Bang Arsen berhenti melangkah, lalu berbalik padaku. Meneliti wajahku dengan seksama. "Wajahmu pucat," katanya penuh selidik. "Suamimu sudah bangkrut? sampai-sampai tidak mampu membelikanmu make up?" Cengiran lebar itu tercetak jelas di wajah bang Arsen.
Sepertinya, patah hatinya lumayan kronis. Karena biasanya bang Arsen tidak pernah berkomentar dengki seperti itu. Aku hanya berdecak, sambil lalu. Tapi juga kepikiran dengan apa yang dikatakan bang Arsen. Padahal aku memakai lipstik seperti biasanya. Dalam tiga tahun ini, aku tidak pernah mengganti warna lipstik. Masih setia di warna nude, atau pink salem. Tapi lipstik itu tidak pula menutupi wajah pucatku.