Matahari bersinar terang, jalanan dipenuhi oleh banyak pengguna membuat kemacetan terjadi. Aku menatap lurus dan melihat kericuhan yang terjadi. Banyak yang tak mau mengalah, jelas-jelas lampu lalu lintas bewarna merah, tapi masih aja ada yang menerobos, dan melanggar. Indahnya kota ini. Lampu sudah bewarna hijau, aku mulai melajukan mobil dengan perlahan. Hari ini aku akan pergi ke sebuah kampung yang sangat terpencil. Kampung itu adalah tempat ku tinggal saat masih kecil. Namun aku sekarang tinggal di kota untuk merubah nasib sesuai keingingan orang tua ku. Dan juga ingin mencari pelaku pembunuh keluargaku. Kejadian itu masih terekam jelas di otak ku dan tak akan pernah di lupakan.
Betapa indahnya masa kecilku sebelum peristiwa itu menyerang, walaupun dulunya keluargaku adalah keluarga yang tak berkecukupan namun kasih sayang mereka sangat melimpah. Ibu adalah seorang malaikat bagiku, masih teringat jelas dirinya yang tak pernah marah kepadaku apapun itu permasalahannya. Cukup dengan omongannnya yang lembut membuatku terkadang merasa tak enak jika sudah melakukan kesalahan. Ibuku juga cantik, memiliki kulit bewarna sawo matang, mata sedikit lebih cipit, hidung mancung dan tubuh yang agak kurus. Namun dia tak hanya mengurusku, dirinya juga bekerja di ladang orang lain demi mendapatkan uang, membantu ayahku yang memiliki riwayat penyakit, dan terpaksa tak bisa bekerja keras.
Ayahku adalah seorang pahlawan bagiku. Saat dulu aku kecil, banyak orang yang mengejek ku gendut dan bodoh. Hem mengingat itu aku malu sendiri, ya dulunya aku sangat jelek, gendut dan hanya tau makan saja. Sampai-sampai jatah makan ayah terkadang diberikan kepadaku. Jika tidak diberikan ya aku menangis apalagi kalau masih lapar. Maafkan anakmu ini. Oh ya dulu pernah saat ada pameran di kampungku tentang robot-robotan, aku merengek untuk dibeli mainan robot itu, namun ayahku mengatakan,
"Nanti kita beli ya nak, ayah cari uang dulu baru kita beli." Dengan lembut, tanpa marah ayahku mengatakan itu. Namun aku tetaplah aku si gendut keras kepala. Dengan menangis sejadi-jadinya aku meminta untuk di belikan saat itu juga. Ayahku menghela nafas pelan sambil mengatakan besok pagi saat aku bangun, akan muncul robot yang ku inginkan. Tentu saja aku senang saat mendengarnya kemudian berlari ke tikar dan menyelimuti tubuhku, berharap hari segera berlalu.
Aku tertawa saat mengingat hal itu sebab saat aku bangun robot-robotan itu memang beneran muncul. Ternyata robot-robotan itu ialah ayahku sendiri dengan memakai kostum yang terbuat dari kardus beserta panci alat masakan. Kalau gak salah ingat waktu itu aku agak ngambek namun kembali senang saat ayah merayuku. Begitu indah bukan masa-masa itu? Mungkin tak akan bisa diulang kembali, hanya sisa kenangan saja. Aku melihat jam di tanganku sudah pukul lima sore, berarti aku sudah berkendara selama kurang lebih dua jam. Berhenti sebentar untuk mengisi minyak mobil. Seperti nya besok aku baru sampai ke kampung, untuk malam ini aku akan cari penginapan saja. Mencari-cari penginapan yang bisa ku tempati satu malam saja.
Melangkahkan kaki masuk ke dalam sebuah penginapan yang tak terlalu besar, memesan satu kamar. Dan resepsionis memberikan kunci kamar. Berjalan ke kamar tujuannya, membuka pintu yang terkunci. Lumayan tak terlalu besar namun nyaman untuk ditinggali. Dirinya mengambil foto yang ada dalam saku celananya. Memandang foto keluarganya sampai tak sadar mata nya mulai terlelap.
Pagi hari, Kenzo berjalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Dirinya membeli sedikit perlengkapan yang akan di bawa ke kampung. Beberapa baju dan celana, tas kecil dan juga beberapa makanan. Membawa itu semua ke kasir dan membayarnya. Kembali ke hotel dimana tadi malam dia tempati. Keluar dari hotel dan kembali mengendarai mobil menuju kampung yang di tuju. Waktu terus berlalu, tak terasa sudah kembali siang dan dirinya telah sampai di kampung masa kecilnya. Sekarang dia hanya tinggal mencari rumahnya dulu. Agak terpelosok dari sini, dekat sawah. Dia menatap sekeliling sepertinya tak banyak berubah. Hanya saja sebagian rumah udah di bangun menggunakan tembok, kalau dulu masih menggunakan bambu. Jalanan juga hanya sebagian yang diaspal, kalau masuk kedalam semakin tak teraspal. Jalan berlubang dan berbatuan tetap menjadi cri khas kampung ini. Nama kampungnya ialah KAMPUNG LOBANG. Sama seperti namanya, kampung ini berlobang-lobang. Dia sudah melihat sebuah rumah bambu kecil di dekat sawah. Beberapa masyarakat menatap mobil miliknya, mungkin masih bingung siapa pemilik mobil ini.
Dia turun dari mobil dan tersenyum menatap semua masyarakat yang menatapnya. Berjalan masuk kedalam rumahnya, namun dia di tahan oleh seorang pria paruh baya.
"Mas, jangan masuk kerumah itu. Ada pemiliknya tapi gak tau kemana sampai sekarang."
Tetap tak ada perubahan, penduduk kampung ini masih menjaga dan tak menelantarkan siapapun, lihatlah mereka tak mengijinkan masuk siapapun kerumah ini, walaupun mereka tak tau dimana pemilik rumah tersebut. Aku tersenyum menanggapi hal itu, mengulurkan tanganku kepada pria itu dan berkata,
"Iya saya tahu pak, kenalin saya Kenzo Alastor, cucu dari pemilik rumah ini." Bisa ku pastikan semua orang kaget mendengar pernyataan ku ini. Ntahlah sampai ada yang menggelengkan kepalanya, bahkan tak percaya.
"Ah yang bener? Seingat saya Kenzo itu gendut."
"Masa mas ganteng ini Kenzo sih, gak mungkin lah ya!"
"Kenzo kw ini mah!!!"
Agak lucu rasanya saat semua orang tak percaya dengan ku, apalagi mereka bilang aku ini kw. Sejelek itukah aku dulu. Kemudian aku mengambil foto yang berada di dalam saku celana ku dan menunjukkan pada mereka. Lagi-lagi mereka kaget dengan foto yang ku perlihatkan. Meminta ijin untuk pergi kedalam rumah, dan di iyakan oleh pria tua itu. Aku melangkahkan kaki satu demi satu. Kejadian saat kecil terputar kembali dimana aku berlari tak mau mandi dan ibuku mengejar di perkarangan rumah ini. Mulai masuk ke teras rumah, ada bangku kayu milik ayah dan kakek. Dulunya mereka selalu minum kopi sambil baca koran. Membuka pintu rumah dan melihat ruangan kecil yang tak terlalu padat barang, hanya ada sebuah lemari tua, tikar dan beberapa bangku beserta meja tua. Meja itu biasa kugunakan untuk menggambar, dan terlihat beberapa kertas tersusun rapi di tumpukkan buku dan koran. Berdebu, aku meniup debu itu dan mengambil kertas berisi gambaranku. Terlihat gambaran jelek yang ku buat dulu. Gak terlalu banyak sih, karena aku menggambar jika sedang marahan dengan temanku saja. Aku kembali berdiri dan berjalan ke ruangan lainnya. Dapur kecil, tempat dimana nenek dan ibuku memasak. Aku ingat ubi rebus kesukaanku apalagi jika di cocol dengan bumbu khas buatan nenek.
Ibuku masih muda, karena dulunya ayah dan ibu menikah dini berumur 16 tahun dan aku lahir saat ibuku berumur 18 tahun. Dan ayah baru berumur 19 tahun. Jadi bisa dikatakan sekarang jika orang tuaku masih ada, umur dan wajahnya tak akan terlalu tua, miriplah dengan ku hahaha. Berjalan kembali ketempat ruangan keluarganya tadi. Duduk di kursi dekat meja, meletakan foto tersebut dan memasukkan kedalam bingkai yang telah dibelinya tadi. Meletakan ketas meja dan memandangi dengan lama.