
Perlahan ia menyebrang jalanan yang basah terkena guyuran hujan. Wajahnya yang ayu membuat mata ingin melirik bahkan menatpnya lama.
Lara begitu fokus pada jalanan yang ia lewati hingga tak menyadari sepasang mata yang sedari tadi mengikuti dirinya dari ia mulai keluar kantor hingga berjalan menaiki jembatan penyeberangan di depan gedung perkantoran.
"Ayah, aku menyetujui untuk menggantikan ayah di kantor, tapi ada syaratnya." Ucap Bani pada ayahnya melalui sambungan telepon.
"Apa syaratnya?" Tanya sang ayah dengan wajah cerah karena anaknya yang selalu ingin menghilangkan masa lalu dengan tinggal di luar negeri kini mau melanjutkan usahanya.
"Biarkan aku belajar dulu dengan menjadi karyawan biasa di kantor ayah. Dan jangan sampai ada seorang pun yang tahu jika aku adalah anak ayah."
"Kamu serius?"
"Tentu, kantor ku bahkan lebih besar dari kantor ayah tapi aku masih mau melanjutkan usaha ayah jadi lebih baik ayah menyetujui saja syarat dariku."
Atmaja tersenyum lebar anaknya ini memang pandai bernegosiasi. Pantas saja perusahaan yang ia kelola berkembang pesat di Eropa.
" Baiklah, ayah akan atur segalanya."
"Ok, terima kasih ayah."
Bani menutup panggilan telepon dengan sang ayah. Lalu kembali memandang gadis berjilbab yang sedang menaiki sebuah mobil angkutan umum. Perlahan ia menyalakan mesin mobilnya dan berjalan mengikuti laju angkutan yang dinaiki oleh Lara.
Hujan kembali turun dengan lebat, angkutan umum yang ditumpangi Lara berhenti di depan sebuah gang kecil lalu turunlah Lara dengan menggunakan payung. Bani segera mengambil payung dan keluar dari mobil mengikuti langkah Lara yang terus berjalan menyusuri gang sempit menuju ke kontrakan yang ia tempati.
Jelas dalam pandangannya, Lara berjalan ditengah guyuran hujan dengan sesekali menegur anak - anak yang sedang bermain dibawah kucuran hujan.
Sampai disebuah rumah petak sederhana Lara mengetuk pintu dan terlihat perempuan paruh baya keluar dengan seorang balita berumur 2 Tahun dengan senyuman yang lucu. Lara segera merengkuh balita itu dalam dekapannya. Lalu berpamitan dengan perempuan paruh baya yang tadi mengendong anak itu.
"Ya Allah..."
Bani merasakan sesak yang tak terkira didadanya. Ada rasa sakit berlumur penyesalan yang datang merajai hatinya kini.
Hujan masih turun dengan lebat ya, Lara masih berjalan dengan payung di tangan kirinya sedangkan tangan kanannya mengendong balita lucu.
Lara nampak bahagia, terlihat dari senyuman yang terpatri diwajah. Bani masih setia mengikuti langkah Lara meski dengan jantung yang berdecak kencang disertai sesak didada dan tangis yang tertahan. Hingga Lara sampai disebuah rumah kecil dengan pagar berwarna hitam.
Lara segera masuk ke dalam teras, lalu merogoh tas miliknya untuk mengambil kunci rumah kontrakan yang telah lama ia tempati bersama anak semata mayangnya itu.
Bani hanya mampu menatap dengan getir dua insan berbeda usia tersebut dan membiarkan keduanya masuk ke dalam rumah tanpa mengetahui keberadaannya.
"Heri, kirimkan orang untuk menjaga rumah Lara. Di jalan Pattimura no. 27."
"Lara?"
"Ya, aku menemukannya."
"Apa kau baik - baik saja?"
"Menurutmu?"
"Pulanglah aku akan menyuruh anak buahku untuk menjaga Lara."
"Ok, Terima kasih."
Bani segera kembali ke tempat dimana ia memarkirkan mobilnya.
Bani menepuk - nepuk dadanya hanya untuk menghilangkan sesak didalam dada yang ia rasakan kini.
"Ya Allah, aku berdosa... Aku sungguh berdosa ya Allah... Astaghfirullahaladzim.."
Bani terus beristighfar dengan tangisan yang tak tertahan.
Ingatan tentang apa yang telah ia lakukan terhadap seorang gadis yang tak berdosa bergelayut dan terus berputar di otaknya.
Ingatan buruk yang membuatnya meninggalkan negaranya dan memilih tinggal di kawasan Eropa. Namun apa daya ia tak mampu menghilangkan ingatan itu. Hingga berita tentang gadis itu masuk di pendengar nya dan disinilah ia menatap gadis itu dengan penyesalan yang teramat dalam.
________
"Hujan - hujan seperti ini kamu mau kemana, Fatir?" Tanya Atmaja.
"Aku hanya ingin pergi kerumah teman, ayah."
"Kau baru saja sembuh."
"Aku tidak apa-apa ayah, jangan khawatir."
"Biarkan sopir mengantarmu."
Fatir kembali menoleh pada Atmaja yang terlihat begitu khawatir padanya.
"Baiklah ayah, kalau begitu aku berangkat dulu ayah." Ucap Fatir lalu mencium tangan sang ayah dengan takzim.
"Hati-hati."
"Hm, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Fatir berlalu dari hadapan sang ayah lalu berjalan ke teras dimana sang sopir telah siap dengan payung ditangannya.
"Kita mau kemana mas?" Tanya Pak Sarto sang sopir kepercayaan.
"Ketempat biasa." Jawab Fatir sambil berjalan dibawah payung yang di pegang oleh Sarto menuju ke mobilnya.
"Ok. saya juga kangen sama Sahal." Tandas Sarto dengan senyum yang mengembang.
Sarto segera membukakan pintu mobil untuk Fatir lalu ia berjalan cepat ke arah kemudi dan melakukan mobil Fatir menuju ke tempat yang telah biasa mereka tuju.
Sarto membunyikan klalson mobil saat beralasan dengan mobil yang dikendarai oleh Bani yang tak lain adalah kakak Fatir.
"Alhamdulilah, saya senang melihat Mas Bani yang sekarang." Ucap Sarto sambil menatap Fatir melalui kaca spion disamping kemudi.
Fatir menganggur sambil tersenyum kecil.
"Saya tidak menyangka, jika mas Bani benar - benar bisa berubah."imbuh Sarto.
" Allah punya seribu satu cara untuk merubah hati seseorang. "Jawab Fatir membuat Sarto tersenyum.
" Iya mas... Dan Semoga saja Mas Bani Istiqomah dalam hijrahnya. "
" Aamiin.. "
Mobil yang mereka naiki tak terasa telah sampai di tempat yang mereka tuju.
Fatir keluar dari mobil dengan membawa sebungkus martabak yang sempat ia beli saat diperjalanan.
Hujan telah reda berganti angin semilir yang menyejukkan. Tetes - tetes sisa air hujan terlihat masih menetes disela genting.
"Assalamualaikum." Suara Fatih begitu santun dan teduh. Dibelakangnya berdiri Sarto menemani sang tuan.
"Waalaikumsalam." Jawab seorang perempuan berhijab sambil membukakan pintu.
"Mas Fatir."
"Lara.."
"Masuk mas, Pak Sarto.."
"Terima kasih Mbak Lara." Sahut Sarto.
"Dimana Sahal?" Tanya Fatir setelah mendaratkan tubuhnya diatas sofa sederhana.
"Baru saja tidur." Sahut Lara sambil berjalan masuk ke dalam dapur untuk membuatkan mereka minuman hangat.
Tak lama kemudian Lara telah kembali dengan nampan berisi tiga cangkir dengan berisi teh panas di dalamnya.
"Silahkan diminum, mas Fatir dan Pak Sarto." Kata Lara lalu duduk disalah satu sofa single yang tak jauh dari mereka.
"Padahal aku kangen sama Sahal sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengannya." Ujar Fatir lalu menyadarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
"Oya, itu aku bawa martabak buat kamu." Lanjut Fatir.
"Terima kasih, selalu repot - repot bawakan makanan untuk aku atau Sahal setiap datang kemari" Sahut Lara.
"Aku takut kamu lapar malam - malam."
"Aku kan bisa masak atau beli, mas."
"Tidak apa - apa aku senang membelikannya untukmu."
"Terima saja mbak, dari pada saya yang kena damprat." Ujar Sarto menengahi.
Lara tersenyum, "Memangnya Mas Fatir suka damprat Pak Sarto?"
"Iya mbak. Kalau lagi kangen sama mbak Lara terus mbak Laranya lagi sibuk."
Fatir memejamkan matanya, namun ujung bibirnya melengkung ke atas.
"Jangan gitu sama Pak Sarto, Mas. Kasian." bela Lara membuat Fatir terkekeh dan bukannya marah mendengar wanita pujaannya itu membela sopir pribadinya.