Chereads / Him, and his secret / Chapter 5 - Kesepakatan

Chapter 5 - Kesepakatan

"Hai Lusiana."

Aku gelagapan mencari tempat persembunyian, tapi terlambat musuh sudah melihat. Aku sudah tertangkap basah. Ditambah tarikan tangan bang Arsen tidak dapat dihindari. Dengan seenak jidatnya bule gila ini menyeretku seperti seorang gembala menyeret kambingnya.

"Abi!!"

Bang Arsen merengsek memberikan pelukan kepada Abi dan mereka langsung tertawa bersama saling menyapa. Aku melirik ke arah Vivi yang langsung di tanggapi dengan mengangkat kedua bahunya tidak peduli.

"Uncle Arsenio!"

Mataku berkeliaran saat mendengar cicitan anak laki-laki. Bang Arsen kemudian merendahkan tubuhnya ke bawah berlutut di hadapan seorang anak laki-laki untuk menyamaratakan tingginya dengan anak tersebut.

Anak laki-laki itu mengenakan kemeja motif kotak-kotak warna merah dan abu-abu, di punggungnya ada ransel kecil bergambar super hero Spiderman. Bang Arsen dan bocah laki-laki yang kira-kira usianya 5 tahun berpelukan dan dengan sekali hentakan membawa ke dalam gendongan bang Arsen.

"Apa kabar jagoan uncle?" Anak laki-laki tersebut melingkarkan kedua tangannya di leher bang Arsen kemudian tersenyum.

"Luar biasa baik." Suaranya nyaring. "Aku punya mainan baru dari Ayah."

Bocah kecil itu meminta di turunkan dari gendongan bang Arsen. Sesaat setelah kakinya menapak ke lantai dia membongkar tasnya, mengaduk-ngaduk isinya lalu kemudian mengeluarkan pistol mainan berbahan pelastik, berwarna kuning cerah dan mengacungkannya ke udara.

"Aku akan menangkap penjahat dengan pistol ini." Katanya lantang lalu memosisikan pistol mainannya dan tanpa di duga bocah laki-laki itu mengarahkan pistol tersebut padaku dan-

"Aaarrgghhhh!" Bisa kurasakan ada cairan yang keluar dari pistol mainan tersebut yang diarahkan padaku. Tentu saja aku berteriak sekencang yang aku bisa.

"Rey!" Ada beberapa suara jeritan lain selain suaraku yang bisa aku pastikan itu adalah suara-suara manusia di sekitarku.

"Rey menangkap seorang penjahat."

Bocah itu berkata. Dia sama sekali tidak peduli dengan kekacauan yang baru saja dia lakukan.

Blouse warna peach yang baru saja kubeli satu minggu yang lalu dengan diskon 70% dan nyaris mati hanya untuk mendapatkannya karena berebut dengan perempuan setengah waras. Dan sekarang blouse bagian depan ini berlumuran noda berwarna merah. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab dengan ini semua?

"Apa ini?!"

Aku menatap blouse dengan nanar yang berlumuran noda berwarna merah. Seringaian bocah laki-laki itu padaku membuat aku persis seorang penjahat.

"An, Are you okay?" Bang Arsen menatapku dengan senyum menahan tawa.

"No. Im not okay." Aku menggeram sedangkan yang lain terkikik dan bocah itu merasa puas.

"Ana, aku butuh bicara denganmu."

Aku yakin suara bariton itu miliknya. Dan aku butuh penjelasan.

Tanpa bisa di duga Abi membawaku dalam genggamannya ke lantai dua perpustakaan masuk ke dalam ruang baca VIP dan seketika itu juga, begitu sangat membenci ruangan ini, kenapa tidak ada yang menyewanya.

Abi duduk di sofa bludru kemudian mempersilakan aku untuk duduk di depannya seolah ruangan ini adalah miliknya, yang membuat aku semakin jengkel, pria jangkung ini sama sekali tidak peduli dengan penampilanku yang sudah kacau.

Bokongku kujatuhkan dengan berat ke sofa bundar di depannya sambil melihat keadaanku yang memprihatinkan. Bercak noda warna merah dengan senang hati bertengger di seluruh blouse warna peach ku. Dengan sangat tidak sopan Abi tertawa terbahak-bahak tanpa bisa di cegah. Pria ini benar-benar.

"Sampai kapan kau akan menertawakanku?"

"Oke, maaf." Pria itu memegangi perutnya dan perlahan-lahan berhenti tertawa. "Begini," lanjutnya. "Tadi itu Rey, putraku."

Kepalaku sukses berdenyut. Mataku melotot. Pasti dia ingin balas dendam lewat putranya. Dasar orang tua penjajah anak-anak. Tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa, layaknya seorang tawanan yang masuk ke dalam jebakan. Terperangkap di dalamnya dan tidak bisa lepas. Yang bisa dilakukan hanyalah berdoa dan pasrah semoga pria ini mau sedikit berbaik hati denganku.

"Cairan yang dipakai Rey sebagai peluru pistol mainannya bukan cairan berbahaya. Itu hanya cat warna yang sering digunakan untuk melukis di kanvas. Mungkin akan hilang dengan deterjen. Tidak perlu di cemaskan. Katanya untuk menangkap penjahat. Atau mungkin menangkap seseorang yang telah lari dari tanggung jawab."

Pria di hadapanku mengucapkan kalimatnya dengan lancar tanpa beban. Bisa kudengar ada unsur sindiran didalamnya. Aku semakin yakin Abi pasti telah menyuruh anaknya untuk melakukan itu semua padaku.

"Rey sendiri yang berinisiatif untuk memasukan cairan merah tersebut ke dalam pistol mainannya, aku juga tidak menduga dia akan melakukan hal seperti itu padamu."

Katanya seolah baru saja membaca pikiranku.

"Oke," ucapku tiba-tiba menekan rasa jengkel dan takut. "Aku butuh penjelasan."

"Aku butuh pertanggung jawabanmu." Dia menimpali tak mau kalah.

"Pertanggung jawaban apa?" Tanyaku bodoh.

Dia menganga tidak percaya. "Kau lupa siapa aku?!" Dia menunjuk dirinya sendiri. Sepertinya Abi mulai memperlihatkan kemarahannya. "Apa kau memang sering melupakan seseorang setelah kau menganiayanya?!" Suaranya mulai meninggi.

Astaga. Astaga. Tamatlah riwayatku saat ini juga. Abi pasti akan melakukan segala cara demi membalaskan perbuatanku padanya tempo hari. Lapor polisi, itu sudah pasti. Diam-diam aku memikirkan pengacara mana yang akan aku sewa untuk membelaku di pengadilan nanti. Hotman Paris Hutapea? Hotma Sitompul? Tidak tidak, mereka terlalu mahal. Aku tidak sanggup membayarnya. Ya Allah tolong selamatkan hamba.

Aku mengembuskan napas pasrah. "Baiklah, baiklah." Aku menyerah. "Aku minta maaf atas peristiwa kesalah pahaman tempo hari."

"Salah paham?" Abi berkata. Nada bicaranya terdengar seperti ejekan.

"Ya, salah paham. Sebenarnya itu hanya salah paham." Dia memejamkan mata sekejap kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran sofa memandangku dengan tatapan yang mengintimidasi. Aku mulai gemetaran.

"Pada saat itu secara kebetulan kau berpakaian sama persis seperti dengan seseorang yang kumaksud. Mengenakan kemeja biru laut, memakai kaca mata frame coklat dan tampan. Karena hal itu aku jadi salah sasaran."

"Apa?" Katanya. "Kau bilang apa tadi?" Dia memajukan tubuhnya sehingga posisi duduknya lebih condong padaku.

"Salah sasaran."

"Bukan, sebelumnya."

"Salah paham."

"Bukan, kau bilang aku mengenakan kemeja biru laut, memakai kaca mata frame coklat dan apa?"

Oh ya Tuhan. Seharusnya aku tidak mengatakan yang satu itu. Walau bagaimana pun dia pasti jadi percaya diri. Ini pasti sistem kerja otakku mulai rusak akibat terlalu takut dengannya. Takut dengan situasi ini. Takut masuk penjara.

"Tam..pan." Ucapku pada akhirnya dengan nada tidak yakin.

Tanpa bisa di duga dia justru tertawa terbahak-bahak. Aku hanya dapat menatapnya dengan pikiran mungkin saja dia terlalu banyak mengonsumsi obat terlarangmembuat sel saraf tertawanya mengendur.

"Maaf." Aku menginterupsi, tanganku sengaja dikibaskan di depan wajahnya tapi dia tetap tertawa.

"Pak Abi!" Aku mulai berteriak. Tidak ada perubahan sama sekali. "Abyan!" Suaraku melengking di seluruh ruangan dan cukup bekerja membuat dia berhenti tertawa.

"Sorry." Dia menutup mulutnya dengan tangan. Masih bisa kulihat pundaknya bergerak naik turun menahan tawa.

Dia berdehem. "Aku berniat melaporkanmu ke polisi." Katanya mantap. Kepalaku berputar. Ini tidak boleh terjadi. "Karena walau bagaimanapun perbuatanmu sudah termasuk ke dalam kasus penganiayaan yang merugikan orang lain."

"Hah? Tapi.. tapi.. tapi.." kalimatku terbata-bata.

"Tapi apa?"

"Tapi wajahmu masih baik-baik saja, masih seperti awal saat aku belum memukulmu."

"Masih tampan maksudnya?"

Hah? Ih percaya diri sekali. Tapi benar juga sih.

"Oke kalau begitu," dia menyilangkan tangan di depan dada. "Kita naik banding." Naik banding? Masuk persidangan saja belum. "Tapi, ada syarat yang harus kau penuhi. Dan ini mutlak!"

"Kenapa aku harus memenuhi syarat darimu?" Kataku cepat seperti api menyambar bensin.

"Karena disini aku korbannya." Tandasnya telak membuatku bungkam.

"Apa syaratnya?" Tanyaku acuh tak acuh.

"Aku butuh pengasuh untuk Rey." Firasatku mulai tidak enak. "Karena pengasuh yang sudah aku pesan dari yayasan tiba-tiba membatalkannya. Jadi aku memintamu untuk menjadi pengasuh Rey sampai aku menemukan pengasuh baru untuk Rey."

Rey? Rey bocah nakal itu?

"Kalau kau tidak setuju, dengan sangat terpaksa aku akan melaporkanmu ke polisi. Aku punya bukti termasuk Nessa sebagai saksi." Licik. Benar-benar licik.

"Nessa pasti ada di pihakku." Kataku percaya diri.

"Begitu?" Dia mengangkat kedua alisnya. "Dia mungkin ada di pihakmu jika dia tidak membutuhkan pekerjaan lagi."

"Kau mengancam?"

"Tentu saja tidak. Ini sebuah penawaran." Satu sudut bibirnya terangkat membuatku muak.

"Kau punya waktu 5 detik untuk memikirkannya."

"Hah?" Sinting!

"Kalau tidak setuju aku akan langsung menuju kantor polisi."

"Apa?"

Abi bangkit berdiri sedangkan aku melotot tidak percaya.

"Satu."

"Tapi."

"Dua."

"Tunggu, aku butuh..."

"Tiga."

"Ini harus dibicarakan lagi."

"Empat."

"Kau jangan seenaknya."

"Lima!"

Kelima jarinya berada di depan wajahku, dia menyunggingkan senyuman puas kemudian berbalik menuju pintu.

"Tunggu." Aku mencegahnya sebelum dia membuka pintu. "Oke oke. Aku mau. Aku mau jadi pengasuh Rey dengan negosiasi gaji."

"Gaji?" Dahinya berkerut bingung.

"Iya. Gaji. Aku mendapat uang kan?"

Abi menyemburkan tawa meremehkan. "Tentu saja tidak Lusiana. Kau sama sekali tidak di bayar."

"Hah? Kau gila?"

"Tentu saja aku masih waras. Tidak setuju? Baiklah." Secepat kilat dia menaruh tangannya di kenop pintu siap-siap untuk membuka lebar-lebar ruangan ini.

"Hey, oke. Oke."

Segera aku menyambar tangannya menahannya agar tidak pergi dari ruangan ini.

"Baiklah. Mulai sekarang kau bisa langsung menjadi pengasuh rey."

Mataku terpejam pasrah. Ku rasa ini lebih berbahaya di banding dengan aku masuk penjara. Bersama dengan seorang anak kecil sepanjang hari pasti akan membuat hidupku lebih sulit. Ini gila! Ini tidak seharusnya terjadi. Tapi apa aku masih punya pilihan? Sepertinya tidak.

Bersambung...