Hujan masih mengguyur di sebuah pedesaan sedari siang menyisakan seorang gadis yang sedang duduk di jendela kamarnya dengan secangkir teh hangat di genggamannya dan sebuah novel di pangkuannya. Tak seberapa, namun dapat menemaninya dalam sepi.
Kini, ia tak lagi memfokuskan tatapan pada novelnya, manik kembarnya memandang sendu keluar jendela, melihat bagaimana senja harus mengalah pada hujan yang mengguyur semua benda yang ada di bumi habis-habisan. Persis seperti takdir yang menimpanya.
Sebenarnya ia sudah lelah berada di posisi yang serba rumit. Ingin sekali rasanya ia menyalahkan takdir. Kenapa semua orang yang ia sayangi pergi begitu saja? Orang tuanya sudah lama meninggalkannya sebab kecelakaan maut dua tahun lalu. Kenapa dirinya tidak ikut pergi bersama orang tuanya waktu itu?
Orang yang sangat ia cintai serta sosok yang selalu membuatnya bersemangat untuk menghadapi kerasnya kehidupan, kini pun sudah pergi. Dia memilih cara bunuh diri sebab frustasi hanya karena seorang wanita yang memilih lelaki lain. Haha, bodoh sekali rasanya. Hanya karena cinta tak terbalas, adiknya rela mengakhiri hidupnya. Tanpa memikirkan orang-orang yang sungguh menyayanginya dengan tulus, keluarga yang juga butuh semangatnya untuk bangkit dari keterpurukan akibat ditinggalkan orang yang tersayang. Sekarang ia hanya tinggal bersama neneknya satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Agrh... Ia terus menggerutu dalam hati. Sesak rasanya, namun ia berusaha untuk tetap kuat. Senyuman terukir di wajahnya seolah kesedihannya telah usai, seolah sekarang ia bahagia.
Namun, tidak bisa dibohongi bahwa sedari tadi ia sudah ingin menangis sekeras yang ia bisa. Ia merasa sangat membutuhkan sandaran untuk bercerita. Tapi tidak ada yang peduli, ditambah lagi neneknya yang sedang sakit dan kini dirawat di rumah sakit. Ia merasa kehilangan harapan hidup.
Harus berapa lama ia merasakan penderitaan ini? Entahlah. Tak ada yang tahu perihal itu. Biarlah menjadi kehendak Tuhan.