Sepulang dari jalan-jalan aku merasa aneh dengan pria tersebut, sepanjang di perjalanan. Felix terlihat terus-menerus mengibas-ngibaskan tangan ke pundaknya, seperti ada kotoran atau apapun yang menempel padanya.
Aku hanya bisa menghela napas, sebenarnya manusia macam apa Felix itu? Ah, sudahlah aku gak mau ambil pusing.
"Stop! Get out!" pekik Felix tiba-tiba yang membuat aku dan Euis terkejut, bahkan aku sampai menginjak pedal rem mendadak hingga kepalaku nyaris terbentur stir mobil.
Tin ... Tin ...
"Blegug sia! Mau bikin urang celaka!(Bodoh kau! Mau buat saya cekaka!)" maki pengendara lain mengumpat padaku. Aku hanya mampu membuka jendela dan meminta maaf seadanya.
Huffff ...
Aku menghela napas, hampir aja aku di keroyok orang! Ewhhhh, semua gara-gara cowo aneh ini!
"Sorry Karin," lirih Felix padaku.
"Ckk!" Aku berdecak kesal dan memutar bola mataku malas, demi apapun aku benar-benar kesal dengan tingkah lakunya. Dasar Aneh!
Untung saja kau tampan, jadi ya ... okelah gak masalah. Lumayan buat pamer sama mantan yang sok kegantengan, kalau aku punya calon suami ganteng, bule lagi! Betul tidak saudara-saudara?
..........
Waktu makan malam tiba, Tante Riska dan si pria aneh akhirnya memutuskan menginap di rumahku. Karena katanya, suaminya Tante Riska akan menyusul esok hari.
"Gimana pekerjaannya om, lancar?" tanya Felix yang ntah mengapa cepat sekali akrab dengan papa.
"Ya begitulah, om sudah berapa hari ini mencari buronan tapi gak ketemu-ketemu," jawab papa sambil terus fokus pada makanan yang tersaji di hadapannya.
"Bisa saya lihat foto buronan itu om?"
"Mau ngapain? Mau bantuin nyari?" sindirku seenaknya, yang langsung dihadiahi sebuah cubitan di paha oleh mama.
"Jaga sopan santunmu!" Mama berbisik dan melotot kepadaku.
Papa kemudian memerikan ponselnya, yang menunjukan foto seseorang kepada Felix, pria itu tampak mengerutkan keningnya lalu segera mengembalikan ponsel itu kepada papa.
"Om, di samping rumah orang itu ada sumur dan pohon bambu, coba gali tanah di antara sumur dan pohon bambu itu! Nanti om akan menemukan bungkusan putih bertali merah, langsung bakar saja!" jelasnya dengan santai.
Tunggu? Otakku benar-benar masih perlu mencerna perkataan Felix baik-baik. Aku memicingkan mata, menatap aneh padanya, apa dia ini semacam cenayang? Kok, bisa-bisanya ngarang cerita kaya begitu? Hahaha, papa gak mungkin percaya, karena papa adalah orang paling logis di keluargaku.
"Maksudmu?" tanya papa.
"Pria itu menggunakan ilmu hitam, padahal ia selalu berada di rumah tetapi polisi tidak dapat melihat keberadaannya."
Papa nampak bergeming dan menganggukkan kepalanya, "Baiklah, om coba suruh anak buah om kesana."
Hah, aku benar-benar terkejut dan tidak habis pikir! Kemana papaku yang super logis dan gak percaya hal-hal klenik? Masa iya sih, percaya dengan si bule cenayang yang satu ini!
"Oh ya, Karin. Kami memutuskan jika lusa kamu akan segera menikah dengan Felix," tutur mama yang membuat mulutku menganga lebar, tak mampu berkata apa-apa.
Apa sih yang ada di pikiran orang tuaku? Mau nikahin anaknya kok seperti mau kawinin kambing! Huh, apa jangan-jangan aku ini anak pungut?
"Ma, tapi ...."
"Gak ada tapi-tapian! Keputusan kami sudah bulat, Karina," tandas mama.
Ku menghela napas kasar, pandanganku beralih kepada Felix. Berharap pria itu mengatakan sesuatu untuk menolak keputusan konyol itu, tetapi Felix hanya menatapku dan mengangkat bahunya singkat.
Arghhh! Aku ingin sekali mengumpat, kenapa kehidupanku jadi seaneh ini? Oke lah dijodohkan, aku tidak masalah, tapi jika dinikahkan secepatnya itu? Arghhh! Memikirkannya saja bisa membuatku gila.
Aku bahkan baru mengenal Felix, bagaimana mungkin lusa kami akan menjadi suami istri? Hallo, are you kidding me?
Seusai makan malam aku mengajak pria aneh itu kesebuah coffee shop, tentu saja orang tuaku dengan senang hati mengizinkan aku pergi berdua dengannya, malah menyuruh kami berlama-lama berdua.
Aku rasa, jika aku berdua-duaan mojok sama londo aneh ini, mama papa juga gak akan marah!
Kami memutuskan untuk ke sebuah coffee shop yang terletak tak jauh dari komplek perumahan. Aku sudah kesal sekali, kenapa si aneh ini nurut-nurut saja dan tidak komplain sama sekali saat mendengar lusa kami akan dinikahkan.
Beberapa menit kami terdiam sibuk dengan aktivitas masing-masing, aku memainkan ponselku dan dia mendengarkan lagu lewat earphone dan entah menulis apa di sebuah buku catatan.
"Ehmmm ... Felix," sapaku memulai pembicaraan, pria itu menoleh ke arahku lalu kembali berkutat dengan buku catatannya, ih ... kacang mahal, Mas!
"Felix, kok kamu diam saja mau di nikahkan sama aku sih?"
"Memang kenapa? Bukankah sekarang atau nanti sama saja? Kita akan tetap menikah, semua hanya masalah waktu saja," jawabnya tanpa menoleh.
"Tapi 'kan kita belom saling mengenal!"
"Kata siapa? Aku kenal kok, kau Karina dan aku Felix!" ucapnya enteng yang membuat ubun-ubunku terasa mendidih.
Aku mengerucutkan bibirku lalu menenggak seluruh isi kopi yang ada di dalam cangkir. Aku benar-benar kesal dengannya, Felix sama sekali tidak bisa di ajak kerja sama. Entah apa yang ada di isi kepala bule cenayang itu? Bibirku sudah gatal ingin bersumpah serapah.
Namun, ia malah tersenyum melihat tingkahku yang sedang kebakaran janggut.
Ya Tuhan, boleh gak sih aku pukul kepalanya pakai sendal? Aku rasa otaknya bermasalah.
"Kau itu aneh ya, mau-maunya di jodohin," cibirku kesal.
Felix tiba-tiba mengehentikan aktivitasnya dan menatapku dengan tajam
"Mengapa harus menolak? Kau cantik dan menggemaskan."
Astaga! Rasanya pipiku memanas, Ah ... si cenayang aneh ini bisa ngegombal juga rupanya.
Tamat sudah, aku gak bisa berkata apa-apa lagi.
Laki-laki ini sudah benar-benar gak bisa di ajak kerja sama! Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus pasrah menuruti kemauan mama dan papa untuk menikah dengannya lusa. Iya, Lusa! Nasib oh nasib, mengapa jadi begini?
Setelah tidak ada pembicaraan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Tubuhku sudah sangat lelah dan mengantuk. Belum lagi batinku benar-benar sudah sangat letih karena kenyataannya yang terasa pahit untukku.
Aku berjalan gontai ke arah pintu keluar coffe shop itu, entah mengapa pundakku tiba-tiba terasa pegal dan berat. Bahkan mataku sudah sedikit berair, aku merindukan kasur kesayanganku.
"Biar aku saja yang menyetir!" titahnya tiba-tiba, merebut kunci mobil dari tanganku.
Aku bergeming, rasanya kinerja otakku benar-benar sudah melambat karena lelah lahir dan batin.
"Eh!"
"Sudah, biar aku saja! Bahaya kau sedang mengantuk. Aku gak mau bernasib sama seperti mereka," tandasnya dan tiba-tiba menggandeng tanganku.
Aku tersentak karena sikapnya sekaligus di buat bingung oleh perkataannya.
Mereka? Mereka siapa? Maksudnya bagaimana?
"Hah mereka, mereka siapa?" tanyaku padanya, tetapi ia hanya tersenyum, lalu mendekat dan berbisik di telingaku.
"Jangan di bicarakan, mereka berada tepat di belakangmu."