Setelah sukses kabur dari kejaran Pak Santoso, mereka menjatuhkan tubuhnya di koridor aula sekolah dan berusaha mengatur napas nya yang terengah-engah. Tangan Dimas terulur meminta tas nya yang dibawakan Arya.
"Mana tas gue," tanya nya.
Arya memberikan semua barang-barang milik temannya itu.
"Untung gue bawa kaos. Nggak mungkin banget balik pakek baju basah kayak gini," ujar Dimas sambil mengacak-acak tas nya.
"Gue juga," imbuh Arya.
"Niat nya sih kita mau langsung ke pasar. Beli apa itu barang-barang aneh buat besok," jelas Dimas.
Alga hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Lo sendiri udah nyiapin semuanya buat besok?" tanya Arya pada Alga yang kemudian menggelengkan kepalanya.
"Santai bener lo jadi orang," komentar Dimas.
Alga terkekeh. " Buat apa memperumit hal yang sederhana?"
Dimas menghentikan aktivitasnya untuk mengambil kaos dari dalam tas nya. Arya pun begitu dan malah menatap Alga dengan intens.
"Eh, besok kita harus bawa telur tentara, air zam-zam, permen dangdut, biskuit Ade Rai, permen maksiat, kacang China, dodol sapi," ujar Arya.
menggebu-gebu yang malah membuat Alga semakin tertawa.
"Si kambing. Malah ketawa," gerutu Dimas.
"Kalian sadar nggak sih, apa itu telur tentara sekaligus tetek-bengek nya?" tanya Alga masih sibuk menahan tawanya.
Arya dan Dimas dengan kompak menggelengkan kepalanya.
"Emang lo tau," tanya Dimas.
"Tau lah," jawab Alga menyombongkan diri.
"Emang menurut lo apaan?" tanya Arya.
"Sini. Saya bisikkin." Alga meminta kedua sahabatnya untuk mendekat dan mereka pun merapat. Dengan pelan Alga berbisik menjelaskan semuanya.
"Oh," komentar Dimas setelah dirinya paham.
"Ribet, ya. Kayak cewek," rutuk Arya.
Alga mengangguk lagi dan masih bersama tawa nya.
Dimas kembali menarik kaos dari dalam tasnya. "Nih." Ada dua kaos di tangannya. Dan satunya ia berikan pada Alga.
"Pake aja, daripada masuk angin," ujar Dimas sambil melepas kemeja putih nya dan segera menggantinya dengan kaos.
Alga malah terpaku diam. Tidak mungkin ia mengganti pakaiannya sedang di tubuh nya terdapat tabung insersi drainase juga selang yang terpasang di dadanya untuk menguras mukus berlebih dari saluran pleura. Ia tidak ingin semua orang tahu itu.
"Eh, nggak usah. Rumah saya tidak jauh dari sini," dalihnya kemudian. Ia mengembalikan kaos itu kepada Dimas.
"Oke," putus Dimas tidak terlalu mempermasalahkan.
"Pake aja kali. Santuy aja kalo sama kita mah," timpal Arya.
Arya berdecak. "Masuk angin lo ntar."
Alga diam sambil menatap Arya dengan tatapan datar nya.
"Ya kali lo mau basah-basahan," lanjut Arya.
Oke. Alga bangkit dari duduknya dan berlalu masuk kedalam aula yang kosong.
"Kenapa harus masuk ke aula, coba? Gue nggak bakalan nafsu sama badan kurus kayak lo!" seru Arya begitu cerewet.
Alga hanya membalas dengan menatap Arya tanpa ekspresi.
"Dia punya buah dada kali. Hayo! Ngaku lo, Ga," sambung Dimas mulai jahil.
Alga masih diam sampai dirinya selesai mengganti kemejanya yang basah dengan kaos yang Dimas berikan. Ia sempat termangu saat melihat kulit di perutnya membiru. Lebih terlihat memar. Mungkin efek dari selang CDI yang harus terus menancap kedalam tubuhnya.
"Ngaco," sahut Alga setelahnya sembari berjalan keluar aula.
Dimas berdiri dan merangkulnya. "Bercanda doang, santuy," ujarnya. Kemudian di susul dengan Arya yang tiba-tiba mencetuskan sebuah nama "GGS."
"Apa tuh?" tanya Alga sukses dibuatnya penasaran.
"Ganteng-ganteng santuy," jawab Arya kemudian nyengir kuda.
"Boleh deh," respon Dimas terkekeh geli.
"Iya deh," tambah Alga dengan ringan.
Mereka berjalan menuju tempat parkir. Kemudian sama sama melesat setelah mengambil motornya.
***
Dimas menghentikan laju motornya tepat di depan rumah Alga yang jauh dari kata mewah.
"Ini rumah lo?" tanya Dimas setelah mengedarkan pandangannya pada bangunan yang hanya tersusun seadanya.
Alga mengangguk. "Iya, mau mampir?" tawarnya.
"Besok kita mampir" jawab Arya tanpa ragu. "Kebetulan rumah gue sama Dimas juga nggak jauh dari sini," lanjutnya.
"Oke. Di tunggu," sahut Alga.
"Yaudah, kita pamit yah. Takut keburu sore, entar emak gue ngomel lagi," ujar Dimas.
"Iya nih, gue juga," tambah Arya.
"Yo. Hati-hati," balas Alga. Kedua temannya berlalu pergi dan ia melambaikan tangannya.
Alga menghela sejenak. Lantas masuk ke dalam rumah sederhananya.
"Assalamu'alaikum," salam nya sambil membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam," sahut ibu dari arah dapur.
"Aku pulang, bu". Alga mencium punggung tangan ibu nya.
"Ya sudah. Kamu mandi ibu siapin makanan buat kamu," ujar ibu.
"Doni kemana, bu?" tanya Alga sambil menaruh sepatunya.
"Lagi main sama temen-temennya," jawab ibu.
Alga mengangguk-anggukkan kepalanya. Jujur saja ia kerap merasa iri dengan saudara-saudara nya yang terlahir normal dan bisa menjalani hidupnya tanpa perlu menggantungkan nya pada alat-alat medis yang setiap hari, setiap menit, bahkan setiap detik harus selalu terpasang. Ia berlalu masuk kedalam kamarnya dan bersiap-siap untuk membersihkan tubuhnya setelah seharian beraktivitas. Kemudian kembali setelah menggosok tubuhnya dengan sabun.
Terlihat bapak baru saja pulang dari kerja nya saat ia melewati dapur menuju ruang tengah dan masuk ke dalam kamarnya. Dengan handuk yang hanya melilit di pinggang nya, ia menatap tubuhnya melalui cermin yang memperlihatkan langsung terdapat beberapa bekas luka jahitan dari alat insersi drainase yang harus terpasang di dalam dada nya. Ada lebam biru di sekitar selang yang menempel di perut nya.
Alga segera mengenakan pakaiannya dan menghampiri ibu. Namun langkah nya harus terhenti saat tanpa sengaja mendengar obrolan bapak dan ibu soal pekerjaan bapak yang hari ini tidak mendapat sepeserpun uang dari hasil kerja nya seharian. Ia menghela napas panjang sekaligus mengurung niat nya untuk memberitahu pada ibu mengenai luka nya itu. Ah, rasa nya ini terlalu membebani bapak dan ibu.
Obrolan dari bapak dan ibu sudah tidak terdengar lagi. Rupanya bapak berlalu masuk ke kamar nya sebelum kembali lagi menuju dapur untuk menikmati masakan ibu.
"Bagaimana sekolah mu?" tanya bapak yang duduk di sebelah Alga.
"Lancar jaya, pak," jawab Alga sekenannya.
Bapak kembali diam dan lanjut menikmati teh tawar hangat yang ibu buatkan.
"Pak," panggil Alga.
Bapak langsung menoleh.
"Aku sekolah di situ apa biaya nya ndak kemahalan? Menurutku, sekolah itu terlalu bagus kalo buat aku, pak."
Bapak menarik napas nya kemudian menghela panjang. "Sudah. Ndak perlu kamu pikirkan. Biar itu jadi urusan bapak sama ibu. Tugas kamu cukup belajar."
Mendengar jawaban bapak yang sejak dulu selalu sama Alga memilih diam. Sampai ia selesai makan dan berlalu masuk ke dalam kamar nya.
"Aku ke kamar dulu, Pak. Mau nyiapin alat-alat buat besok," ujar nya sebelum pergi dan bapak hanya mengangguk saja.
Pandangan ibu beralih pada bapak serta menatap nya penuh makna dan bapak hanya menghela saja.