Entah kenapa reaksi tubuhku sangat berlebihan ketika Fathan dan tante Maya sudah ada di hadapan kami. Tante Maya dan Bunda saling memberi salam dan menempelkan pipi mereka sangat akrab. Sedangkan aku hanya bisa nyengir gugup di samping Bunda.
Namun anehnya Fathan si pria alim itu terlihat biasa saja di sebelah tante Maya seolah aku ini hanya seonggok daging yang tidak berarti bukan gadis pujaan yang baru saja di mintanya untuk menjadi istri.
Memangnya aku berharap Fathan bereaksi seperti apa?
Bukankah laki-laki sholeh itu bawaannya memang kalem dan bersahaja.
"Mama, gimana kalau kita makan dulu di warung bakso depan sana?"
Ya, makan di warung bakso sepulang dari pengajian sepertinya ide yang bagus, mengingat memang perutku sudah keroncongan.
"Nah, kebetulan banget Bunda warung bakso disana enak banget. Langganan almarhum Papa nya Fathan."