Sieghart menggenggam kotak berisikan pedang kecil itu dengan erat dalam kantongnya, berharap supaya kotak itu tidak bersuara ditengah-tengah perjalanan kereta kuda yang makin kasar. Wajah Viori terlihat tidak nyaman, sepertinya ia mabuk darat.
'Tubuh ini jadi makin lemah setelah sakit kemarin, padahal sebelumnya perjalanan ke ibukota tidak membuatku mual begini.'
Viori membayangkan kalau harus melakukan perjalanan seperti ini tiap kali mau bertemu dengan Mikhail di ibukota.
"Duchess, perlukah kita istirahat sebentar?" Sieghart terlihat khawatir, tidak hanya khawatir dengan keadaan Viori, tapi ia juga khawatir Lucius akan mengamuk kalau sampai tahu Viori merasa tidak enak badan setelah pergi dengannya.
Viori hanya bisa mengangguk pelan karena ia tidak ingin muntah di dalam kereta kuda.
"Rena. Hueeek.... minum." Viori memuntahkan seluruh makan siangnya di pinggir jalan. Padahal sebentar lagi mereka akan sampai di gerbang masuk daerah.
"Minumlah ini Duchess. Saya membelinya untuk jaga-jaga tadi." Sieghart menyerahkan sebuah botol kaca kecil berisi cairan berwarna kecoklatan.
Tatapan Viori seolah bertanya apa yang baru saja diberikan kepadanya, ia bahkan tak punya cukup energi untuk bicara.
"Ramuan untuk mabuk perjalanan, saya membelinya di ibukota." Sieghart ternyata lebih cerdik dari yang dikira.
Tanpa banyak bertanya Viori membuka tutup botol itu dan menenggaknya dalam satu kali tarikan napas. Rasanya tidak seburuk yang ia kira.
Ramuan itu membuat kerongkongan Viori terasa dingin, sepertinya ada daun mint didalamnya. Setiap hembusan napas yang masuk membuat tenggorokannya makin dingin, tetapi juga menghilangkan mualnya.
Kereta kuda sedang disiapkan kembali saat sebuah suara tiba-tiba menginterupsi mereka.
"Kakak!" Suara itu datang dari kejauhan, tetapi melihat bahwa hanya ada mereka yang berada di depan gerbang perbatasan, pastilah suara itu tidak ditujukan untuk penjaga gerbang, kan.
Sieghart yang tadinya masih berada di dekat Viori dan mengamatinya baik-baik secara cepat langsung menghampiri datangnya suara itu, sayang si pemilik suara sudah terlanjur mendekat.
"Apa yang kau lakukan disini?" Viori merasakan nada kepanikan dalam suara Sieghart
'Kakak? Kalau gadis itu memanggilnya kakak, berarti dia? Mathilda!'
Gadis itu berperangai ceria dengan gaun hijau muda sederhana, sambil menenteng apa yang terlihat seperti tanaman obat didalam keranjang anyam.
"Bagaimana kabar Duke? Apa tanggapan dia soal ramuanku?" Walaupun samar-samar karena mereka masih berjarak agak jauh dan banyaknya suara roda kereta kuda menghatam bebatuan di pinggir jalan, Viori bisa mendengar topik pembicaraan mereka.
Viori sejujurnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia merasa takut untuk berurusan dengan Mathilda yang merupakan pemeran utama. Ia tidak mau makin terlibat dengan plot utamanya.
Ia bisa merasakan tatapan mata Mathilda yang sekelibat menuju padanya, walaupun singkat Viori hampir tergidik ngeri karena wajah Mathilda yang penuh senyum untuk beberapa saat berubah dingin. Mathilda menatap Viori seperti menatap orang rendahan yang bahkan tidak pantas diperhatikan.
'Tunggu! Bukannya Mathilda seharusnya gadis baik-baik? Atau aku yang salah lihat?'
Viori kehilangan fokus untuk mengikuti percakapan mereka.
"Kenapa wanita itu masih hidup?" Dengan senyum yang lebar dan suara yang dipelankan, Mathilda lagi-lagi mencengkram dan menancapkan kukunya di lengan Sieghart sambil berbicara seolah adik yang senang melihat kakaknya yang jarang pulang.
"Tolong jangan sekarang, aku akan mengabarimu begitu aku bisa memanggilmu masuk ke istana." Wajah Sieghart juga tidak kalah tenangnya, ia berhasil mengembalikan tatapan wajah sabar dan terlihat penyayangnya.
"Apa duke tidak mau berterimakasih kepadaku setelah menyelamatkan nyawanya!?" Senyum Mathilda yang tidak cocok dengan perkataanya makin terlihat mengerikan.
"Mathilda... tenanglah, kalau kau mau rencana kita berjalan dengan mulus maka kau harus sabar."
Cengkraman tangan Mathilda akhirnya terlepas, ia maju dan terlihat ingin mendekati Viori, tetapi Sieghart menariknya menjauh sambil memandangnya dengan mata memohon. Sieghart menggeleng pelan sambil berharap Viori tidak menyadari percakapan mereka.
Mathilda balik tersenyum polos seperti yang biasanya ia lakukan, lalu sedikit membungkuk memberi hormat.
"Apakah ada masalah di rumah, Sieghart?" Viori punya banyak sekali pertanyaan, tetapi sepertinya tidak ada pertanyaan yang pantas dilontarkan tanpa membongkar fakta bahwa Viori mengetahui rencana pembunuhan Sieghart.
"Bukan apa-apa, Duchess. Adik saya hanya mengabari bahwa penginapan keluarga kami makin ramai setelah Duke membantu perluasan dan perbaikan bangunannya." Sieghart dengan cepat merubah ekspresinya dan memberikan senyum tulus berterimakasih.
Viori hanya menangguk pelan, bukan itu jawaban yang diharapkannya.
"Duchess! Saya ingin memberikan sesuatu." Ragu-ragu, Sieghart merogoh kantong celananya perlahan supaya pita yang mengikat kotak itu tidak terlepas.
Kotak itu persegi panjang, bewarna merah gelap, dengan sebuah pita hitam kecil yang mengikat satu sisinya. Didalamnya berisikan sebuah pedang hias kecil, mata pedangnya kecil dan mengkilap, sedangkan gagangnya dililit kepangan kain sutra warna-warni, dengan sebuah batu mulia warna merah terang ditengahnya.
"Saya menanamkan sedikit aura saya di batu mulia itu, jika Duchess berada dalam bahaya dan menggunakan pedang itu, kalung auror saya akan terhubung dan saya bisa melacak keberadaan Duchess." Sieghart menurunkan kerah bajunya dan menunjukan kalung auror yang tidak pernah Viori lihat sebelumnya. Di webtoon di deskripsikan bahwa kalung auror itu digunakan untuk melindungi Mathilda saat ia masuk ke kediaman Lucius nantinya. Kalung itu hanya rantai tipis bergantungkan kubus kosong yang nantinya akan terisi dengan mana orang yang dilacak. Seharunya itu berwarna merah muda seperti warna mana Mathilda, tetapi saat ini didalamnya berisikan mana warna merah terang -mana Viori.
"Jadi ini seperti GPS tracker..." Viori bergumam sambil menatapi pedang itu.
"Seperti apa?" Sieghart sebenarnya mendengar perkataan Viori, tetapi ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.
"Ah, bukan apa-apa. Berarti ini akan memberikan sinyal kalau aku berada dalam bahaya dan menggunakan pedang ini kan?"
Sieghart mengangguk yakin.
"Terimakasih. Aku sangat membutuhkan hal seperti ini." Walaupun sebenarnya Viori merasa membutuhkan alat perlindungan karena ia berada dalam bahaya rencana pembunuhan Sieghart, ia malah mendapat pedang dari Sieghart yang membuatnya terasa seperti paradoks.
Viori sepertinya ingin berkata lebih, tetapi melihat sinar sore yang makin pudar memancar dari belakang Sieghart, ia sadar bahwa sebaiknya mereka cepat kembali sebelum Lucius naik pitam.
Sieghart terlihat setuju dan segera membukakan pintu kereta kuda, ia juga menawarkan tangannya untuk membantu Viori menaiki pijakan yang tinggi.
Hari itu, lagi-lagi Viori menyaksikan pemandangan yang sepertinya sudah dilihatnya berkali-kali beberapa waktu belakangan ini.
Lucius dengan secangkir teh yang sudah dingin dan sebuah teko yang sudah kosong. Jas nya sudah dilipat rapih di sebelah sofa yang ia duduki, dan setumpuk kertas dokumen disebelah cangkirnya. Reinhard terlihat setengah tidur sambil berdiri sambil menggenggam sebuah buku berisikan jadwal Lucius hari itu. Sambil melewati Reinhard yang masih setengah tertidur itu, Viori bisa melihat bahwa jadwal hari itu dicoret dan dikosongkan.
"Kau sudah memberikan hadiah untuk Sieghart?" Lucius tidak terlihat marah sama sekali, yang justru membuat Viori bingung dengan reaksinya.