Chereads / Melisa [Cinta Pertama] / Chapter 87 - Lelaki Baik

Chapter 87 - Lelaki Baik

Aku, Jeni, dan Elis, langsung terdiam dengan kedua mata membulat saat mendengar Tante Rini memanggil pria itu 'Alvaro'

Ternyata ini yang namanya, 'Alvaro' benar-benar di luar dugaan.

Orangnya sangat tampan, tubuhnya agak kecil dan tidak terlalu tinggi, tetapi dia memiliki hidung mancung serta senyuman manis yang menghiasi wajah imutnya.

Yah, dia termasuk golongan pria tampan kalau menurutku. Tetapi ketampanan masih kalah dengan Bagas.

Kerena di dunia ini bagiku hanyalah Bagas sosok pria yang paling tampan di mataku.

Ngomong-ngomong soal Bagas, aku jadi rindu, dan ingin segera meneleponnya ... eh, tetapi ... aku masih berada di rumah Jeni, setidaknya aku harus tetap menjaga sikap dan menghargai mereka.

Yah aku harus sabar, nanti saja telepon Bagasanya, kalau aku sudah putih dari rumah Jeni.

"Kalau cowoknya model begini mah, gue juga mau dijodohin, gumam Elis dengan reflek.

Sedangkan Jeni tampak tersipu malu, sambil menundukkan kepalanya.

Aku yakin dia sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.

Terlihat dari wajahnya yang mulai memerah, terutama di bagian pipinya, dan kedua matanya juga tampak berbinar-binar.

Berkali-kali aku melihat bibir Jeni yang menggulum senyuman kecil tertahan.

Kemudian Alvaro mengulurkan tangannya kearah Jeni.

"Hai, Jeni, aku Alvaro," ucapnya.

Dan dengan raut wajah yang masih malu-malu, Jeni pun menyambut tangan Alvaro.

"Hai, Alvaro, salam kenal, aku Jeni," ucapannya.

"Ehem!" Elis langsung menyerobot tangan Alvaro, memang anak ini tidak tahu malu, aku jadi kesal sendiri melihatnya. "Hai, Alvaro! Kenalin nama aku Elis! Aku sahabatnya Jeni! Semoga, hubungan kalian langgeng, ya?" ucap Elis.

"Iya, Elis, terima kasih, ya," ujar Alvaro seraya tersenyum ramah. Kemudian pria itu juga beralih mengulurkan tangannya kearahku. Dan kami juga saling berkenalan.

***

Acara pun di lanjutkan dengan bertukar cincin.

Kini senyuman mengembang terlihat nyata di bibir Jeni. Tidak seperti saat pertama bertemu dengan keluarga Alvaro tadi. Benar-benar tidak ada sisi manisnya. Apa lagi saat kami masih salah paham dan mengira jika Alvaro adalah si Pria Rambut Klimis Belah Tengah yang songong tadi.

Hampir saja aku sesak nafas melihatnya.

***

Kemudian Alvaro membuka sebuah kotak kecil berisi cincin.

Alvaro mengeluarkan cincin itu, lalu memasangnya di jari manis Jeni. Selanjutnya giliran Jeni yang memasangkan cincin ke jari manis Alvaro.

Kedua mata Jeni berbinar-binar. Aku dan Elis juga turut bahagia atas pertunangan ini.

Terlebih Alvaro sepertinya pria yang baik.

Dia juga berasal dari keluarga yang baik-baik.

Sebelum acara dimulai tadi, Jeni juga sempat bercerita kepadaku, bahwa, Alvaro adalah mahasiswa fakultas kedokteran semester 3, dia kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta.

Sedangkan orang tuanya memiliki usaha konveksi, yang omset setiap bulannya cukup besar.

Alvaro sendiri juga memilki bisnis distro kecil-kecilan yang saat ini mulai berkembang. Saat duduk di bangku SMA, Alvaro sendiri yang mengurus distro itu, namun setelah sibuk dengan urusan kuliah, Alvaro meminta adik perempuannya yang bernama Mita, untuk mengurus bisnisnya itu.

Dari semua penjelasan Jeni, aku dapat menyimpulkan bahwa Alvaro memang sosok pria idaman.

Aku sangat setuju bila Jeni bertunangan dengannya, sukur-sukur sampai ke jenjang pernikahan. Jadi ini alasan orang tua Jeni menjodohkan Jeni dengan Alvaro. Dan memang benar tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Yang mereka inginkan, anak perempuannya mendapatkan pria yang terbaik. Karena di luaran sana ada banyak sekali pria-pria berengsek yang berkeliaran, contohnya seperti Julian dan Dino.

Dan keliatannya mereka berdua memang cocok, Jeni sangat cerdas dan jenius ... dia juga bercita-cita ingin menjadi seorang Dokter. Dan sekarang dijodohkan dengan Alvaro yang seorang calon Dokter.

Akan tetapi aku dan Elis, terus mengingatkan Jeni agar tetap selalu waspada. Kami baru saja mengenal dan bertatap wajah dengan Alvaro hari ini.

Dan kami tidak mengetahui sikap serta watak Alvaro dalam kehidupan sehari-hari. Bisa saja jika dia adalah orang yang tempramen atau saiko macam Dino. Walaupun, kalau diperhatikan secara langsung hal itu tidak akan terjadi. Dan Alvaro adalah pria baik-baik. Namun tidak ada salahnya apabila aku dan Elis, menyuruh Jeni untuk tetap berhati-hati.

Kami hanya ingin Jeni mendapatkan yang terbaik, eh ... bukan hanya Jeni, tetapi berlaku Juga bagi aku dan Elis.

*****

Setelah acara pertunangan sederhana itu, kini hubungan Jeni dan Alvaro semakin dekat.

Aku dan Bagas juga semakin sering berhubungan lewat telepon.

Sementara Elis ... dia masih sendiri, tetapi aku senang melihatnya, karena Elis juga menikmati kejombloannya.

Nampaknya dia malah semakin ceria, lagi pula Elis juga masih kapok dengan pengalamannya saat bersama Julian.

Kali ini Elis, ingin menikmati kesendiriannya, dan lebih fokus belajar, agar dia bisa mendapatkan biasiswa saat kuliah nanti.

Seperti yang kita ketahui, keadaan ekonomi Elis memang tidak seberuntung aku dan Jeni.

Akan tetapi aku sangat bangga memiliki sahabat seperti dia.

Sangat ceria, pantang menyerah, dan dia adalah sosok gadis yang kuat serta mandiri.

***

Malam ini aku tengah berada di dalam kamar, aku sedang menikmati segelas susu hangat seraya menyantap camilan ringan.

Aku duduk di depan laptop sambil menyelesaikan tugas sekolah.

Tak lama ponselku bergetar, dan aku segera mengangkatnya.

"Halo, Gas!"

[Halo, Mbak Mel!]

"Kenapa?"

[Kangen,] jawab Bagas sambil tersenyum.

"Gas,"

[Iya, ada apa?]

"Panggilnya jangan, 'Mbak' dong," pintaku.

[Kenapa? Mbak Mel, kepengen di panggil 'Sayang' ya?] tanya Bagas sambil tersenyum.

"Ya, gak gitu juga! Cuman aku ini, 'kan 'Pacar' kamu! Bukan 'Kakak' kamu! Apalagi, 'Mbak-mbak Tukang Pecel' langganan kamu itu, Gas!"

"Jadi panggilnya, 'Melisa' aja, ya?" pintaku.

[Oh, gitu, ya?] Bagas pun kembali tersenyum, namun senyuman itu sempat berhenti ketika jaringan mulai tersendat. Bahkan wajah Bagas pun tampak tak jelas. Seperti potongan puzzle.

"Aih! Bagas! Di kampung gak ada sinyal, ya?"

[Maaf, Mbak!] kata Bagas.

"Bukannya di rumah kamu ada Wifi, ya?"

[Ada, Mbak! Tapi lagi mati lampu!] jawab Bagas.

"Ah, pantesan!"

Dan tak lama panggilan vidio call pun terputus. Aku kembali menatap layar laptopku.

Yah ... seperti inilah perjuangan hubungan jarak jauh.

Terkadang rindu juga terhalang oleh jaringan.

Namun inilah tantangannya, aku suka melewati tantangan.

Aku akan membuktikan kepada dunia, bahwa aku dan Bagas bisa melewatinya.

Bersambung ....