Tubuh nya sedang terbaring di atas rerumputan hijau taman pekarangan rumah sakit yang begitu luas. Alga melemparkan pandangan nya pada Gigi. Andai masih ada Bagas, pasti sahabat kecil nya itu tidak akan pernah lagi merasakan kesepian saat harus di tinggal nya pergi. Ia kembali menegakkan tubuh nya.
Sejenak, Alga mengingat sahabat nya itu yang telah lama meninggal karena tumor total yang di derita nya sejak usia empat tahun. Tapi hanya sampai usia sepuluh tahun Bagas bisa bertahan dan harus pulang. Itu yang membuat reda dari rasa sakit nya.
"Kamu kenapa?" tanya Eiryl duduk di samping nya usai bermain dengan beberapa anak pengidap kanker.
"Nothing." Alga menggeleng.
"Sure?" Eiryl tidak begitu percaya.
"Menurut mu?" Alga berbalik bertanya.
"Ada sesuatu," tebak Eiryl. Kemudian tangan nya memasukkan potongan buah kiwi ke mulut Alga.
"Cuma lagi kangen sama sahabat ku," jawab Alga kemudian setelah menelan buah kiwi yang Eiryl berikan.
"Siapa?"
"Bagas." Alga menatap Eiryl dengan tatapan sendu nya.
"Emang dia kemana?" tanya Eiryl hati-hati.
"Meninggal. Enam tahun yang lalu. Karena tumor otak."
Eiryl tertegun. Pasti rasa kehilangan itu begitu dalam Alga rasakan.
"Nggak apa-apa. Nanti juga kalian ketemu lagi di surga," ujar nya tersenyum tulus.
Alga hanya mengangguk saja. Kemudian pandangan nya kembali tertuju pada Gigi. Sahabat nya itu masih asik bermain dengan anak-anak kecil yang harus merasakan sakit nya kemoterapi.
"Kamu sayang banget, ya, sama Gigi?" Eiryl ikut menatap Gigi.
Alga mengangguk. "Kalo nggak ada dia, mungkin aku udah nggak betah di rumah sakit."
Cowok kurus yang sedang ia bicarakan kemudian berjalan menghampiri nya dan Eiryl. Dengan tongkat nya ia berjalan tertatih.
"Buat gue mana?" tanya Gigi sesampai nya duduk di samping Eiryl.
Eiryl tertawa kecil. Kemudian menyuapi Gigi dengan potongan buah melon dari kotak makan yang di bawa nya.
"Temen lo, temen gue juga, kan?" ujar Gigi pada Alga dan di angguki penuh setuju oleh sahabat nya itu.
"Berarti pacar lo, pacar gue juga," lanjut Gigi membuat Alga menolehkan kepala nya pada Eiryl.
"Gue sama Alga nggak pacaran, Gi," sela Eiryl.
"Bohong, ah!" Gigi menyangkal nya.
"Pacaran, kan?" desak nya masih berlanjut.
"Nggak," elak Eiryl.
"Bohong!" Gigi masih menyangkal.
"Iya," sahut Alga. "Saya pacaran sama dia," lanjut nya membuat Eiryl terbelalak.
Gadis itu merasa terjebak dalam satu hal yang paling tidak mungkin untuk ia jalani. Gigi adalah Gigi dan Alga adalah Alga. Bahkan dua cowok di depan nya ini bukan sepasang saudara kembar. Tapi kenapa sikap Gigi sampai seperti ini?
"Jadi, Eiryl pacar gue juga," ujar Gigi.
"Kalo dia mau," Alga memeletkan lidah nya pada Gigi.
Ah, bagaimana mungkin, Alga selalu bisa tampil slow meski sedang bermasalah?
"Harus mau. Mau nggak mau," paksa Gigi.
"Nggak bisa gitu, dong. Hati gue bukan mainan!" seru Eiryl kesal.
"Bercanda, Li," ujar Alga mengambil jalan tengah. Meski sebenar nya ia tahu jika Gigi sedang tidak bercanda saat mengatakan hal itu.
"Candaan kalian nggak lucu tau nggak!" geram Eiryl segera bangkit berlalu meninggalkan Alga dan Gigi di tempat nya.
Alga menatap Gigi. Andai bukan karena sahabat nya, ia pasti sudah melayangkan tinju nya pada cowok konyol di depan nya ini.
"Gue atau lo, nih, yang kejar dia?" tanya Gigi.
Alga masih diam menatap nya.
"Oh iya, kita berdua, kan, pacar nya. Jadi kita kejar sama-sama aja," lanjut Gigi.
"Gi, selama ini saya nggak pernah ganggu kamu. Jadi cukup, berhenti untuk bertingkah gila," peringat Alga.
"So what?" Gigi malah tertawa masam.
"Saya nggak suka cara kamu."
Gigi memalingkan wajah nya. "Inget, Ga. Kita pernah janji buat nggak pacaran. Supaya kita nggak sibuk sama orang lain dan bisa saling menemani. Tapi, apa? Lo ingkar, bro!"
"Saya sama Eiryl belum pacaran," tegas Alga.
"Belum?" ulang Gigi.
"Saya heran, semalam kamu bilang kalo Eiryl menunggu kepastian dari saya. Tapi kenapa siang nya kamu seperti ini?"
"Gue cuma nguji lo. Dan lo__" Gigi tidak mampu melanjutkan ucapan nya. Ia melenggang tidak menyangka. "Gue muak sama lo!" tandas nya berusaha untuk bangkit.
Alga menghela berat. Melihat Gigi yang kesulitan untuk bangkit, ia bergerak untuk membantu nya. Namun Gigi malah menepis tangan nya dengan kasar. Dan sekarang, diri nya hanya bisa menatap kepergian Gigi.
***
Alga melangkahkan kaki nya cepat-cepat sebelum Eiryl pergi lebih jauh. Ia yakin gadis itu sedang menuju ke kamar nya untuk mengambil barang-barang yang di tinggal nya disana.
Iris cokelat nya menatap pintu lift dengan tidak sabar. Ah, sial! kenapa rasa nya lama sekali?
Buru-buru ia berlari ke arah tangga darurat. Menaiki tangga itu dengan cepat meski napas nya tersengal. Ia ingin menjelaskan sesuatu pada Eiryl. Sampai rasa sesak itu harus ia tahan kuat-kuat hingga langkah nya tiba di lantai lima.
Namun dari sudut koridor yang di pijak nya menatap ke arah lift dan pandangan nya terpaku pada Eiryl yang sedang menunggu pintu lift terbuka. Alga tidak memedulikan rasa sesak yang seketika membuat nya terbatuk-batuk.
"Li!" panggil nya tertahan dan terus melangkah.
"Eiryl!"
Gadis itu seakan menulikan telinga nya.
"Li." Kini langkah Alga sampai di samping Eiryl. Gadis itu tetap saja tidak menolehkan kepala nya.
Tubuh Alga menghadap pintu lift yang belum terbuka. "aku bisa jelasin semua nya. Jangan salah paham dulu," mohon Alga menatap Eiryl yang memalingkan wajah nya ke arah lain.
"Li," Nanta meraih tangan Eiryl. Seketika genggaman nya membuat gadis itu terpaku membisu.
Eiryl dapat merasakan telapak tangan Alga yang dingin dan sedikit gemetar. Ia perlahan menoleh menatap wajah Alga yang pucat. Sedang, laki-laki itu masih sibuk mengatur napas nya yang tersengal.
"Jangan pulang dulu, ya. Dengerin penjelasan aku dulu. Aku mohon. Alga merunduk lemah.
Melihat keadaan Alga yang seperti ini berhasil membuat rasa kecewa nya perlahan luntur.
"Kita belajar saling mendengarkan alasan, meski akhir nya membuat kita sakit," ujar Alga lagi.
Eiryl menatap Alga dengan lekat kemudian mengangguk. Ia menuntun Alga untuk kembali menuju kamar rawat nya.
Sesampai nya, gadis itu membantu Alga untuk duduk di bangsal.
"Kamu kenapa harus lari-lari, sih?" omel Eiryl.
"Takut kamu keburu pergi. Karna aku nggak akan biarin hal itu terjadi," balas Alga merasa takut.
Eiryl menghela napas nya sekaligus menahan sesak di dalam dada nya. Ia merasa sudah terlalu jahat pada Alga.
"Li." Alga menarik Eiryl untuk duduk di samping nya. "Gigi bilang itu karena dia nggak mau kesepian dan kalo hal itu terjadi dia ngerasa kalo Tuhan nggak adil."
Eiryl menatap Alga. Tepat di iris nya yang terlihat pilu.
Sedangkan Alga cepat-cepat menudukkan kepala nya. Rasa nya baru kali ini ia merasa punya teman untuk berbagi cerita.
Tangan Kanan Eiryl bergerak mengusak rambut nya.
"Kamu nggak perlu sedih." Ia mengangkat wajah Alga.
Alga hanya tersenyum tipis. Bolehkah ia menangis, Tuhan? Apa jika ia menangis tidak akan terlihat seperti laki-laki cengeng? Alga membendung kuat-kuat air mata nya. Tapi sayang, kelopak mata nya tidak sekuat yang ia duga. Air mata itu jatuh di pipi nya dan melewati bibir nya yang membungkam.
Eiryl paham dengan makna air mata itu. Ia tidak menyalahkan Alga yang menangis. Meski baru kali ini ia melihat seorang laki-laki ini menangis tepat di hadapan nya. Biarlah laki-laki yang di sayangi nya ini meluapkan rasa kelemahan nya.
Jemari nya kembali bergerak untuk menghapus air mata Alga.
Alga meraih tangan Eiryl yang sedang bergerak untuk menghapus air mata nya. Menggenggam nya hangat dan mengecup nya.
Tanpa mereka sadari, Gigi melihat semua nya dari balik pintu yang tidak tertutup sempurna. Hah, ia jelas merasa iri pada Alga. Setelah semua nya ia dengar sendiri dengan jelas, Gigi beranjak dari tempat nya. Seperti nya Tuhan menciptakan diri nya untuk selalu merasa sepi.
Eiryl menoleh ke arah pintu. Ia seperti seseorang telah berdiri di sana sebelum beranjak pergi.
"Kamu tunggu di sini, ya. Aku mau keluar sebentar," ujar Eiryl.
Alga hanya mengangguk ringan dan menatap langkah Eiryl. Ia menghela sebentar. Menatap Eiryl yang berdiri di depan pintu dan menatap ke arah timur.
Gadis itu terdiam saat melihat pintu kamar rawat Gigi baru saja tertutup. Pantas saja Alga begitu menyayangi sahabat nya itu. Ia kembali memandang Alga dan tersenyum.