Sekali lagi Kirana menarik napasnya dalam. Menggenggam erat telapak tangannya yang mendingin, lalu membasahi permukaan bibirnya. Dia sudah terserang mual selama dalam perjalanan dari stasiun menuju rumah Dimas. Sekarang saat mobil sedan itu memasuki pelataran sebuah rumah besar nan asri yang di tumbuhi banyak pepohonan, dia justru ingin memuntahkan seluruh isi perutnya. Namun dia tersadar bahwa itu bukan gagasan yang bagus. Jadi, dia berusaha menahan habis-habisan rasa mual yang terus ingin mendesak keluar. Dia sangat membutuhkan minyak angin saat ingin.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Dimas memastikan, bahwa Kirana masih dalam batas normal.
"Aku deg-degan, Dim."
"Santai aja, di dalem ada Mbak Lanti, dia pasti bisa bantu kamu menghadapi ibu."
"Hah? Siapa?"
"Kakak Ku."
"Dim," Kirana menarik lengan Dimas. Lututnya sudah melumer seperti lilin yang di makan api.
"Tenang ya, Kira, kita masuk. Katanya kamu laper."
Ya, tiba-tiba rasa lapar mampu membuatnya sedikit lebih berani.
***