"Hai kak... jangan lupa gyutan don untuk aku. Kamu terlalu bersemangat ketika menceritakan betapa juicy nya lidah sapi itu"
Sebuah pesan singkat yang tidak begitu singkat. Aku mengirimkannya pada kakakku, Lissa dan berharap segera dibalas. Dia sedang menempuh pendidikan di Jepang sejak dua tahun lalu. Rencananya beberapa hari lagi ia akan pulang untuk membantu memulihkan perusahaan papa yang sedang bangkrut.
"Kita lihat saja nanti"
Pesan balasan dari Lissa terlalu singkat untuk menjelaskan kesanggupannya. Tapi sudahlah, aku harus memaklumi itu. Mungkin dia sedang sibuk.
Aku sendiri terlalu terobsesi untuk makan gyutan don dari negara asalnya. Jika kalian belum tahu, gyutan don adalah makanan yang berasal dari Jepang. Bahan utamanya yaitu lidah sapi yang disajikan dengan donburi.
Sebagai salah satu anak orang berada, aku sebenarnya pernah makan gyutan don di Jakarta. Beberapa restoran rekomendasi Lissa sudah aku coba untuk berburu gyutan don.
Entah ekspektasi ku terlalu tinggi atau memang seperti itu rasa gyutan don. Aku tidak pernah puas meskipun lidah sapi yang aku makan merupakan rekomendasi Anne, seorang food vlogger yang sedang hits. Sehingga aku meminta pada Lissa untuk membawakan gyutan don dari negara asalnya, Jepang. Bagaimanapun caranya, terserah dia.
"Sorry Leany, ternyata kepulangan ku harus dipercepat. Sepertinya tidak sempat mencari food fozen untuk dibawa pulang"
Aku melemparkan ponselku sekenanya di atas kasur setelah membaca pesan dari Lissa. Kakak yang tidak bertanggung jawab! Bagaimana bisa dia membiarkan adiknya menahan keinginan untuk makan makanan yang paling diinginkan. Sedangkan ia sudah berkali-kali membuatku menelan ludah dalam-dalam saat menceritakan betapa enaknya gyutan don di negara asalnya.
"Jangan marah, aku menyayangimu"
Pesan lanjutan dari Lissa membuatku berdecih. Mungkin dia sadar aku kecewa ketika mengetahui aku hanya membaca pesannya. Biarlah... bukankah itu wajar? Lihat, katanya dia menyayangiku. Tapi untuk gyutan don saja dia tidak menyempatkan waktu.
"Kamu kenapa cemberut begitu, sayang?" kata mama yang tidak aku ketahui kapan datangnya.
"Lissa beralasan. Dia tidak mau membawakan gyutan don asli Jepang. Padahal aku yakin di dekat tempat tinggalnya pasti banyak yang menawarkan food fozen"
Aku memainkan ponsel di tanganku. Sedikit melirik mama, dia terlihat memainkan bola matanya. Entahlah, mungkin sedang memikirkan sesuatu untuk meredakan amarahku.
"Dengar, perusahaan yang bangkrut juga berimbas pada finansial Lissa. Papa dan mama tidak memberinya uang bulanan sejak dua bulan yang lalu. Dia hidup dan pulang besok menggunakan uang tabungannya"
Mama duduk mendekatiku. Ia berusaha mengusap kepalaku dan segera aku tepis. Selalu begini! Dari aku kecil tidak ada yang berubah. Lissa yang pintar dianggap sangat berharga sehingga papa dan mama sering mengabaikanku. Mereka selalu membela Lissa dalam situasi tertentu.
"Aku mau tidur. Lebih baik mama sekarang kembali ke kamar saja" kataku.
Tentu saja itu hanya alasan yang sengaja aku buat agar tidak ada pembelaan berlanjut untuk Lissa. Untungnya mama tahu diri. Mungkin ia berpikiran aku akan segera terlelap setelah melihatku menguap. Padahal aku hanya pura-pura saja.
Mama benar-benar keluar kamar setelah aku menguap untuk kedua kalinya. Dan lagi-lagi hanya pura-pura. Cih, haruskah aku menjadi anak yang penuh kepura-puraan?
☠☠☠
"Hai, adik manis. Rupanya kamu baru bangun"
Suara yang sangat ku kenal, Lissa.
Aku hanya tersenyum masam dan segera berlalu ke kamar mandi tanpa menggubrisnya. Sepagi ini dia sudah ada di rumah menghancurkan mood ku saja. Padahal aku masih kesal sejak dua hari yang lalu.
"Setidaknya berikan kakakmu sebuah senyuman untuk pagi yang cerah" kata papa saat aku baru keluar dari kamar mandi.
Sudah sangat jelas semua orang akan membela Lissa jika aku sedang marah padanya. Lissa dengan muka sok polosnya tersenyum ramah. Ia mendekatiku dan mengulurkan tangannya.
"Mungkin kamu lupa dengan kakakmu ini"
Akhirnya aku mengalah. Tidak ku sambut uluran tangan Lissa, tapi aku langsung memeluknya.
"Aku tahu kamu kecewa soal gyutan don. Maafkan aku" bisik Lissa saat kami berpelukan.
Dalam pelukanku, tubuh Lissa terasa lebih kurus dari sebelumnya. Tulangnya mencuat di kedua sisi punggungnya. Aku merabanya pelan, tidak berdaging sama sekali. Saat ku tatap matanya, cekungan terlihat jelas dengan bulatan hitam yang mungkin sisa begadang.
"Aku yang minta maaf, Lissa" kata ku sambil melepaskan pelukan.
Lissa hanya tersenyum. Adegan pertemuan kami harus terhenti karena papa yang sudah kelaparan sejak tadi. Ia ingin segera makan bersama dengan formasi keluarga yang sedang lengkap.
☠☠☠
Sudah sepuluh hari Lissa berada di rumah. Suasana di rumah terasa baik-baik saja. Kecuali jika aku sedang berniat mengurung diri di kamar.
"Masak apa ma?" tanya ku saat baru pulang dari kampus.
Mama hanya tersenyum dan menunjuk meja makan. Matanya terlihat sembab seperti habis menangi berjam-jam. Tapi itu sudah wajar bagiku. Kemarin malam juga aku melihatnya menangis. Perut laparku sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Beberapa hari ini sepulang dari kampus tidak ada acara makan di luar untukku. Tentu saja aku harus ikut berhemat karena perusahaan papa belum juga pulih.
"Wow... **Delicious! Lidah sapinya sangat enak, ma. Lissa harus makan ini karena telah memberi harapan palsu tentang gyutan don!" seruku ketika merasakan lidah sapi yang tidak seperti biasanya.
Entah mama atau Lissa yang masak, ini sangat enak. Tapi sayangnya lidah sapi yang tersaji hanya ada tiga slice saja.
"Terimakasih untuk makan siang yang luar biasa, ma. Ini lidah paling enak yang aku makan!"
Mama hanya tersenyum tipis mendengar penuturan yang aku sampaikan sambil memeluknya. Kali ini aku sangat berterimakasih karena dalam keadaan sedang berhemat uang mama masih sempat masak enak untukku.
"Aku ke kamar dulu. Satu jam lagi harus kembali ke kampus untuk pertemuan organisasi"
Tanpa menunggu jawaban dari mama, aku segera berlari menuju kamar. Rasa lidah sapi yang aku makan tadi masih lekat di lidahku. Kapan-kapan mama harus masak lagi seperti tadi.
Tepat sebelum membuka pintu kamar, aku melihat Lissa menuju ruang makan. Ia terlihat tergesa-gesa ketika melihatku menatapnya. Aneh, tidak biasanya dia seperti itu. Tapi langkah cepatnya terhenti oleh tubuhku yang sudah ada di depannya.
"Mama masak lidah sapi yang sangat enak. Hanya ada tiga slice dan aku sisakan satu untukmu" kataku sambil mengedipkan sebelah mata.
Lissa hanya tersenyum tanpa menanggapi perkataanku. Harusnya dia berterimakasih karena sang adik mengingatnya. Menyisakan makanan enak yang begitu menggoda untuknya.
"Jangan hanya membisu. Harusnya kamu berterima kasih padaku" kataku sambil memutar kedua bola mataku.
Lissa malah berlalu. Dia meninggalkan aku yang masih berdiri mematung tak mengerti.
Aneh, kenapa mama dan Lissa hanya tersenyum saat ku ajak merek berbicara. Tapi sudahlah, aku harus segera bersiap-siap.
Saat aku membuka kamar, betapa terkejutnya ketika melihat kasurku. Sebuah boneka beruang yang tingginya sama denganku duduk manis di atas kasur. Di depannya sebuah bouqet mawar merah dan sepucuk surat.
Aku segera membuka surat itu karena tidak sabar untuk mengetahui siapa yang menaruh semua ini di kamarku. Mungkin Abraham mengirimkannya tadi saat aku kuliah, entahlah.
*Dear my beloved sister
Leany, aku benar-benar menyayangimu
Sungguh!
Hingga aku harus menyajikan gyutan don lidahku sendiri untukmu...
Lissa Andreas*
Saat itu juga otakku berhenti berpikir dan kesadaranku berhenti bekerja. Keterkejutan ku membawa ketidaksadaran merasuki tubuhku. Aku tidak sadarkan diri...