AKU melihat Rey bersama dengan seorang pengajar wanita berjalan menuju gerbang di mana tempat aku berdiri menunggunya. Dari kejauhan bisa ku lihat pengajar itu tersenyum lima jari ke arahku. Aku yakin dia tersenyum ke arahku bagaikan pemenang olimpiade matematika yang akan kuberi medali emas bernilai 24 karat.
"Kau pasti suster pemberani itu."
Wanita berkerudung warna violet itu berdiri di hadapanku sambil mengepalkan kedua tangannya di depan dada. Sekali lihat aku sudah bisa menilai kalau wanita ini sejenis wanita yang selalu melebih-lebihkan sesuatu.
"Maaf, aku bukan.."
"Jika aku ada di posisimu aku pasti akan sangat ketakutan. Aku tidak akan seberani dirimu menghadang harimau yang menyerang Rey dan mengorbankan nyawamu sendiri demi menolong Rey."
Perempuan ini sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk bicara.
"Maaf, aku tidak.."
"Aku tahu, menjaga anak kecil apalagi Rey anak yang lincah akan sangat menyusahkan, tapi kau benar-benar sangat mengagumkan. Kau memang sangat cocok menjadi seorang suster penjaga anak yang hebat. Andai aku seorang wartawan, aku akan jadikan aksi penyelamatan Rey dari serangan harimau kebun binatang menjadi head line di beritaku."
Mata perempuan itu sarat akan keinginan tinggi. Seolah-olah harapan yang ada di kepalanya akan menjadi sejarah dunia yang akan diabadikan.
"Bisakah aku bicara?" Aku mengangkat tangan berusaha menginterupsinya. Dia diam masih sambil tersenyum padaku. "Apa yang Rey katakan padamu?"
Senyumnya semakin mengembang, lalu dia mengusap kedua pundak Rey. Anak itu berdiri di sampingku dengan wajah tak kalah berbinar.
"Dia menceritakan tentang kau yang menolong Rey dari serangan harimau di kebun binatang."
Hah?!
Kepalaku reflek menunduk melihat Rey yang berdiri di sampingku. Dia sedang menatapku juga dengan senyum riang khas anak kecil.
Menyelamatkan dia dari serangan harimau? Yang benar saja.
"Oh, harimau, ya?" Aku tersenyum canggung kepada guru tersebut mencoba mempertahankan harga diri Rey yang sedang mengarang cerita lagi. "Itu bukan apa-apa."
"Kau sungguh mengagumkan." Desisnya dengan penuh rasa kagum padaku. Mungkin seharusnya aku pergi sekarang.
"Terima kasih, aku permisi."
***
"Rey, berbohong itu tidak baik."
"Aku tidak berbohong. Aku mengatakan yang sejujurnya."
"Tapi, 'kan yang mulia ratu tidak menyelamatkanmu dari serangan harimau, lagipula kau tidak diserang oleh binatang apapun, apalagi harimau. Itu namanya berbohong."
"Aku benar-benar mengalaminya."
Ya Tuhan! sebaiknya anak ini di bawa ke psikolog saja. Aku akan menelpon Naya kalau begitu, untuk membantu Rey menyelamatkan kejiwaannya. Maksudku dia tidak gila, hanya saja mungkin Rey mengalami sesuatu trauma atau apa yang menyebabkan dirinya berfatamorgana.
Begitu mobilku berhenti di pelataran parkiran Read Eat, Rey langsung membuka pintu tanpa membawa tasnya membuat aku mau tidak mau membawakan tasnya seperti jongos. Ya, dia anak kecil. Bebas dan merdeka.
"Yang mulia ratu, aku ingin makan nasi pesawat. Tapi aku ingin isinya daging sapi." Apa aku sudah memberitahu, bahwa Rey memiliki potensi memerintah. "Aku mau cheescake sebagai pencuci mulutnya."
Kalau saja aku tidak ingat bahwa ayahnya membayar mahal untuk makan anaknya, mungkin aku tidak sanggup menerima semua permintaan Rey soal makanan. Oke, belajar menjadi bisnis woman yang profesional semenyebalkan apapun pelanggannya tidak ada salahnya, kok.
Oya, yang dimaksud nasi pesawat adalah makanan bento yang aku bentuk sedemikian rupa menyerupai pesawat terbang. Awalnya hanya ingin bereksperimen, tapi siapa sangka justru Rey menyuakinya.
Aku memanggil Lidia untuk mengantar Rey ke atas. "Rey, tunggu di private zone ya, yang mulia ratu akan masak sebentar." Dia mengangguk. "Ingat, jangan nakal." Rey mengerucutkan bibirnya tidak suka. Dia tidak merasa dirinya nakal seperti halnya orang tua yang tidak merasa dirinya tua.
"Ben," aku nyaris berteriak saat melihat Ben sedang duduk bersama dengan bang Arsen dan mereka terlihat sangat akrab. Ben mengecup singkat bibirku setelah aku mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. "Kenapa tidak bilang?"
"Mau memberi kejutan." Ujarnya. "Sudah makan?"
Aku menggeleng kemudian mataku terpaku pada spageti bolognaise menggirukan yang sedang diaduk oleh Ben.
"Boleh aku mencoba makananmu?" Mulutku sudah siap untuk membuka dan harus ku tutup kembali saat Ben hanya menyodorkan piring berisi spageti ke hadapanku. "Aku harus mengambilnya sendiri?"
"Kenapa? Tanganmu sakit?"
Aku melongo atas jawaban Ben. Jadi, aku harus menunggu tanganku lumpuh baru dia mau menyuapiku.
"Tidak jadi." Ujarku ketus sambil menggeser piring tersebut ke arah Ben.
"Tadi kau bilang mau mencoba."
"Aku bilang tidak jadi!"
"Ya sudah." Dia kembali memakan spagetinya tidak peduli. Ya Tuhan kenapa aku bisa menemukan pria paling tidak peka seperti dia dan sialnya aku bisa jatuh cinta padanya.
Aku hanya mendelik melihat dia menikmati spagetinya tanpa peduli dengan perubahan wajahku. Kenapa dia tidak seperti Abi yang punya inisiatif untuk menyuapiku. Stop thinking about Abi. Stop!
"Vivi bilang kau mimisan karena Fay dan Sha bertengkar." Aku tersentak saat Ben berujar tiba-tiba. Ben memeriksa wajahku yang ku sesalkan saat ini sudah tidak ada tanda-tanda bahwa aku telah mimisan parah. Dokter semalam kelewat canggih.
Ya, aku hanya jenis wanita yang kekurangan perhatian dari tunangannya sendiri, tapi cukup menahan harga diri untuk tidak meminta terang-terangan. "Aku tidak mengerti kenapa kau yang mimisan sementara yang bertengkar itu Fay dan Sha."
"Kejadiannya begitu cepat. Tiba-tiba tangan Sha membentur hidungku lalu berdarah."
"Makanya, kenapa aku bilang kau jangan bersikap bodoh." Aku mendelik.
"Maksudnya?"
"Kau pasti ikut campur masalah mereka."
"Bagaimana aku tidak ikut campur, jika ada dua orang teman mu berkelahi di depan matamu. Menonton sambil taruhan siapa yang menang?"
"Kau bisa lapor bagian keamanan, bukan bertingkah seperti pahlawan."
"Ben!" Tubuhku tegak menghadap padanya.
"Sayang, akibat kebodohanmu, kau terluka."
"Aku hanya membantu."
Tandasku kesal. Berdebat dengan Ben bukan solusi yang benar karena hanya membuat wajahmu lebih tua dibanding umurmu.
"Kenapa kau tidak bilang kalau yang membantumu merancang Read Eat itu, Arsen?"
Secara otomatis aku melirik bang Arsen yang berada di seberangku dengan ekspresi wajah penuh tanda tanya menatap aku dan Ben.
"Kau juga kenapa tidak bilang kalau tunanganmu yang bernama Ben itu adalah Benandra Anindito." Ujar bang Arsen sengit.
"Kalian saling kenal?" Bang Arsen tersenyum tipis tidak biasa, sedangkan Ben mengangkat bahu sekilas. "Sebagai teman atau sebagai orang yang sensitif dengan popularitas seorang Arsenio?"
"Teman dekat." Jawab bang Arsen singkat dan Ben mengangguk khidmat.
"Kenapa begitu banyak kebetulan yang sering terjadi akhir-akhir ini." Aku menggerutu dan keluar dengusan dari hidungku. "Jangan katakan kalian juga mengenal wanita bernama Sera." Ucapku acuh sambil menatap mereka secara bergantian.
Namun tidak disangka reaksi Ben berlebihan. Dia memegang bahuku membuat aku terkejut.
"Bagaimana bisa kau mengenal Sera?" Aku melotot tidak percaya. Kebetulan yang sangat pas. Ben kenal Sera.
"Sebenarnya Sera itu siapa, sih?" Ucapku sengit.
"Ana, katakan padaku bagaimana bisa kau mengenal Sera?" Suara Ben melembut.
"Aku beberapa kali bertemu dengannya." Kataku acuh.
"Di mana?!" Suara Ben meninggi lagi.
"Tidak mungkin." Desis bang Arsen seolah tahu persis kalau aku berbohong.
"Sebenarnya Sera itu siapa?!" Aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan Ben. Melihat reaksi Ben yang berlebihan membuat aku merasa curiga.
Ben diam. Bang Arsen juga diam. Sementara aku menatap Ben dan bang Arsen bergantian menunggu jawaban.
"An, Rey sudah minta makan dari tadi."
Tiba-tiba Vivi muncul dari belakangku dan kemunculannya yang mendadak membuat aku dongkol. Mau tidak mau aku berdiri dengan kesal namun berbalik pada Ben.
"Sayang, aku harus tahu siapa Sera, dan kau harus memberitahuku." Ucapku pada Ben sebelum aku pergi meninggalkan Ben dan bang Arsen ke dapur.