Perempuan yang masih menelungkup di atas tempat tidur itu terbungkus sempurna oleh selimut berwarna oranye dengan motif kepala Hello Kitty yang bertebar di seluruh penjuru selimut.
Sesuatu yang berat tiba-tiba berada di atas punggung perempuan itu. Lamat-lamat ia dapat merasakan sebuah dengkuran halus menelusup ke indra rungunya. Karena masih enggan untuk sekadar membuka mata, sosok di dalam selimut membiarkan sesuatu yang berat itu berada di atas punggungnya lebih lama.
Selang beberapa menit, ada gerakan dari makhluk itu menuruni punggung. Lalu dengan suara yang lantang, ia mengeong tak henti-henti. Mau tak mau si pemilik buntelan bulu pun akhirnya harus terbangun.
"Kenapa?" tanyanya dengan suara khas orang bangun tidur. Kedua tangannya bergerak menyingakap selimut yang masih menutupi seluruh tubuh dengan perlahan.
Suara mengeong yang tak kunjung berhenti, membuat perasaan sang majikan menjadi sedikit cemas. Ditambah kehadiran kucing berwarna oranye bercampur putih itu hanya sendirian. Di mana satunya?
"Kimnar, di mana Sinnar?" Perempuan itu mengatur posisinya menjadi duduk.
Kucing bernama Kimnar itu hanya terus mengeong, tetapi semakin keras, membuat sang majikan menjadi lebih panik.
Tubuhnya ia geser sampai ke tepian ranjang lalu memutar 90 derajat hingga kedua kakinya berhasil menyentuh lantai. Langkah kaki ia tunjukkan untuk mendekati kucing berbulu oranye bercampur putih yang masih mengeong, tapi kucing itu malah berlari keluar, meninggalkan majikannya yang masih di dalam kamar.
Merasakan sebuah keganjilan. Perempuan bertubuh ramping itu berlari mengejar kucingnya.
"May, kamu sudah bangun?"
Tak menghiraukan pertanyaan bundanya, perempuan yang dipanggil May itu memilih berlari keluar rumah untuk mengikuti jejak dari kucingnya, Kimnar.
May langsung berlari ke arah jalan aspal yang ada di depan rumahnya, sebab kucingnya mengeong keras di sana.
Apa boleh dikata. Seketika tubuh May langsung lemas tak bertenaga. Seluruh tulangnya seolah telah lolos dari tubuhnya yang ramping. Seluruh tenaganya seakan tersedot ke sebuah lubang gelap yang menyakitkan.
Netranya hanya tertuju pada sesuatu yang teronggok di tengah jalan raya, tepat di samping Kimnar yang masih mengeong.
Sesak dan sakit menjadi satu kala melihat hewan yang disayangi telah meregang nyawa, dan kini ia hanya tergolek tanpa ada ruh yang melekat di jasad.
Mata yang sudah sejak tadi memanas, akhirnya tak kuat lagi untuk membendung air mata yang minta dibebaskan. Bulir-bulir bening itu terjun bebas di pipinya. Sementara dirinya menguatkan diri untuk melihat lebih jelas sang kucing malang yang telah tiada.
"Sinnar," lirih May diiringi isak tangis. "Sinnar ... Sinnar nggak boleh pergi ...." May menangis makin menjadi. Derai air mata yang keluar semakin banyak manakala melihat bagian kepala Sinnar berlumuran darah.
Mata perempuan itu terpejam, mengalirkan bulir bening yang menjadi pelampiasan rasa sedih yang cukup dalam dari hatinya. Bahunya bergerak naik turun diiringi dada yang rasa kembang kempis karena sesenggukan yang mendera.
"Ya Allah, Sinnar!" Bundanya May terkejut melihat pemandangan yang cukup menyedihkan, namun yang paling menyedihkan saat melihat putri semata wayangnya menangis terisak-isak tak jauh dari mayat Sinnar.
Aristika---Bundanya May yang akrab disapa Tika, langsung melihat ke arah sekitar yang sudah sepi. Setidaknya ia bersyukur karena tangisan May tak memancing penghuni kompleks yang lain untuk keluar.
Tika berlari masuk ke dalam rumah untuk mengambil kain yang tak terpakai sebagai pembungkus mayat Sinnar kelak. Saat sudah di samping May, Tika langsung memeluk anaknya dengan cukup erat. Mencoba menenanangkan anaknya untuk berhenti menangis.
"Kamu masuk dulu, tidak enak jika ada orang yang lewat di jalan dan melihatmu seperti ini," ucap sang bunda sembari mengusap punggung putrinya.
Tika membantu May berdiri lalu membawanya untuk duduk di kursi yang ada di teras. Baru setelahnya ia membawa mayat Sinnar dengan kain yang ia bawa, diikuti Kimnar yang sedari tadi duduk di samping mayat Sinnar.
Melihat kepala Sinnar yang sudah tak berbentuk, Tika yakin jika kucing malang itu adalah korban tabrakan dari kendaraan.
"Bun, bi--biar May yang ngu--burin." Jeda sesaat saat May berusaha mengontrol dirinya agar berhenti menangis, "ma--yat Sin--Sinnar," ucap May dengan terbata-bata karena ia gagal menguasai dirinya, ditambah tangisannya yang sesenggukan, membuatnya sulit berkata.
"Kamu, yakin?" tanya sang bunda. Melihat May yang terlihat sedih berat, Tika tidak yakin jika putrinya akan sanggup.
May mengangguk mantap sembari mengusap air mata. Langkah kaki gontai itu berjalan menyusuri pekarangan rumah, tangannya sejak tadi gemetar memegang tubuh kaku Sinnar yang terbalut kain jarik yang sudah dipotong. Ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil nan kaku itu, tapi ia juga tak kuasa untuk melakukannnya.
"Sinnar ...." lirihnya saat meletakkan tubuh kaku kucing di atas tanah.
Segera ia mencari cangkul untuk menggali kuburan Sinnar. Selama prosee penggalian, memori tentang Sinnar terputar rapi di ingatannya. Membuat air mata yang tadi sempat reda kembali mengguyur pipi, membuatnya harus mengusap hidung dan matanya berkali-kali.
Setelah sudah digali cukup dalam dan sedikit lebar, May meletakkan mayat Sinnar ke dalam tanah galian. Lalu menguburnya cepat-cepat. Ia sudah tak sanggup harus berusaha kuat seperti ini.
Perempuan dengan surai hitam itu hendak pergi meninggalkan makan Sinnar, namun urung karena Kimnar yang tiba-tiba mengeong-ngeong di atas pusara Sinnar. Mencoba menggali kembali tanah yang baru saja menimbun tubuh saudaranya.
"Kimnar jangan ..." Tangan May langsung menyambar tubuh berbulu Kimnar dan membawanya berlari masuk dengan air mata yang kembali mengalir dari sudut matanya.
Tika yang melihat ikut sedih. Bagaimanapun Sinnar dan Kimnar adalah kucing yang selalu menemani May semenjak kelas 3 SMA. Kenangan yang terukir selama 4 tahun lamanya tentu membuat May menjadi sangat terpukul saat harus kehilangan salah satu diantara mereka.
Kimnar dan Sinnar memang bukan kucing ras yang memiliki bulu lebat atau panjang, melainkan hanya kucing kampung berwarna oranye dengan campuran warna putih yang menyebar keseluruh tubuh. Walau begitu, May sangat menyayangi dan rajin memandikannya seminggu sekali.
Di dalam kamar, perempuan bertubuh ramping itu kembali menangis. Ia meraung keras-keras karena ditinggal oleh Sinnar secepat ini.
Bayangan-bayangan tentang Sinnar dan Kimnar yang biasanya berlarian, berguling, bermain, dan berebut makanan masih terlihat jelas di matanya. Kamar yang tak terlalu luas menjadi saksi bisu kebersamaan mereka. Kini, hanya ada Kimnar dengan dirinya yang sama-sama dilanda kesedihan.
Terlihat Kimnar yang tengkurap di atas selimut yang biasanya digunakan oleh Sinnar untuk tidur. Raut wajahnya terlihat sedih meski ekspresinya tak sesedih manusia. Namun, dari sikapnya yang diam dan terlihat murung, kucing betina itu sedang merasa sedih.
May ikut menjatuhkan tubuh di samping Kimnar, lalu memeluk erat si kucing beserta selimut yang biasanya digunakan oleh Sinnar untuk tidur.
"Sinnar! Siapa yang tega menabrakmu?" lirihnya. "Kamu salah apa, sampai Allah memanggilmu dengan cara yang tragis?" isaknya.
Bayangan bagaimana kondisi memilukan Sinnar terekam jelas di otaknya. Sinnar yang kepalanya sudah tak berbentuk dengan darah yang menggenang di sekitarnya, membuat May harus menguras air mata lebih banyak lagi.
"Sayang ... aku nggak rela kamu pergi. Aku masih pengen bersama kamu, Sin ...," desisnya.
"Sinnar ... Sinnar ... Sinnar ....," lirih May sebelum netra cokelatnya terkatup, menuntun sang pemilik untuk menyelami dunia mimpi.