Namaku, Olivia Klara. Di umur 21 tahun ini Aku sudah bisa menghasilkan uang dan bisa mendapatkan posisi yang luar biasa bagiku. Menjadi Asisten Direktur. Ah, bukan lebih tepatnya Aku baru saja mendapatkan posisi itu sebab kinerja kerjaku yang begitu mumpuni dan mental bajaku ternyata membawaku ke posisi sekarang ini.
Ya, Aku sangat gigih akan prinsip dan pendirianku, bukankah manusia harus begitu? Tapi semua menganggap sedikit berbeda ada yang menganggap Aku keras kepala dan ada pula yang menatapku kagum. Tapi biarkanlah, this my life and yah Aku pemiliknya.
"Oliv!! selamat ya, akhirnya cita-cita Kamu mau ingin jadi CEO akan segera tercapai, sedikit lagi. Congratulations!!" ujar sahabatku, Marry. Aku membalas pelukan Marry, Dia adalah saksi hidup perjalanan karirku. Dari awal diterima di perushaan ini sampai saat ini, hampir tiga tahun Aku bersama dirinya.
"Selamat juga buat Kamu. Cie udah jadi Bu Maneger, kita harus terus ketemu loh Ry. Bukan berarti udah engga satu ruangan Kamu suka ngilang gitu aja," kata Aku mengingatkan satu sifat Marry yang selalu meninggalkan Aku jika perutnya sudah demo.
"Ya, kalau Kamu gak sibuk. Pak Vian itu orang yang sibuk tahu, dulu Bu Ina benar-benar sampai pernah angkat tangan, bisa bayangin gak sih sibuknya Dia," kata Marry.
"Itukan karena CEO kita sakit jadi wajar dong Pak Vian ambil alih sementara. Dan tugas Bu Ina itu bantu Pak Vian jadi ya seharusnya gak gitu juga toh juga Pak Vian udah gak pernah sesibuk itu jadi santai aja, bukannya kita pernah lebih sibuk dari para petinggi," balasku mengingatkan Marry akan masa lalu kita berdua tentang kita yang awal-awal kerja sering dijadikan pembantu oleh para senior di devisi mereka dulu.
Marry tertawa ia lalu menganggukkan kepalanya dan mengancungkan ibu jari tangan kanannya. "Udah-udah nanti jam istirahat Aku tunggu ya, jangan lupa chat dulu Ry. Bye Aku ke ruangan Pak Vian dulu ya Ry," ujar Aku sambil tersenyum lebar.
Aku berjalan menuju ruangan yang akan segera Aku tempati. Dimana ruangan itu berseblahan dengan ruangan Pak Vian dan hanya terhalang oleh dinding kaca. Pak Vian adalah laki-laki berumur sekitar tiga puluh tahunan yang sudah memiliki istri. Yang Aku dengar istrinya baru saja mengandung padahal mereka sudah dua tahun menikah. Tapi, sudahlah itu bukan urusan Ku.
Kedua tanganku sudah penuh dengan kardus-kardus yang berisi barang-barang miliku dari ruangan Ku sebelumnya. Tidak sengaja Aku melihat pintu ruangan yang akan tuju terbuka lebar, seketika Aku langsung mengerutkan dahiku. "Gak biasanya Pak Vian pintunya terbuka," ujarku yang keheranan. Dengan sopan dan mengucap kata 'permisi' Aku masuk ke dalam ruangan Pak Vian.
"Pasti Kamu asisten barunya Mas Vian ya?" ujar laki-laki yang duduk di kursi yang seharusnya akan Aku tempati dengan menompang satu kaki kanannya di atas paha kirinya dengan bersandar di punggung kursi dan menatapku dari atas sampai bawah.
Aku menatap bingung laki-laki yang mungkin seumuran denganku, sebab wajahnya terlihat masih muda dan badannya juga masih tegap dan begitu gagah. Potongan rambutnya pun juga seperti orang yang seumuran dengan Ku. Bukan seperti Pak Vian atau karyawan yang umurnya di atasku.
"Maaf Bapak siapa ya?" tanyaku dengan sopan.
Bukannya menjawab pertanyaan dariku laki-laki itu justru berdiri lalu mengambil alih kardus yang ada ditanganku. "Maaf Pak Saya bisa membawanya sendiri," ujar Ku yang merasa sungkan pada laki-laki yang bahkan baru kutemui.
"Ah tidak perlu sungkan, wanita seharusnya dibantu apalagi wanita secantik dirimu," ujarnya. Jujur saja hatiku langsung berdesir. Aku tidak pernah di puji oleh lawan jenis apalagi dengan suara selembut ini. Aku bukanlah wanita cantik yang seperti kalian bayangkan. Aku hanya seorang wanita yang harus bekerja demi membantu keluarga dan tidak begitu tahu bagaima merias diri. Hanya bedak, lipstik dan krim wajah saja yang menjadi andalanku setiap hari.
Laki-laki itu meletakkan barang-barangku di atas meja lalu ia membersihkan kursi yang tadi ia duduki lalu menarik tanganku dengan lembut dan memintaku duduk di kursi itu. "Inget Liv, mungkin laki-laki itu memperlakukan semua orang seperti ini. Tapi kok terasa berlebihan ya?" batin Ku yang goyah dan bingung akan sikap Nando yang bahkkan pertama kali Aku dapatkan.
"Terimakasih," ujarKu kepada laki-laki itu yang sudah baik membantuku.
"Your welcome, oh iya kita belum perkenalan ya? Namaku Nando, Aku adik sepupu dari Mas Vian," katanya memperkenalkan diri. Aku langsung merasa tidak enak. Bagaimanapun Dia masih keluarga dari atasanku, bukan pencitraan ya.
"Maaaf Pak Saya tidak tahu," ujarKu.
Nando menganggukkan kepalanya lalu ia bergeser dari tempatnya menuju ruangan Pak Vian dan mengambil kursi beliau lalu kembali lagi di mejaku. "Tidak apa-apa. Oh iya, Siapa nama Kamu?" tanya Nando.
"Saya Olivia Pak," jawabku.
"Jangan Pak dong, sepertinya kita seumuran," kata Nando.
"But it's okay, jadi Mas Ivan tadi sedang bersama Pak Hendra sepertinya mereka sedang membicarakan proyek yang akan segera dibangun. Dan karena Mbak Ina sedang libur pascamelahirkan Saya yang akan mengajari Kamu tentang pekerjaan ini," ujar Nando membuat diriku kaget.
Selama ini yang ia ketahui adalah Bu Ina satu-satunya asisten Pak Ivan. Dan juga, selama ia bekerja di sini ia tidak pernah melihat Nando. Tidak mungkinkan bertahun-tahun ia bekerja di sini tapi tidak melihat Nando walau hanya sekali ataupun sekilas saja.
"Kamu meragukan Aku?" tebak Nando yang langsung menyadarkan Ku akan tatapan Ku pada Nando yang terlalu menggambarkan apa yang sedang Aku pikirkan.
"Maaf Pak, bukan maksud Saya begitu. Saya-"
Nando menaikkan satu tangganya menghentikan bicaraku dengan tiba-tiba. "Aku sudah bilang panggil aja Nando, jangan Pak," ujar Nando membuat satu alisku terangkat. Aku kira Dia akan marah atas pemikiran Ku baru saja.
Nando lalu menggeser kursinya menjadi di samping Ku. Ia menurunkan kardus barang-barang Ku lalu menyalakan komputer yang ada di depan kita berdua. Jantungku sedikit deg-degan karena Aku sebelumnya tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki. Apalagi Nando terlalu dekat dengan posisi Ku sehingga Aku jadi ragu dalam setiap Aku akan bergerak.
"Oke Oliv pertama perkenalkan ini aplikasi arsip yang kantor kita punya. Aplikasi ini sedikit berbeda dari aplikasi arsip yang mungkin Kamu miliki ketika Kamu masih di divisi awal Kamu. Aplikasi ini hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengaksesnya," ujar Nando sambil membuka satu aplikasi di komputer itu. Aku menatap sekilas Nando lalu melihat ke monitor layar komputer kembali.
Aku melihat sekilas kembali Nando melalui ekor mataku, terlihat Dia yang tersenyum. Sepertinya Dia tahu Aku memperhatikan dirinya. Aduh, jadi malu rasanya. "Aplikasi berguna buat para asisten untuk mengecek segala arsip umum yang tersimpan. Untuk arsip privat Kamu harus ke bagian divisi arsip itu juga terdapat laporan dari Pak Ivan atau CEO Pak Juan. Semua itu dilakukan untuk menjaga kerahasiaan perusahaan. Sampai sini paham?" tanya Nando kepada Ku.
Aku menganggukkan kepalaku, "Paham Pak."
"Eits kok Pak lagi?" tanya Nando membuatku sedikit terkejut. "Eh tapi Pak, rasanya tidak sopan memanggil Anda dengan nama saja," ujarku dengan jujur.
Jika Nando tahu tentang aplikasi ini bukankah artinya Dia juga bagian karyawan perusahaan yang penting. Sebab ia mengetahui banyak hal tentang perusahaan yang umum maupun yang privat seperti ini. Jadi Aku harus memanggilnya Pak, karena Dia sudah bekerja di divisi ini lebih lama darinya dan mungkin jabatan Dia setara atau lebih dari Aku. Bisa sajakan.
"Santai saja, lagian kita disini termasuk yang termuda. Kalau begitu berapa umurmu? dua puluh?" tanya Nando.
"Dua puluh satu," jawabKu mengoreksi sekaligus menjawab pertanyaan Nando.
"Kalau begitu kita tidak begitu jauh, Aku bahkan berumur dua puluh dua," jawabnya yang membuatku kembali terkejut. Bagaimana bisa?
Aku masih ingat betul, jika banyak rumor yang mengatakan jika dirinya dan Marry adalah karyawan termuda di perusahaan ini. Dalam artian masih berumur dua puluh lima ke bawah karena rata-rata pegawai di sini adalah dua puluh lima ke atas. "Kenapa kaget seperti itu? Aku terlalu tua dari umurku?" tanya Nando, secara reflek kepalaku menggeleng ke kanan dan ke kiri.
Ya, Nando justru terlihat lebih muda dari Aku. Wajahnya terlihat sangat muda seperti orang yang baru saja puber namun berawakan atau postur tubuhnya yang gagah, tegap, tinggi, tegas dan berwibawa membuat Aku berpikir kita berdua seumuran. Aneh sih tapi ya begitu.
Matanya hitam seperti kebanyakan orang Indonesia. Matanya bersinar cerah tidak begitu tajam dan tidak begitu lembut. Rahang dan proporsi wajahnya sangat pas dan tegas. Hidungnya mancung membuatnya seperti memiliki darah campuran atau bisa jadi memang Dia memiliki darah campuran, lebih condong wajah bule eropa. Alisnya tidak begitu tebal dan tidak begitu tipis. Sangat manis jika tersenyum dan sangat membuatnya terpengaruh serius ketika dirinya serius.
Contohnya seperti Nando yang menjelaskan aplikasi arsip perusahaan ini dengan serius. Ia bahkan seperti sedang berbicara dengan almarhum ayahnya yang dulu adalah seorang guru dan pernah menjadi dosen pula.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Nando sambil menatapku bingung. "Ah itu, bukan apa-apa Kak," jawabku yang lagi-lagi reflek menjawab kata-kata itu.
"Kak? it's Oke, setidaknya Aku tidak tua banget bagi Kamu. Kita lanjut?" tanya Nando kepadaku dengan senyum yang membuat mataku terpaku sesaat.
"Oh iya Kak, silahkan," ucapku mempersilahkan Nando. Dengan sedikit menahan senyum karena baru saja melihat senyuman menawan dari Nando yang begitu membuatku merinding tersengat kupu-kupu bahagia.
"Setelah ini Kamu bisa buat akun pribadi Kamu di aplikasi ini, Aku sarankan tidak menggunakan akun atau password yang sama dengan akun Kamu di aplikasi arsip divisi Kamu dulu. Untuk penggunaan selanjutnya lebih baik tunggu instruksi Pak Ivan, beliau lebih berhak menjelaskan. Lalu kita akan berganti menuju email," ujar Nando sambil mengeluarkan aplikasi itu lalu berpindah ke aplikasi lainnya.
Melihat bagaimana cepatnya dan lihainya Nando mencari letak dan menjelaskan membuat diriku yakin bahwa Nando adalah karyawan perusahaan yang memiliki jabatan lebih tinggi dari Aku. Tapi kenapa Aku jarang melihatnya? ini nyatakan?
.
.
.
.
Waktu bergulir dengan begitu cepat, waktu memang selalu begitu ketika kita terhanyut dan begitu bahagia tidak sadar waktu sudah terlewati dengan banyak. Dua puluh menit lagi adalah jam istirahat, Nando menyelesaikan penjelasannya dari aplikasi yang harus Aku gunakan, pembuatan jadwal, meeting, apa saja yang harus Aku lakukan dan apa saja yang harus mulai Aku persiapkan.
Nando menjelaskannya dengan sangat seru, nyaman dan tidak membosankan. Jujur Nando benar membuatnya sedang bersama Ayahnya. Nyaman dan sangat begitu nyaman, tenang.
"Terimakasih ya Kak," ujarku pada Nando.
"Kenapa harus terimakasih? Ini juga tugasku," jawab Nando sambil menatapku begitu lurus. Membuatku sedikit salah tingkah.
"Aa Oh itu Kak, karena Kakak udah bantu Aku. Bagaimana pun Aku masih pemula. Banyak hal yang belum Aku pahami dan Kak Nando begitu banyak membantu Aku," ujar Ku tulus berterimakasih.
Nando menganggukkan kepalanya, "Iya sama-sama. Setelah ini apa yang bakal Kamu lakukan? Aku lihat tadi Mbak Ina udah banyak selesaikan tugasnya buat minggu ini mungkin Kamu bisa bekerja kalau Mas Ivan udah datang dan berikan Kamu arahan atau tugas yang lainnya," kata Nando yang membuatku berpikir.
Iya juga, Aku tidak mungkin menganggurkan apalagi ada senirku disini. Rasanya aneh jika menganggur ketika ada orang yang berpengalaman. "Mungkin menata ruangan ini dan juga barang-barang milik Saya Kak," jawab Ku sekenanya.
"Kalau gitu Aku bantu, lagi pula Aku juga tidak ada pekerjaan, Pak Hendra sedang peninjauan lapangan dan ya, Aku nganggur, untuk sementara ini sih siang setelah istirahat nanti mungkin sudah menerima pekerjaan dari Pak Hendra hasil peninjauan," ujar Nando.
Mendengar hal itu, membuat sebuah dugaan bahwa Nando ini asisten Pak Hendra, wakil CEO sekaligus perantara antara pemilik perusahaan dengan cabang ini. Keren juga, Pak Hendra bisa dikatan memiliki jabatan lebih tinggi dari Pak Ivan. Untung saja Aku menjaga sopan santun ku. Malu jika tadi Aku berperilaku bahwa Nando adalah teman sebaya Ku.