Sepasang heals berwarna putih tulang itu bertabrakan dengan marmer rumah mewah. Begitu sudah sampai diambang pintu, seseorang pelayan menyambut kedatangannya. Jasmine tersenyum manis ke arah pelayan itu.
Blus berwarna abu-abu yang melekat ditubuhnya hari ini, seakan mencerminkan pribadi dirinya yang menenangkan. Sudah hampir lima tahun pekerjaan ini Jasmine lakoni. Yaitu menjadi seorang guru privat bagi anak usia 5-6 tahun.
Dan kali ini, Jasmine memiliki tanggung jawab untuk menjadi seorang guru, bagi putri dari pengusaha kaya raya. Jonathan namanya
"Ana! Bu guru Jasmine sudah tiba." Itu suara Jessy –pengasuh putri dari Jonathan. Analisa Manohara nama lengkapnya, usianya baru menginjak 6 tahun. Namun sayang, diusia-nya yang masih dini, Ana harus menerima perpisahan antara ibu dan ayahnya
Yang dipanggil dengan sebutan Ana itu menoleh, wajahnya langsung merona bahagia. Kemudian gadis kecil itu, turun dari kursi meja makannya. Meninggalkan satu helai roti yang masih belum habis di atas piring
"Bu guru Jasmine!" Ana menghamburkan tubuhnya. Memeluk Jasmine yang baru saja tiba itu.
"Ana lagi sarapan? Ibu guru mengganggu,ya?" Jasmine menurunkan tubunya, agar posisinya dapat menyeimbangi tinggi Ana
Gadis kecil yang rambutnya diikat dua itu menggeleng, membuat rambut ikalnya bergerak lucu "Tidak kok. Ana senang, Bu guru Jasmine sudah tiba. Jadi aku bisa belajar bersama bu guru."
Jasmine tersenyum, mengusak kepala Ana dengan lembut. Mungkin masih sekitar satu minggu Jasmine mengajari Analisa. Tapi gadis imut ini, sudah sangat akrab dengannya. Syukurlah, jika Jasmine membuat Ana merasa nyaman.
"Ana. Habiskan dulu sarapannya." Jonathan yang sejak tadi sibuk, memandangi ipad-nya, kini bersuara. Dengan suara berat namun lembut. Jasmine lantas berdiri, menuntun Ana untuk duduk kembali di kursinya.
Terlihat, Jonathan meletakan ipad-nya di atas meja. Kemudian matanya menatap Jasmine. Wanita itu balas tersenyum, karena tidak mungkin, Jasmine bersikap dingin kepada Jonathan.
Laki-laki itu selalu memiliki aura yang membuat siapa pun merasa tegang, entahlah. Mungkin karena Jonathan memiliki iris mata yang sangat tajam.
"Ada hal yang ingin saya bicarakan. Kamu bisa duduk sebentar?"
Jasmine mengangguk, kemudian menggeser kursi di samping Ana. Gadis kecil itu terlihat sedang menyantap sarapannya dibantu oleh Jessy –pengasuhnya
"Saya sudah memberikan list, yang tidak boleh kamu lakukan. Selama kamu mengajari putri saya, bukan?"
Jasmine mengangguk, "Iya, pak. Saya mengerti."
Jasmine kembali mengingat, jika tampilannya kali ini, tidak ada yang berwarna hitam. Sesuai yang telah dianjurkan oleh Jonathan sendiri.
"Saya tidak mau. Karena kesalahan yang tidak seberapa itu, mampu membuat putri saya terancam bahaya." Katanya lagi, kini seraya menatap Ana di depannya. Sorot matanya terlukis sebuah rasa kasih sayang yang teramat besar
"Iya, pak." Jasmine mengangguk patuh. Meski dalam benaknya dia berpikir keras. Memikirkan alasan dari semua list yang tidak boleh ia lakukan itu.
"Ana, tidak suka warna hitam," celetuk Ana, yang baru saja meneguk habis satu gelas susu coklatnya.
Jasmine menoleh, bibirnya tersenyum menenangkan. sementara benaknya, dibuat terkejut. Karena baru saja Jasmine menemukan jawabannya. Ana tidak suka warna hitam, itu alasannya.
Jonathan bangkit, setelah memasukan ipad-nya ke dalam tas kerjanya. Laki-laki itu terlihat masih sangat muda. Jika disebutkan bagaimana Jonathan, mungkin akan terangkum dengan kata 'Hot Dady'
Semenjak perpisahan dengan istrinya. Jonathan tidak pernah menikah lagi, dirinya mengaku akan lebih fokus ke karirnya dan putri semata wayangnya.
Karena jika dilihat bagaimana pesona dari Jonathan, sungguh dia adalah pria yang sangat tampan, juga memiliki kekuasaan yang tinggi. Tidak mungkin, tidak ada perempuan yang menggilainya.
Jasmine sendiri, mana mungkin terpesona oleh Jonathan. Karena Jasmine sudah memiliki suami, tentu saja. Dan jika, Jasmine masih dalam keadaan lajang, mungkin iya. Dirinya akan terpikat dengan Hot Dady itu.
"Ayah berangkat kerja dulu. Ana, baik-baik di rumah bersama Bu guru Jasmine, ya!" Jonathan menghampiri Ana. Lalu menciumi pucuk kepalanya
"Ayah, jangan lupa. Nanti siang, kita makan bersama."
Jonathan tersenyum gemas "Ayah tidak lupa. Semua waktu ayah itu buat Ana."
"Tapi, ayah sering telat. Ana tidak suka!" Ana kelihatan tampak kesal dengan kebiasaan ayahnya. Maka dari itu, Jonathan berjongkok tepat di samping kursi yang sedang di duduki Ana
"Kalo nanti ayah telat lagi. Ayah siap, dihukum sama Ana."
Anak seusia Ana, mana mungkin akan mengerti tentang dunia orang dewasa. Jonathan sedari dulu tidak pernah memaksa Ana untuk mengerti. Tapi Jonathan berusaha, supaya Ana tahu jika urusannya adalah demi kebaikannya.
"Awas, ya! Nanti Ana akan rusakin ipad ayah!" mata bulat milik Ana memicing tajam.
Jonathan tertawa gemas. Meski kedengaran sangat mustahil, tapi ancaman itu sangat mengerikan.
"Iya. Kalau begitu, ayah pergi sekarang,ya. Ana belajar sama bu guru Jasmine, kalau ada apa-apa, minta tolong sama Eci, ya!"
Ana mengangguk, kemudian tersenyum. Sejauh ini yang Ana rasakan adalah bahagia. Bahagia memiliki seorang ayah seperti Jonathan. Dia sangat baik, seumpana super hero yang selalu siaga melindunginya.
"Jessy, tolong jaga Ana untuk keselamatannya, ya." Sebelum pergi, Jonathan memberi sebuah pesan, untuk orang yang dia percayai bisa membantu mengurusi Ana.
"Baik, pak," sahut Jessy tegas.
Kemudian, kedua kakinya melangkah. Meninggalkan ruangannya. Jasmine masih merasakan keberadaan Jonathan dalam pikirannya. Jadi sejak tadi, Jasmine memikirkan Jonathan?
Melihat sikap manis Jonathan, membuatnya merasa hidupnya terasa sakit. Kenapa dirinya harus dihadapkan dengan seorang laki-laki macam Chris –suaminya
"Bu guru!" Ana sedikit berteriak, memanggil Jasmine
"Ah—kenapa ?" Jasmine mencoba untuk tersenyum tenang, meski pada kenyataannya dia baru saja dikejutkan oleh suara melengking Ana
"Bu guru, melamun?"
Jasmine menggeleng "Tidak kok." Segera Jasmine mencari topik lain, " Ana sudah siap untuk belajar, hari ini?"
Gadis itu mengangguk "Siap dong!"
"Kalau sudah siap. Ayo! Kita mulai."
"Ayo!" Ana berdiri dari duduknya, dengan semangat yang membara. Dituntun oleh Jessy, Ana berjalan menuju ruangan berjalannya. Bersama Jasmine di samping kanannya.
----
Jasmine sempat dibuat kagum, oleh indahnya ruangan belajar Ana. Ini lebih bagus dari ruangan mana pun yang sempat Jasmine singgahi juga.
Jonathan memang sangat menyayangi putrinya. Ini terbukti dari caranya memberikan fasilitas untuk kehidupannya.
Ana sedang menunduk, di atas kursi belajarnya. Otaknya mungkin sedang fokus menulis angka. Beberapa kali, Ana terlihat mendesah. Mungkin dia merasa kesulitan untuk mencoretkan pensilnya untuk membentuk sebuah angka di atas bukunya.
"Ini kenapa, angka delapan sulit sekali ditulis. Bu guru, bisa bantu Ana tidak?"
Jasmine segera menghampiri, "Tidak apa-apa. Nanti juga Ana pasti bisa. Sekarang lihat bu guru dulu, ya!"
Dengan gerak pelan, Jasmine menuliskan sebuah angka delapan di bagian yang kosong pada kertas. Ana memperhatikan dengan seksama.
"Bu guru, kelihatannya sangat mudah. Kenapa Ana tidak bisa?"
Jasmine tertawa gemas, Ana benar-benar sangat lucu. Jika dirinya boleh meminta. Jasmine menginginkan seorang buah hati seperti Ana, nantinya. Tetapi, mengingat bagaimana keadaan pernikahannya. Keinginannya terasa sangat tidak mungkin untuk terwujud.
"Itu, karena Ana baru pertama kali. Nanti lama-lama, akan terbiasa. Ana pasti akan bisa."
"Benarkah?" Ana masih tidak yakin, kerena dia sendiri sudah merasa sangat putus asa
"Iya. Coba, lihat Bu guru sekali lagi, ya!" Jasmine kembali, menuliskan angka delapan di buku tulis milik Ana
Melihat bagaimana cara Jasmine membimbingnya, hati Ana menghangat. Bahkan matanya kali ini bukan menatap tangan Jasmine yang mencetak angka delapan. melainkan menatap bagaimana pesona Jasmine, tanpa disadari Ana tersenyum.
"Bu guru Jasmine sangat baik. Seperti ayah. Ana suka," kata Ana dalam hati
Perlakuan Jasmine mungkin bisa dikatakan, itu adalah sikap yang seharusnya Jasmine lakukan sebagai seorang guru. Tapi bagi Ana, itu lain.
Sampai saat ini, Ana belum pernah merasakan hangatnya seorang ibu. Mungkin mendapati perlakuan lembut dari Jasmine, membuat Ana merasakan hangatnya sentuhan dari seorang ibu.
"Ana bisa, kan? Sekarang coba, seperti yang Bu guru contoh, kan tadi."
Ana geming, dia tidak memperhatikan dengan jelas tadi. Pada akhirnya, yang hanya bisa Ana lakukan hanya tersenyum menampilkan sederet giginya.
"Kayanya, itu terlalu sulit buat Ana. Tapi bu guru ..." Ana menggantungkan kalimatnya. Membuat Jasmine bertanya melalui tatapan matanya
"Bisakah, bu guru menjadi mama Ana saja?"
Jasmine membulatkan matanya. Untung dia bisa mengatasi suaranya agar tidak menjerit. Jasmine bingung, harus menjawab apa. Jadi yang hanya bisa lakukan kali ini adalah, menatap Jessy yang baru saja masuk dengan satu piring buah-buahan.
Jessy sepertinya mendengar apa yang Ana katakan tadi. Karena ketika Jasmine menatapnya. Wanita itu sedang menahan tawanya. Dari sana, Jasmine mulai menyadari jika Jessy tidak bisa membantunya
"Tidak Ana," sahut Jasmine dengan nada lembut. Karena dia takut, akan menyakiti hati Ana
"Kenapa?"
Jasmine menarik napasnya. berusaha untuk tenang, agar bisa membuat Ana mengerti. Jika tidak semuanya terlihat sangat mudah. Apalagi perkara, dirinya untuk menjadi Mama gadis kecil itu.
Untuk melakukannya tidak sesederhana yang Ana pikirkan. Jasmine masih memiliki suami, dan Jonathan juga pasti akan keberatan.
"Untuk membuat Bu guru menjadi mama buat Ana. Ayah Ana, harus menikahi bu guru terlebih dahulu. Itu akan sulit."
"Tidak sulit kok. Nanti, Ana minta sama ayah, untuk menikahi Bu guru. Ayah pasti, tidak akan menolak permintaan Ana. Benarkan, Eci?" Gadis kecil itu beralih bertanya kepada Jessy. Yang kerap disapa dengan sebutan Eci itu hanya mengangguk seraya tersenyum masam-masam.
Sementara di sebelahnya. Jasmine mati-matian agar bisa menghadapi permintaan konyol bocah 6 tahun itu.