"Apakah kamu sudah yakin dengan Geisha?" tanya Elena pada Kavin.
"Iya Mam, aku merasa Geisha adalah gadis yang paling tepat," jawabnya.
"Tapi Mami nggak yakin sama Geisha, pasti dia akan membuat keluarga kita malu nantinya."
Elena berusaha untuk menggagalkan rencana pernikahan Kavin. Rencana yang Elena sendiri merancangnya. Namun dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Dia pikir Kavin tidak bisa menyelesaikan perintah ini, karena Elena tahu Kavin tidak mempunyai kekasih.
Tiba-tiba saja dia malah membawa Geisha ke rumah ini. Entah lah dari mana Kavin mengenal Geisha apalagi sejak kapan mereka menjalin hubungan. Elena benar-benar tidak tahu jika ternyata Kavin mempunyai kekasih.
"Sayang, ketakutan kamu terlalu berlebihan. Geisha harus banyak belajar dan setelah menikah dia juga akan terus belajar. Malah Geisha bisa ikut mendampingi Kavin sambil belajar kan, sayang."
"Tapi aku punya feeling yang nggak baik dengan gadis itu."
"Aku mohon, Mam. Mami harus kenal Geisha lebih dalam lagi," timpal Kavin
"Minggu depan kita adakan jumpa pers untuk mengumumkan pernikahan kamu," cetus Mahendra.
Elena hanya bisa menelan salivanya, bahkan tenggorokan dia terasa kering menghadapi situasi ini. Mahendra juga tidak mendukung dirinya seperti biasa, sepertinya Geisha bisa menarik perhatian suaminya.
"Aku yakin Geisha nggak akan mengecewakan, dia bisa menempatkan dirinya. Dan setelah menikah rencananya Geisha akan berhenti dari pekerjaannya. Dia akan kuliah hingga dia akan semakin layak mendampingi aku sebagai pewaris perusahaan."
Hemmmm, pewaris? Elena mencibir di dalam hatinya.
"Baiklah bulan depan, kamu menikah dengan Geisha."
Keputusan Mahendra membuat Kavin tersenyum lebar. Namun di dalam hatinya malah merasa sebaliknya. Dia tegang karena sebentar lagi sandiwara akan dimulai.
Sementara Elena tampak tidak bisa mengikhlaskan ini semua. Dia kesal dan marah, tapi berusaha untuk dia tahan
*
*
Sejak kepulangan Pangeran ke Indonesia, membuat hari-hari Shintia menjadi bersemangat. Kadang dia tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan Pangeran, membayangkan wajah tampan dan berwibawa-nya. Andaikan Shintia bisa memiliki laki-laki itu pasti sempurna lah hidupnya.
Karena Shintia sudah mengagumi Pangeran saat mereka duduk di bangku SMA, jadi sudah sangat lama Shintia memendam perasaannya sendirian. Sekarang umurnya sudah tidak lah muda harusnya mungkin Shintia sudah berkeluarga, bahkan mempunyai anak yang lucu. Namun saat Pangeran pergi ke luar negeri tiga tahun yang lalu, Shintia tetap setia menunggu. Walaupun dia tahu, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Pangeran.
Tiba-tiba handphone Shintia berbunyi, dengan tertera nama Kavin di layar. Entah untuk apa Kavin menghubunginya, tapi jujur, Shintia tidak mengingat masalahnya dengan Kavin lagi. Tepatnya sejak kedatangan Pangeran.
"Hallo," ucap Shintia setelah mengangkat telpon.
"Hallo, Shintia. Kamu sibuk?" tanya orang di seberang.
"Seperti biasa, Vin. Aku sibuk dengan pesanan gaun. Memangnya ada apa?"
"Aku ... Bulan depan aku akan menikah," ungkap Kavin.
Pernyataan Kavin membuat Shintia terdiam sejenak. "Oh. Aku ucapin selamat untuk kamu, Vin."
"Terimakasih."
"Shintia, bisakah kita bertemu?" lanjut Kavin.
"Tentu, kamu datang saja ke butik. Kamu tahu kan aku selalu stand by di sini."
"Tapi, aku ingin mengajak kamu bertemu di luar."
Entah kenapa Kavin masih saja memikirkan Shintia. Di dalam hatinya yang paling dalam, dia mengharapkan akan ada keajaiban. Namun terdengar hening dari orang di seberang telpon.
"Maksud aku. Setelah aku menikah, mungkin kita nggak akan bisa bertemu lagi. Aku ingin launch bersama kamu untuk terakhir kalinya," lanjut Kavin.
"Baiklah," putus Shintia.
"Terimakasih. Apa kamu mau aku jemput?" tanya Kavin.
"Nggak usah, Vin, kita bertemu di sana saja. Sudah ya, aku mau lanjut kerja lagi."
"Iya, sampai ketemu besok."
*
*
Terlihat Geisha duduk di sebuah taman. Dia baru saja bicara dengan orang tuanya dari sambungan telpon. Geisha ingin menceritakan tentang pernikahan dia dengan Kavin. Namun lidahnya mendadak kelu. Orang tuanya pernah berkata, Geisha harus sukses dulu baru memikirkan untuk menikah. Apalagi umur Geisha masih dua puluh tahun.
Kenyataannya sekarang dia harus menikah dan lebih parahnya dengan orang yang tidak dia cintai. Geisha dan Kavin, mereka tidak saling mencintai. Kenapa waktu seakan mendukung sekali sandiwara ini. Kavin yang dipaksa menikah dan Geisha butuh uang untuk membayar hutang-hutang pada rentenir.
Terdengar Geisha terisak dan sesekali menyeka air matanya. Harusnya Geisha sadar, semua ini terjadi tanpa bisa dicegah lagi. Geisha harus yakin jika mimpinya tidak lah berakhir di sini.
*
*
Terlihat Shintia berjalan ke arahnya. Kavin yang dari tadi sudah menunggunya sontak semringah. Namun senyum Kavin hilang saat mengatahui jika Shintia tidak sendirian. Terlihat Shintia berjalan bersama seorang laki-laki.
Shintia sudah berdiri di hadapannya dengan senyum manis yang sangat tampak bahagia. Sepertinya Shintia bahagia karena bersama laki-laki itu. Kavin tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Wajahnya redup menatap laki-laki yang juga di lihatnya bersama Shintia kemarin, saat Kavin mengikuti Shintia.
Siapa laki-laki itu? Pertanyaan yang juga Kavin pikirkan kemarin. Kenapa Shintia malah mengajaknya ke sini, bukan kah sudah Kavin katakan jika dia ingin bertemu Shintia. Hingga itu artinya dia tidak ingin ada siapapun selain mereka.
"Kenalin, Vin. Dia Pangeran," ujar Shintia memperkenalkan.
"Gue Pangeran," ucap Pangeran.
"Jadi ini sebabnya kamu nggak mau aku jemput?" tanya Kavin dengan pembicaraan berbeda.
"Maaf, Vin, aku mengajak Pangeran ke sini. Karena aku pikir nggak ada salahnya kan aku mengajaknya?"
"Sorry, kalau kehadiran gue mengganggu. Gue bisa cabut kok," ujar Pangeran tidak enak.
"Bagus lah kalau lo sadar," sahut Kavin.
"Ran, kamu mau ke mana?" tanya Shintia pada Pangeran yang beranjak dari tempat duduknya.
"Enggak apa-apa, aku tunggu di luar."
Pangeran sudah menghilang dari hadapan mereka. Terlihat Shintia menatap Kavin kesal, dia tidak mengerti kenapa Kavin bersikap seperti tadi. Bukannya dia bisa berteman dengan Pangeran, tapi dia malah mengusirnya.
Sementara Shintia tidak tahu bagaimana hati Kavin. Dia sudah menunggu Shintia di sini, dengan harapan mereka bisa bicara empat mata. Namun Shintia malah datang bersama Pangeran. Justru Kavin lah yang tidak mengerti kenapa wanita itu bersikap seperti ini.
Bukankah Shintia sangat tahu perasaan Kavin padanya, walaupun Kavin akan menikah. Namun tidak ada yang tahu tentang hal sebenarnya. Shintia memang tidak mengetahui jika Kavin tidak mempunyai perasaan apapun pada calon istrinya.
"Kenapa kamu membawa orang lain ke sini?" tanya Kavin tidak suka.
"Kamu kenapa sih jadi marah-marah seperti ini? Aku enggak enak sama Pangeran."
"Kamu mentingin dia, kenapa kamu nggak pernah mikirin perasaan aku, Shin?"
"Kavin, kamu bicara apa sih?"
Sorot mata Kavin tampak menyala seakan disiram oleh amarah. Kavin sangat benci melihat Shintia bersama orang lain, tapi Kavin lebih membenci dirinya yang bukan siapa-siapa Shintia. Kavin tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dia merasa sakit jika Shintia di miliki orang lain.
Bersambung ....