"Terimakasih sudah mengantarkanku pulang Mas Langit." kata Rania ketika dia dan Langit, laki-laki yang menolongnya itu, sudah sampai di depan rumahnya.
"Sama-sama." kata Langit singkat. Dia memang pendiam. Tak banyak bicara. Namun selalu menunjukkan aksi yang membuat Rania kagum kepadanya.
"Mampir dulu yuk Mas." Rania menawarkan. Dia berharap Langit tak menolaknya. Dengan cara inilah mungkin dia bisa lebih dekat dengan Langit. Mungkin terlalu cepat. Tapi inilah kenyataannya. Dia menyukai Langit sejak pertama kali melihatnya.
"Boleh?" tanya Langit. Pertanyaannya mengisyaratkan bahwa dia tak menolak tawaran Rania.
Wajah Rania memerah. Ada apa dengannya? Kenapa dia merasa aneh? Dia tak menyangka bahwa Langit akan langsung menerima tawarannya. Tiga hari di rumah sakit bersama Langit membuatnya lupa diri. Bahkan dia hampir tak bisa mengenali dirinya sendiri. Dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia seseorang yang tenang, tangguh dan tak mudah goyah. Namun tampaknya semua itu runtuh di hadapan Langit yang 'tinggi' itu.
"Boleh Mas. Yuk. Nggak ada siapa-siapa di rumah. Cuman aku sendiri." kata Rania sambil membuka pintu.
Setelah pintu terbuka, dia melangkah terlebih dahulu untuk masuk ke dalam yang kemudian di ikuti oleh Langit.
"Silahkan duduk Mas. Mas mau minum apa?" tanya Rania. Dia memang tak mau memanggil Langit hanya dengan namanya, karena Langit tujuh tahun lebih tua darinya. Dan Langit tak keberatan dengan itu.
"Apa aja." jawab Langit singkat.
"Sebentar ya mas." kata Rania sambil tersenyum kemudian melangkahkan kakinya menuju ke dapur dan berniat membuatkan teh hangat untuk Langit di malam yang dingin ini.
Langit mengangguk tanpa ekspresi. Setelah Rania pergi ke belakang, dia berdiri, mengelilingi ruang tamu Rania yang luas dan memandangi satu per satu foto yang tertata rapi di dinding.
Foto Rania ketika masih kecil sampai dia sudah beranjak dewasa saat ini, foto orang tua Rania, foto kakak laki-laki Rania yang memakai toga saat wisuda, dan masih banyak lagi.
Tampaknya Langit juga sedikit tertarik dengan Rania. Sebab, melihat sikapnya yang dingin, dia bukan tipe lelaki yang iseng saja melihat-lihat foto seorang wanita tanpa merasa tertarik sedikit pun.
Jelas saja. Rania adalah wanita muda yang cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, tubuhnya tinggi dan langsing serta rambutnya yang lurus sebahu membuatnya begitu menarik. Dia juga sangat kaya. Rumahnya begitu besar dan mewah. Dan dia juga pintar dan baik. Jadi siapa yang tidak akan tertarik kepadanya? Termasuk Langit. Mustahil jika dia mengabaikan Rania.
"Diminum Mas." kata Rania kepada Langit setelah dia selesai menyuguhkan minuman yang di buatnya kepada lelaki tampan itu.
Langit hanya tersenyum tipis menjawab tawaran Rania. Dia lantas mengambil cangkir yang berisi teh hijau hangat dan langsung meminumnya.
"Mas rumahnya di mana? Di sekitar sini atau jauh dari sini?" tanya Rania berbasa-basi.
"Agak jauh dari sini." jawab Langit.
"Di daerah mana? Berapa jam perjalanan jaraknya?" Rania penasaran.
"Nanti kamu juga tahu." jawab Langit. Membuat Rania semakin penasaran.
"Maksudnya? Aku mau di ajak ke sana Mas?" tanya Rania. Entah kenapa dia menjadi begitu percaya diri.
"Memangnya kamu mau?" tanya Langit datar.
Rania menatap Langit dengan perasaan tak karuan. Apa ini? Pertanda apakah ini? Apakah Langit menyukainya? Hingga dia ingin membawa Rania bertemu keluarganya?
"Eh. Mas bikin aku ge-er aja deh." Wajah Rania memerah. Dia benar-benar gugup.
"Ya kalau kamu mau, nanti kita ke rumah aku." kata Langit yang membuat Rania semakin salah tingkah.
"Kenalan sama keluarga kamu Mas?" tanya Rania dengan suara bergetar. Ah. Gugup sekali dia rupanya.
"Sama Ibu aku. Dia satu-satunya keluargaku." kata Langit dengan sorot mata tajam ke arah Rania. Sorot mata yang tiba-tiba menjadi agak menakutkan. Namun ada juga kesedihan yang mendalam di dalamnya.
"Ah. Tampaknya kita senasib ya Mas. Aku juga cuma punya satu orang tua. Ayah. Tapi beliau enggak di sini. Beliau udah hidup bahagia bersama keluarga barunya." Rania menimpali dengan nada bicara yang sedikit terdengar sedih dan juga begitu lirih. Dia sedikit takut melihat mata Langit. Untuk itu dia mengalihkan pembicaraan yang tadinya membahas keluarga Langit, kini menjadi membahas kehidupannya.
"Lalu, laki-laki itu?" tanya Langit menunjuk ke arah foto kakak Rania.
Rania menoleh ke arah yang di tunjukkan oleh Langit. Agak lama dia memandanginya. Lalu dia menarik napas panjang dan menjawab pertanyaan Langit.
"Kak Randi. Dia kakak aku satu-satunya. Seorang pengacara. Dia tinggal di kota ini juga, tapi sekalipun dia tak pernah mengunjungiku. Bahkan meneleponku saja hanya sesekali. Saking sibuknya mungkin Mas." kata Rania sambil tersenyum pahit ke arah Langit.
"Nggak ada pembantu?" tanya Langit lagi.
"Pembantu aku sudah sekitar satu tahun meninggal Mas. Beliau yang merawat aku dari kecil. Beliau juga yang masih setia kepadaku ketika Ibu meninggal karena kecelakaan. Dan setelah beliau pergi, aku masih belum mau untuk mencari pembantu lagi. Entahlah. Aku masih bisa melakukannya sendiri. Dan aku juga jarang di rumah Mas. Sibuk kuliah." kata Rania lagi.
"Nggak takut di rumah sendirian?" tanya Langit yang sedari tadi menatap lekat ke arah Rania.
"Takut kenapa Mas? Orang jahat? Nggak ada yang berani kali Mas sama aku. Gini-gini aku atlet bela diri lho Mas." Rania sedikit menyombongkan diri.
"Atlet?" Langit mengernyitkan keningnya. Mungkin dia tak percaya melihat tubuh Rania yang kurus itu. Karena biasanya seorang atlet itu memiliki tubuh yang sedikit berisi meskipun kecil. Tapi Rania, tubuhnya yang tinggi itu cenderung kurus. Dia lebih mirip seorang model daripada atlet.
"Nih foto aku waktu aku menang lomba karate tingkat SMA dulu Mas." kata Rania menunjukkan fotonya yang berada di meja telepon dekat sofa yang dia duduki. Di dalam foto itu tampak Rania mengenakan baju putih yang biasa di pakai oleh atlet bela diri. Di pinggangnya melilit sabuk berwarna hitam yang merupakan tingkatan paling tinggi di dalam cabang ilmu bela diri karate. Dia memegang piala juara satu dan tersenyum ke arah kamera.
"Dan ini waktu aku ikut lomba kimia Mas. Mas tahu kan kalau orang yang jago kimia itu bisa juga bikin bom? Jadi kalau ada yang berani macam-macam sama aku, ya tinggal aku bom aja Mas. Hahaha." Rania menambahkan. Dia menunjukkan satu foto lagi kepada Langit ketika dia dan kedua temannya memegang piala juara satu lomba kimia tingkat SMA.
Langit tampaknya sedikit terkejut melihat kedua foto Rania tersebut. Dia tak melihatnya tadi. Mungkin karena dia hanya fokus pada foto berukuran besar yang ada di dinding tanpa menghiraukan foto kecil yang tertata di meja telepon.
"Jadi kamu wanita berbahaya ya." kata Langit menanggapi. Lagi-lagi tanpa ekspresi. Meskipun tatapannya menjadi lebih tajam dari sebelumnya. Membuat Rania semakin bergidik ngeri.
"Ya, bisa di bilang begitu Mas." Rania tersenyum untuk menghilangkan ketakutannya pada sorot mata Langit.
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Langit tiba-tiba.
"Ng. Belum Mas." Rania kembali menjadi gugup. Ah. Dia menjadi sedikit kepedean karena pertanyaan Langit yang sepertinya mengarah ke arah yang di harapkan Rania.
"Wanita sempurna kayak kamu mustahil enggak punya pacar." kata Langit lagi. Membuat Rania beberapa kali menarik napas untuk mengaturnya. Dia merasa terbang ke angkasa mendengar Langit memujinya.
"Belum ada yang cocok Mas. Aku susah buat jatuh cinta soalnya." Rania tersipu malu.
"Kalau aku?" Langit yang sedari tadi duduk di sofa yang berbeda dengan Rania, kini berpindah duduk di dekat Rania.
Rania terkejut. Dia bahkan tak bisa mengatur napasnya. Lelaki itu sangat dekat dengannya. Membuat dia kehilangan kontrol atas dirinya.
Rania tak mampu membuka mulutnya. Dia hanya memandang Langit yang kini duduk tak berjarak dengannya. Wajah tampan itu semakin tampan saat di lihat dari dekat. Rania terkesima.
***