Sudah lama aku tidak berpapasan langsung seperti ini dengan Dino.
Walaupun kami masih satu sekolahan, tapi kami jarang sekali berdekatan, apalagi saling menyapa.
"Melisa," sapa Dino dengan suara pelan, tatapannya agak canggung.
Tidak seperti dulu yang selalu heboh saat bertemu denganku.
Kupikir saat dia menatapku dengan tatapan tajam tadi kerena dia ingin membuat perhitungan kepadaku.
Bisa saja jika dia sudah mengetahui atas semua sandiwaraku pada waktu itu.
Akan tetapi semua dugaanku sirna, saat aku mendengar dia memanggilku dengan suara yang bergetar. Itu menandakan bahwa dia masih takut kepadaku.
Maka dari itu, aku kembali bertingkah aneh, sebagai Melisa yang memiliki kawan hantu.
"Hai, Dino, apa kabar?" sapaku.
"Ha-i ...," sahut Dino. Dia melambaikan tangannya, tapi agak ragu-ragu, dan terlihat sekali jika dia tidak menyukai keberadaanku.
"Eh, Dino, sini baca buku bareng aku!" ajaku dengan ramah.
"Anu, Mel, aku lagi ada urusan, Mel," jawab Dino, yang secara halus menolak ajakkanku.
"Duh, sayang banget ya, aku padahal lagi pengen ngobrol banyak bareng kamu, Din. Dan kata teman hantu aku—"
"Eh, Mel! Aku harus pergi sekarang ya, Bye!" ujar Dino memotong pembicaraanku. Kemudian dia berlari secepat kilat.
Aku yakin dia mulai merinding saat aku menyebut tentang kawan hantuku. Padahal itu hanya omong kosong saja hehe!
Opss!
Aku hampir tertawa dengan lantang melihatnya. Ekspresi Dino tadi benar-benar sangat kocak. Hanya saja aku berusaha sok tenang. Tentu saja aku tidak ingin membuat Dino curiga kepadaku.
Yah ... bertemu dengan Dino, sedikit membuatku terhibur, tapi begitu aku ingat masalahku tentang Bagas, aku kembali bersedih lagi.
Huft....
Drrt...
Ponselku bergetar, aku langsung memeriksanya, berharap pesan dari Bagas, tapi ternyata bukan ....
Mama yang tak mengirimkan pesan.
[Mel, kamu mau dibelikan oleh-oleh apa dari Bogor?] tulis Mama.
"Ya ampun, aku kirain, Bagas," ujarku dengan raut wajah penuh kecewa.
Akhinya aku menyerah, dan tak menelpon ataupun mengirimi Bagas, pesan lagi.
Aku pun meninggalkan perpustakaan dan kembali ke kelas, menyusul Jeni dan Elis.
***
Tak terasa satu minggu telah berlalu, hidupku merasa tak tenang karena dihantui dengan perasaan bersalah terhadap Bagas.
Pria itu benar-benar telah menyiksaku.
Dia tak menelpon atau mengirim pesan kepadaku sama sekali.
Di sini aku benar-benar merasa sangat kehilangan.
"Gas, kayaknya kamu sengaja banget ya, nyiksa aku?" gumamku dengan mulut mengerucut.
"Kenapa sih, aku selalu dekat dengan cowok yang suka ilang-ilangan?"
"Dulu, Dion! Sekarang Bagas, juga mulai menjauh!"
Aku benci situasi seperti ini. Tapi dari semua ini aku baru menyadari jika Bagas benar-benar berarti bagiku, buktinya saat ia menghilang seperti ini aku merasa kalang kabut.
Terkadang aku berpikir kenapa aku tidak menerima perasan Bagas waktu itu?
Mungkin aku tidak akan segalau ini. Bagas mungkin sudah kesal dengan kemunafikanku, ditambah lagi dengan masalah kucing Bagas yang baru mati.
"Baik, aku bakalan telepon Bagas lagi. Dan ini adalah panggilan yang terakhir, kalau Bagas tidak mau mengangkatnya, maka aku gak bakalan telepon dia lagi," gumamku. Segera kutekan tombol 'caling' untuk yang kesekian kalinya.
Aku berharap Bagas mau mengangkat teleponnya.
Dan benar, sekarang Bagas mengangkat panggilanku.
Aku benar-benar senang sekali, dan berbicara penuh antusias.
"Gas, aku seneng banget kamu mau angkat telepon aku!" ujarku.
[Iya Mbak, soalnya aku sekalian mau ngomong sesuatu sama, Mbak Mel,] ujar Bagas.
"Mau ngomong apa?"
[Aku mau ngomong kalau mulai hari, aku gak bakalan telepon, Mbak Mel, lagi,] kata Bagas.
[Ini, terakhir kalinya aku menghubungi, Mbak Mel,] imbuhnya.
Aku sampai tercengang mendengarnya. "Maksudnya apa ya?"
[Ya, aku tahu selama ini Mbak Mel, selalu terganggu dengan tingkahku. Makanya aku bakal berusaha menjauh,]
"Ya tapi bukanya sekarang juga udah jauh? Kamu di Semarang, dan, aku ada di, Jakarta?"
[Yah, aku tahu, dan mulai sekarang aku bakalan lebih menjauh lagi. Semoga setelah ini, kehidupan Mbak Mel, akan jauh lebih tenang,] kata Bagas.
Aku benar-benar tak habis pikir kenapa Bagas mengatakan ini keadaku?
Apa dia masih marah?
"Gas, kamu masih, marah sama aku ya?"
[Aku udah gak marah kok, Mbak! Aku udah maafin, Mbak Mel, eh! Maksudnya aku yang harusnya minta maaf sama, Mbak Mel, karena udah mengusik kehidupan, Mbak Mel,]
"Gas, kamu jangan kayak gitu dong! Aku minta maaf soal, Mellow, dan aku—"
[Mbak, udah dulu ya, aku ada janji sama Laras. Semoga, Mbak Mel, selalu bahagia,] ujar Bagas.
Kemudian dia mengakhiri panggilan teleponku.
"Gas! Bagas!"
Tut tut tut....
"Huh," Aku mendengus kesal penuh kecewa.
Bagas sepertinya benar-benar ingin mempermainkanku.
Dia mengabaikanku selama satu minggu saja aku sudah kalang kabut, dan sekarang dia bilang, jika ini adalah terakhir kalinya dia menghubungiku.
Aku tak habis pikir kenapa Bagas bisa melakukan hal ini kepadaku?
Yah ... tapi mau bagaiamna lagi, ini juga salahku. Dan seharusnya aku senang mendengar hal ini, artinya Bagas akan mudah melupakan aku.
Dan aku juga bisa segera menghapus perasaan sukaku terhadap Bagas.
Tetapi ... kenapa terasa berat ya?
"Mel! Mel!" teriak Tante Diani memanggilku.
"Iya, Tante! Sebentar!" sahutku.
Ceklek!
Kubuka pintu kamar. "Ada apa, Tante?"
"Ikut, Tante, yuk!"
"Kemana?" tanyaku, kemudian Tante Diani, dengan antusias menjelaskan kepadaku.
"Jadi gini, temannya Tante itu baru buka restoran, nah dia undang Tante datang ke sana. Dan tentunya buat makan gratis dong!" ujar Tante Diani dengan senyum liciknya.
Aku pun juga tertarik, karena ini bisa mengurangi kegalauanku. Dan lagi pula cacing di perutku mulai menari-nari, sepertinya mereka kelaparan?
Kalimat yang menyebutkan tentang makanan yang gratis itu terdengar indah di telingaku. Opps! Hehe ....
"Ok, ayo!" Aku lansung keluar dari kamar.
Tapi Tante Diani menatapku agak kaku.
"Loh, kenapa, Tante?"
"Kamu yakin mau keluar kakek baju begitu?" Tante Diani memandangku sambil mengernyitkan dahi.
Dan dari situ aku baru menyadari kalau aku masih menggunakan baju tidur yang masih bau iler, dengan sendal kamar motif doraemon, serta rambutku juga masih acak-acakan mirip Tarzan.
"Eh, iya juga ya? Kalau begitu aku mau dandan dulu deh, Tante!" ujarku.
"Jangan cuman dandan aja! Harus mandi juga!" bentak Tante Diani. "Kebiasaan banget! Jorok ih!" ocehnya.
"Hehehe ... iya Tante, peace!" Aku mengacungkan dua jari sambil nyengir tak berdosa.
Tante Diani selalau datang di saat yang tepat. Terutama saat hatiku Sedang galau, beliau seperti memiki telepati atas kesedihanku.
Yah contohnya saat ini.
Dulu saat aku sedang bermasalah dengan Dion, Tante Diani juga yang menghiburku.
Beliau mengajakku jalan-jalan ke Mall, atau ke Mini Market, dan tentunya dia juga yang mentraktirku, hehe....
Bersambung ....