Sepertinya benang merahnya sudah mulai nampak terlihat jelas. Ben, mencintai Sera. Sera ibunya Rey, dan Sera istri Abi. Kesimpulannya, Ben adalah kekasih gelap Sera. Ya, pasti mereka terlibat dalam cinta segita, huru-hara rumah tangga seperti sebuah drama yang ada di salah satu stasiun televisi swasta.
Aku tahu," ucapku berjengit, masih dalam keterkejutan. "Aku tahu apa yang terjadi pada kalian bertiga." Abi terkesiap menatapku. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali.
Aku menelan ludah sebelum akhirnya berkata. "Sera adalah istrimu dan dia selingkuh dengan Ben. Dan selama ini, Sera menyadari bahwa yang dicintainya itu adalah Ben, bukan kau. Tapi sebelum Sera menyadari bahwa Ben memiliki perasaan yang sama, wanita itu lebih dulu meninggal tanpa tahu perasaan Ben padanya. Iya, 'kan?"
Entah aku mendapat pemikiran dari mana atas jawabanku barusan. Mungkin aku terlalu banyak menontom drama. Tapi, apapun bisa terjadi, 'kan?
"Dan pertanyaannya kenapa Ben mau menikahiku sementara yang ada dihatinya bukan aku?!" Suaraku tercekat. "Kenapa, Ben bersamaku sementara yang dia cintai bukan aku?! Dan kenapa sampai saat ini Ben tidak bisa melupakan Sera, tapi dia mengajak aku menikah?!"
Aku tidak tahu aku bisa selemah ini. Oh, ayolah walau kisah cinta mereka yang lebih dulu terjadi, tapi tetap saja aku merasa dikhianati. Aku mendadak merasa menjadi wanita tolol sedunia.
Aku paham kenapa selama ini Ben tidak menaruh perhatian sepenuhnya padaku. Kenapa dia bersikap seolah mengabaikanku. Ku kira karena hubungan jarak jauh yang kami miliki tapi sekarang aku tahu kenyataannya bahwa Ben, sedikitpun tidak menempatkan aku di hatinya.
Dalam isakanku yang kurasa begitu dahsyat ada sepasang tangan yang merengkuh tubuh ringkihku ke dalam pelukan. Tanpa aku melihat wajahnya, aku sudah tahu siapa pelakunya. Tanpa banyak pemikiran aku membenamkan wajahku di dadanya. Kurasakan punggunggu di usap lembut berkali-kali dengan gerakan yang beraturan. Belum pernah aku merasakan pelukan hangat dari Ben, seperti yang Abi lakukan padaku saat ini.
"Sudah aku bilang, jangan pernah menerka-nerka. Tanyakan apapun pada Ben."
Gerakan tangannya pindah menuju kepalaku dan mengusapnya dengan sama lembutnya seakan aku ini objek yang mudah rapuh.
"Bagaimana jika Ben berbohong padaku?" Suaraku tercekat parau. Jangan sampai Abi menyadari kalau aku begitu terguncang. Tapi, kurasa dia sudah menyadarinya sejak awal.
"Tidak ada alasan baginya untuk tidak berkata jujur." Jawab Abi.
"Kenapa bukan kau saja yang menceritakannya?" Kembali aku merengek, menuntut jawaban.
"Aku tidak berhak untuk mengatakan tentang mereka padamu."
"Kenapa?"
"Karena yang menjadi tunanganmu adalah Ben, bukan aku." Jelas terdengar nada bicara Abi yang tegas. seperti sedang menjelaskan secara gamblang siapa dia sebenarnya.
Dan mendengar kata tunangan yang diucapkan Abi, membuat aku semakin sakit. Kedua tanganku melingkar di pinggangnya kemudian mengeratkan pelukannya. Aku hanya terisak tidak lagi bersuara.
Aku bisa merasakan intensitas pelukannya di tubuhku semakin erat hingga nyaris ku yakini bahwa kami akan bertahan seperti ini dalam waktu yang cukup lama. Dan aku tidak keberatan dengan posisi kami sekarang.
"Hidungmu, sudah sembuh?" Dia berbisik di telingaku dan aku mengangguk sebagai jawaban.
"Setahuku, ini belum jam pulang kantor tapi kenapa kau sudah mau menjemput Rey?"
Aku tidak mengerti efek dari orang patah hati akan sedahsyat ini sehingga mampu merasakan sebuah sentuhan hangat di puncak kepalaku. Bukan, bukan usapan dari sebuah tangan. Melainkan sebuah ciuman hangat dan lama.
"Aku ke sini untuk melihat kondisimu, bukan mau menjemput Rey."
Mataku mengerjap beberapa kali saat aku menyadari bahwa Abi sedang menaruh bibirnya di atas kepalaku. Aku tahu itu, aku bisa merasakannya benda itu hangat di atas kepalanu. Ciuman itu berasal dari dirinya, yang begitu lembut dan menenangkan. Lalu, aku bernapas penuh kelegaan saat mengingat rambutku sudah ku cuci tadi pagi.
"Aku sudah baik-baik saja," ucapku. "Kau tidak perlu cemas."
Abi memegang kedua pundaku, lalu menjauhkan tubuhku yang menempel di dadanya seperti lintah. kemudian mengusap air mataku yang ada di pipi.
"Aku tidak bisa untuk tidak mencemaskanmu," katanya. Dan kalimatnya itu membuat aku melayang-layang. "Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, lalu siapa nanti yang akan menjaga Rey? aku tidak menerima cuti dalam jangka panjang."
Setelahnya seakan sedang dijatuhkan dari ketinggian lima puluh meter di atas gedung. Aku terhempas, berceceran di tanah. Pria ini memang tidak dapat dipercaya.
Pantas saja istrinya bisa sampai selingkuh dengan pria lain.
***
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam tante, ini Ana."
"Oh sayang, apa kabar?"
Aku tersenyum samar saat ku dengar suara lembut tante Farida -ibu Ben- di sebe rang sana. Saat pertama kali Ben membawaku ke rumahnya dan memperkenalkan aku kepada seluruh anggota keluarganya, ibunya Ben langsung menyukaiku. Tante Farida adalah seorang wanita yang ramah dan lembut. Dia seperti sengaja datang di kehidupanku sebagai pengganti mami.
"Aku baik tante, tante sendiri bagaimana?"
"Tante masih sibuk dengan orderan jahitan. Ini masih ada beberapa baju yang belum tante selesaikan padahal minggu depan sudah akan diambil." Suara lelahnya begitu jelas terdengar. Tante Farida memiliki sebuah butik yang sebagian pakaian yang dia jual hasil dari jahitannya sendiri. Beliau bukan fashion designer seperti Sha, tapi hasil karyanya patut dibanggakan. "Aduh, tante jadi curhat begini, jadi ada apa, sayang?"
Aku tertawa kecil. "Tidak apa-apa tan, aku senang tante mau berbagi denganku. Gini tan, Ben ada di rumah? Sejak tadi sore ponselnya tidak bisa dihubungi."
"Loh, Ben tidak bilang kalau Ben pergi ke Bandung?"
Bandung?
"Oh tidak tante, Ben tidak bilang apa-apa. Jadi, Ben pergi ke Bandung?"
"Astaga anak itu." Tante Farida berucap jengkel tapi nada bicara yang lembut menyamarkan rasa jengkelnya. "Tadi sore Ben terlihat buru-buru sekali. Dia hanya bilang pada tante kalau mau pergi ke Bandung, ke rumah temannya."
"Oh, begitu. Ben pergi sendiri?"
"Sebentar," untuk beberapa detik tidak ada suara apapun. Dan pikiranku mulai melantur ke mana-mana. "Sayang, kau kenal Viona?"
Tubuhku menegang seketika. "Viona, temannya Ben?"
"Iya, temannya Ben."
"Oh, aku beberapa kali bertemu dengannya."
Kudengar tante Farida menghela napas lega. "Ben ke bandung bersama Viona."
Viona? Wanita itu lagi? Untuk apa Ben pergi ke Bandung bersama Viona.
"Hallo.. sayang... Ana.. kau masih di sana? Hallo.."
"Oh iya tante. Ya sudah kalau begitu aku tutup teleponnya."
"Iya, nanti kalau ada waktu main ke rumah, ada salah satu pelanggan tante yang menawarkan paket undangan pernikahan. Tante sudah lihat contoh-contohnya dan bagus-bagus. Siapa tahu kau dan Ben suka. Kalian belum mempersiapkan surat undangannya, 'kan?"
"Iya.. iya tante. Aku nanti ke rumah untuk melihatnya."
"Ya sudah kalau begitu."
"Ya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tapi sekarang ada yang lebih penting dibanding surat undangan pernikahanku dengan Ben. Aku harus menghubungi seseorang dan mulai merencanakan sesuatu. Tanganku dengan cepat mencari nomor ponsel Fay lalu menghubunginya. Dia satu-satunya orang yang bisa membantuku mengusut hal janggal yang sedang terjadi pada Ben.
"Ana!" Suara Fay terdengar nyaring. "Bagaimana keadaanmu darl? Hidungmu baik-baik saja?"
"Fay, Jangan bicara! Dengarkan saja! Penting!"