Julian menceritakan dengan detail bagaiamana cara dia mendapatkan para gadis yang akan ia jual kepada para pria Hidung Belang.
Dan rupanya triknya sama dengan Julian saat menipu Elis.
Memang kebanyakan mereka memberontak, tapi Julian selalu mengancam para gadis-gadis itu hingga akhinya mereka pun mau menuruti perintah Julian.
Tapi tak jarang yang malah dengan senang hati melakukannya, karena ia sedang membutuhkan uang dengan cepat.
Dan kami sudah mendengar penjelasan Julian dengan lengkap.
Tentu ini adalah awal kemenangan dari kami, karena kami sudah mengantongi bukti-bukti.
"Wah jadi begitu ya caranya, Mas Julian, mendapatakan mangsa?" ujar Jeni, "wah, agak sulit juga ya!" imbuhnya lagi.
"Iya, kita sebagai Ibu-ibu, susah juga kalau harus mencari anak gadis, kami, 'kan gak ganteng kayak, Mas Julian?" ucap Jeni, sekali lagi dia mencolek dagu Julian.
Dia benar-benar menjiwai perannya sebagai Tante-tante Genit.
"Tante! Julian itu pacar aku! Jangan dicolek-colek!" bentak Sarah.
"Sabar, Beib," bisik Julian di telinga Sarah.
Aku hampir tertawa melihatnya, ternyata Julian itu takut juga kalau Sarah marah kepadanya.
"Gimana, Tante! Jadi enggak nih, kita bekerja sama?" tanya Julian.
"Gimana ya?" Jeni bertopang dagu, "kayaknya gak jadi deh, kita cari cara lain!" tegas Jeni.
"Loh, tadi katanya butuh banyak uang buat bayar hutang?" protes Sarah.
"Ehm! Iya Sih, Mbak Sarah! Tapi kayaknya kami mau coba cari tempat lain aja, siapa tahu ada yang mau terima jasa kami," imbuhku. "Karena kalau mendengar penjelasan, Mas Julian, itu akan terasa sulit bagi kami." Tuturku lagi.
Dan Julian terlihat tidak setuju dengan keputusan kami.
"Eh, gak bisa gitu dong, Tante! Kalian, 'kan yang awalnya minta saya supaya cerita cara itu! Sekarang sudah cerita tapi malah gak jadi! Kalian mau mepermainkan saya ya?" ujar Julian.
"Eh, bukan begitu, Mas Julian! Tapi kalian tahu, 'kan kalau kami ini para wanita, bagaimana kami bisa menggait para gadis?" ujar Jeni.
"Ya kalian, 'kan bisa menggunakan cara lain! Tidak perlu harus berpura-pura menjadi pacar mereka!" ujar Julian.
"Ya tapi bagaimana caranya, Mas Jul?" tanyaku.
"Ya kalian bisa mengiming-imingi uang untuk mereka! Atau bila perlu kalian bisa menggunakan anak-anak kalian untuk memperdaya mereka!" ujar Julian, "kalian punya anak laki-laki, 'kan?" tanya Julian sekali lagi.
Elis menggelengkan kepalalnya.
Dan aku juga menggelengkan kepalaku. Kerena kami memang belum punya anak, 'kan?
Jangankan anak suami saja belum punya ....
Jangankan suami, pacar saja belum punya ....
Nasib Anak SMA yang masih ingusan.
Huft ... Jomblo ....
Kemudian Jeni memberikan pernyataan yang bisa membuat Julian terdiam.
"Mas Julian, saya setuju dengan ide brilian Anda, saya akan menggunakan cara itu! Kebetulan saya punya anak laki-laki!" ujar Jeni sambil tersenyum penuh yakin. "Anak saya juga sudah dewasa! Saya bisa memperalat dia!" ujar Jeni.
Aku dan Elis sampai kaget mendengarnya.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Jeni, entah dia sudah memiliki rencana apa lagi?
"Nah! Gitu dong, Tante!" Julian begitu senang mendengarnya.
"Kalau begitu kami pulang dulu ya! Saya harus segera berbicara dengan anak lelaki saya!" imbuhnya lagi.
Kemudian Julian pun dengan senang hati mempersilahkan kami pulang.
Sekarang aku baru tahu maksud dari ucapan Jeni tadi, ini caranya Jeni agar kami bisa keluar dari klub malam ini dengan tenang.
Kerena dengan mendengar kalimat yang diucapkan oleh Jeni tadi, akhirnya Julian membiarkan kami pergi.
Setelah itu, kami semua masuk ke dalam mobil taksi.
Dan di sana Jeni langsung mengumpulkan semua file vidio yang kami rekam tadi.
"Elu mau kirim kemana?" tanya Elis.
"Ada deh, pkkoknya!" jawab Jeni singkat.
"Kenapa gak kita aja yang edit?" tanyaku.
"Udah deh, biarkan sepupu aku yang kerjain, dia sudah ahli dibidangnya. Dan dia juga yang akan menyebar vidio ini! Jadi kita aman!" ujar Jeni.
Kami menurut saja ucapan Jeni.
Dan di dalam mobil taksi itu pula aku dan Elis mulai mencopot rambut palsu, serta berbagai aksesoris yang menghiasi tubuh kami.
"Ih, ini dandanan apaan sih! Sumpah seumur hidup gue gak mau lagi didandanin kayak begini!" ujar Elis seraya menghapus riasannya dengan Micelear Water.
"Emangnya elu doang yang gak suka sama dandanan macam ini? Gue juga kali, El!" sahutku sambil mencopot syal bulu-bulu yang menghiasi leherku.
Sumpah bagiku itu terlihat sangat menggelikan ...,
Mungkin mulai hari ini aku membuat pernyataan pada diriku sendiri, bahwa aku phobia syal bulu-bulu.
Iyuh! Norak!
"Udah kalian itu jangan pada berisik! Namanya juga usaha!" ujar Jeni dengan santai.
"Harusnya kalian bangga dong, bisa nyamar-nyamar begini macam di film-film Hollywood!" imbuh Jeni lagi.
Dia masih tertawa-tawa sendiri tanpa beban, dan sepertinya dia sangat menyukai hari ini.
"Jen, kok elu ketawa-ketawa gitu sih?" tanyaku.
"Yaiyalah! Kerena sebentar lagi kita bakalan mendapatkan berita heboh!" jawab Jeni.
Yah aku dan Elis tahu akan hal itu, rencana kami pasti berhasil.
Rasanya aku sudah tak sabar untuk melihat kejadian setelah ini.
Bagaimana reaksi Julian dan Sarah saat digiring ke kantor polisi.
Tentu klub malam itu akan terkenal dalam waktu yang singkat, sebelum pada akhirnya tutup total.
Ini menjadi pelajaran bagi Sarah dan Julian, karena sudah membuat usaha yang merugikan orang lain. Andai saja Elis tidak bisa melawan mereka pada hari itu, mungkin masa depan Elis akan hancur karena ulah Julian dan Sarah.
Setelah itu mobil taksi berhenti di sebuah salon yang mendandani kami tadi.
Kerena kami harus mengembalikan semua barang yang telah kami pinjam ini.
Termasuk syal bulu-bulu ini, ih eww!
Aku benar-benar geli sendiri saat membayangkan penampilanku tadi.
Dan yang paling penting lagi kami harus mengembalikan KTP milik para Embak-embak Salon yang sudah berbaik hati kepada kami.
***
Setelah kami mengembalikan benda-benda itu ke tempat asal, kami langsung pulang ke rumah masing-masing.
***
Aku masuk ke dalam kamarku, tanpa melepas sepatu langsungku rebahkan tubuhku di atas kasur empuk itu.
Hari ini benar-benar terasa sangat lelah.
Kupejamkan mata, dengan kedua tangan melipat di atas perut.
Drrrt....
Ada yang menelponku, kuangkat sedikit kepala lalu tangan meraih benda pipih itu.
"Halo!"
[Halo, Mbak Mel!]
"Ada apa, Gas? Tumben malam-malam telepon aku?"
[Emangnya gak boleh?]
"Ya boleh sih, tapi—"
[Tapi apa? Mbak Mel, pasti mau bilang takut kalau Laras marah, 'kan?] tanya Bagas.
Dan tebakannya memang benar. Aku takut kalau Laras akan marah kepadaku.
Bagas malah menelponku malam-malam begini, kalau aku jadi Laras pasti aku akan cemburu.
"Kalau kamu udah tahu, kenapa masih dilanjutkan?" sindirku pada Bagas.
[Tenang, Mbak! Laras itu gak mungkin marah kok!" ujar Bagas.
"Gas, aku juga cewek! Aku bakalan marah banget kalau cowok aku nelpon cewek lain malam-malam begini! Dan itu berlaku juga bagi Laras!" tegasku pada Bagas.
Bersambung ....