Chereads / Plazma : Before it Burst / Chapter 2 - 1. Malam Menuju Pagi

Chapter 2 - 1. Malam Menuju Pagi

________________________________________

Pada suatu hari, jauh di orbit bintang Betelgeuse.

Planet Scram, pukul 25.40...

Kota Arcon, Distrik 5.

.

Sebelumnya, perkenalkan. Planet Scram adalah planet biru yang akan menjadi "rumah kedua" umat manusia kelak. Planet tersebut memiliki ukuran yang sedikit lebih besar daripada bumi, dengan karakteristik yang hampir sepenuhnya sama, seperti air laut, kontur tanah, dan sebagainya.

Kala itu, tibalah malam dengan langit kosong nan kelam menyelimuti Distrik 5 yang damai sentosa dengan kicauan merdu makhluk nokturnal yang lalu lalang terdengar menghipnotis telinga dari sudut kota.

*Menghubungkan ke markas...*

*Terhubung.*

"Tn. Bryant, kau bisa mendengarku?"

"Oh, Hani ya? Kau sudah selesai dengan observasinya?"

"Y-Ya... aku mendapat sedikit masalah disini, apa harus kubunuh mereka?"

"Apa itu?"

"Sekitar sembilan orang mengejarku. Jika dilihat-lihat, mereka bukan esper ataupun penyihir. Bagaimana? Apa harus kubunuh ditempat sepi?"

"Tidak, lumpuhkan saja."

"Tapi, nampaknya mereka akan membunuhku."

"Leonard akan segera kesana, tetap tenang dan tahan mereka."

"H-hah, apa?"

"Sudah ya, akan kuputus sambungannya sekarang. Jangan bunuh siapapun yang mendekatimu."

"H-hei! Siapa yang bilang butuh bant-"

Orang dalam panggilan yang bernama Bryant itupun menghilang, ia langsung memutus panggilannya.

"Aaah dasar!" gerutu Hani dengan langkah seribunya yang sudah berlangsung sejak beberapa menit lalu, berusaha melarikan diri dari kejaran beberapa orang. Mau tidak mau, Hani harus berlari menyusuri gang-gang kecil dimalam yang sedikit nampak menyeramkan tersebut.

"Hei, nona cantik, berhenti disana!" Salah seorang pria tampang preman bertubuh besar dengan sekitar delapan orang lainnya mengejar Hani di sebuah gang.

"Gheh." Hani tersenyum kecut.

"Ya! Berhentilah berlari! Kemari dan akan kami hilangkan semua keluh kesahmu!" Salah seorang teman preman tersebut sudah kehilangan rasa kesusilaannya sebagai pria.

Hani menghentikan langkahnya, ia terpojok.

"Uwah, malangnya aku..." ucap Hani mencoba sejalan dengan hasrat para preman dihadapannya.

"Sepertinya kau tidak bisa lari kemana-mana lagi..." Dengan wajah menjijikkan, para preman tersebut berjalan mendekat pada Hani dengan kelima jari di kedua telapak tangan yang beegerak menggeliat, seolah olah ingin melakukan sesuatu yang tidak senonoh padanya.

"Uwah, benar benar kumpulan om-om yang menjijikkan." gumam Hani.

"Ooh itu jahat sekali-"

"Jackpot, katamu?" Dua patah kata terdengar jelas memotong kalimat dari salah satu preman dari gang tersebut, keberadaan subjek pastinya tidak jauh.

"Tidakkah kalian sadar betapa lemahnya kalian dengan sembilan orang berusaha mencuri hati seorang wanita, dimalam hari?" Orang tersebut melompat, menampakkan dirinya dari langit-langit bangunan. Terlihat dengan jelas, pria gondrong tersebut mendarat sempurna disebelah Hani.

"L-Leo, terimakasih." ucap Hani.

"Dengan senang hati."

"Tidak, kenapa kau malah kesini, dasar bodoh?!?!" bisik Hani mengata-ngatainya.

"Memangnya kenapa?"

"Kau selalu membuat semuanya jadi lebih mudah berkat jebakan benangmu, tahu? Itulah kenapa aku tidak mengharapkan bantuanmu disini!"

"Aaahhh sudahlah! Apa boleh buat..." Hani menggerutu sendiri.

"Ikat mereka," bisik Hani kembali, setelah itu ia berjalan beberapa langkah sembari menggenggam dua bilah pedang di pinggulnya. Iris coklat dimatanya melonjong layaknya mata seekor kucing. Ia menodongkan sebilah pedang hologram biru kearah kumpulan preman didepannya.

"Kuperingatkan pada kalian, om-om sialan. Enyah dari hadapan kami, bersujud lalu menyerahlah atau kami tidak akan mengampuni dosa asusila sehari-hari kalian." Tatapan yang dipasang Hani menajam, layaknya seorang Predator. Para preman tersebut bisa merasakan dengan jelas aura kejam nan pekat yang berasal dari Hani.

"Berusahalah untuk tetap tenang." Sementara itu, Leonard hanya melihat sekelilingnya seperti sedang merencanakan sesuatu.

"Jebakan... jebakan... Hmm, sepertinya disitu cukup bagus untuk memasang jebakan," gumamnya.

"Aura yang menakutkan, tapi ini 2 lawan sepu- maksudku, sembilan. Kami juga sudah memanggil bala bantuan yang berisikan banyak penyihir profesional." Salah seorang preman tadi menggertak Hani dan Leonard.

"Huh? Mana mungkin ada penyihir yang paham cara memasuki planet ini?" pikir Leonard seperti itu.

"Kalau begitu, bersiaplah." Hani langsung berlari mendekat pada mereka.

"Jangan remehkan kami! Walau kami semua adalah Rank E, kami masih punya kemampuan dasar dalam bertarung!" seru para preman tersebut.

"Oh? Kemampuan dasar?"

"Baik, maaf sudah meremehkan kalian." Kedua pupil mata Hani kembali menjadi semula lagi, namun ia masih berlari.

Dengan mudahnya, Hani melompati preman-preman tersebut. Ia menghindari pertarungan karena 'tuannya' tadi menyuruhnya untuk tidak membunuh mereka.

"H-Hah? B-bagaimana bisa?" Para preman tersebut terkejut dengan kecepatan serta ketepatan Hani.

"Lucu sekali melihat kalian membanggakan kemampuan dasar kalian yang masih rendah tersebut." ucap Hani yang kini bertengger di pucuk tiang listrik.

"Tapi maaf, aku tidak bisa meladeni kalian. Entah kenapa hari ini aku bisa mengasihani kawanan babi sialan seperti kalian." Hani mengambil sebilah pedangnya.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Shock Nade." Dua kata tersebut terucap oleh Hani, seketika membuat kumpulan preman tersebut kebingungan.

"Apa maksudmu?"

"Kalian tidak tahu? Bom kejut, bom-ke-jut. Saat kalian berada didekat Shock Nade yang sudah diaktifkan, tubuh kalian akan mati rasa untuk beberapa saat."

"Oh iya, ini bukan ulahku. Coba lihat kaki kalian." Para preman tersebut melihat kedua kaki mereka dan terkejut karena mereka diikat oleh seutas benang yang sangat kuat.

"Apa?" para penjahat tersebut merasakan kedua kakinya terasa kaku, seperti ada sesuatu yang membelit kedua kaki mereka hingga tidak bisa bergerak.

"Kalian mengurangi jam tidurku. Sampai jumpa." sahut Leonard. Ia mengeluarkan seutas benang dari jarinya dan terikat pada sebuah parabola. Seketika ia langsung ditarik benang tersebut bersamaan dengan Hani yang lompat memegang tangan sebelahnya.

"Ah ini, hadiah kalian!" Hani melemparkan sesuatu menyerupai bola yang bersinar ditengahnya.

"Itu...?!?!"

"Shock Nade?!? Jadi, itu yang dimaksudnya barusan?!?"

*duar!!–ngiiiiiinnngggg~* ledakan yang menghasilkan gelombang kejut tersebut melengking keras, menghiasi malam yang semula tenang di Distrik 5.

***

Bumi.

11 Februari 2051.

=== 07.10 ===

Cambridge, Inggris.

Cambridge atau disebut sebagai England Esper City, merupakan satu dari 6 kota dengan penduduk terbanyak kedua dibumi yang dijadikan tempat untuk mengembangkan bakat esper di negara sekitarnya, serta untuk dijadikan pacuan baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kota ini memiliki penduduk sekitar 1,3 juta jiwa, dengan angka percepatan teknologi mencapai 30 tahun revolusi bumi.

Di sebuah blok perumahan...

"Berita selanjutnya adalah tentang kasus penyerangan di Distrik 5, Kota Arcon, dari Planet Scram."

"Terdapat sembilan orang buronan dari berbagai daerah dibumi ditangkap dengan keadaan dibelit benang berbahan besi. Kondisi panca indera mereka pasif untuk sementara waktu-"

"Hmph. Seperti biasa, acara televisi pagi selalu membosankan." Seorang pria berambut putih mematikan televisi didepannya. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu.

"Hei, kau mau kemana?" Tanya satu temannya yang sedang lesehan dilantai bermain video game.

"Aku hanya jalan-jalan sebentar. Kau mau titip sesuatu?"

"Umm tidak, terimakasih. Oh iya, kuharap kau tidak berperilaku barbar jika melihat suatu perampokan." ucap temannya tersebut.

"Paham sendiri, kan? Lukamu belum sembuh. Jadi untuk sementara jangan lakukan itu. Tunggulah sebentar saja... aku yakin lukamu akan menutup sempurna dalam waktu kurang dari 10 hari."

"Ya, ya, terserahmu saja." Iapun keluar tanpa sepatah kata. Menyusuri jalanan kota menuju entah kemana.

.

.

.

"Hmm.... kelihatannya, belakangan ini banyak kasus kejahatan di daerah sini, ya." Pria tersebut berjalan di sebuah jembatan penyebrangan sembari melihat berita terkini di ponselnya.

Dia adalah seorang pria yang selalu nampak lesu dengan baju lengan panjang berwarna ungu dan abu-abu gelap, lalu celana jeans hitam dan sepatu kain tanpa tali yang juga berwarna hitam polos.

"Yah, lagipula pusat keramaian selalu berada di sini," gumamnya. Tak lama kemudian iapun turun dari jembatan tersebut. Tinggal 50 meter lagi dan ia sampai di tempat yang ingin ia kunjungi—minimarket.

"Tumben sekali, biasanya tidak seramai ini." Sesampainya disana, ia melihat puluhan orang sedang berkerumun di pintu depan.

"Memangnya ada apa, ya?"

"Cepat! Taruh semua uangnya didalam tas!" Sementara itu, didalam minimarket sedang terjadi sebuah perampokan yang dilakukan tiga orang bersenjata api. Dengan rasa takut yang kian menyelimuti, sang kasir pun cepat-cepat memasukkan semua uang yang ada di mesin kasir.

Minimarket tersebut memiliki 10 kloter barang yang sudah dikategorikan sendiri, dengan dua unit mesin kasir yang terletak sehadap terpisah dari pintu masuk, jaraknya sekitar 30 meter.

"Huh?" Akhirnya, pria berambut putih tersebut sudah sampai didepan pintu minimarket. Ia melihat bocah perempuan bersama ibunya yang terkulai lemah didekat meja kasir sedang dalam bahaya.

"Dasar penjahat! Hentikan! Enyahlah kau!" teriak seorang bocah perempuan yang berusaha melindungi ibunya yang lengannya bersimbah darah.

"Oh, baik. Perampokan lagi, padahal aku tidak sedang di Chicago." Pria itu terlihat sangat mencolok dari tanggapannya dihadapannya. Ia hanya memasang muka datar seakan-akan didepannya hanyalah hal lumrah yang sering ia temui.

"H-Hoi! Bocah nakal!" Dengan kasarnya, penjahat satunya menjatuhkan bocah perempuan tersebut sembari menodongkan pistolnya.

"Semuanya, menjauh dari sini! Siapapun panggilkan polisi!" perintah salah satu seseorang yang menyaksikan. Ia melihat keadaan bocah laki-laki tersebut, dan sang perampok sedang menginjak-injak kepala hingga badannya.

"E-Erkh... Lepaskan anakku!" Sang ibu dari anak tersebut memohon pada perampok tersebut.

Situasi mulai memanas dengan memberontaknya sang ibu.

"Tembak saja aku, anak itu tidak ada hubungannya dengan kasusmu." tantang sang ibu.

"Woah, gawat!" gumamnya.

"Kalau begitu, jangan menyesalinya." Perampok tersebut menggenggam erat pistolnya. Pelatuk di jari telunjuknya siap ditarik kapanpun.

Dalam sesaat, semua orang yang melihat kejadian tersebut pasrah akan keadaan. Semua orang tidak akan tega melihat seorang bocah menyaksikan orangtua mereka ditembak tanpa dosa oleh seseorang yang hanya memikirkan nasibnya sendiri dan keserakahan.

"Tunggu." Pria tersebut memberanikan dirinya. Lebih tepatnya, ia membuang rasa malasnya karena apa yang dilihatnya sudah jauh dari apa yang dipikirkan.

"Sial! Apa yang kaupikirkan disini, dasar bodoh? Kau masih dalam proses rehabilitasi!"

Benar, sejujurnya ia tidak ingin melakukannya. Tapi entah kenapa, kali ini otaknya seolah-olah lebih patuh dengan kemana kedua kakinya berjalan, dan apa yang mulutnya katakan.

Seorang malaikat kelam, datang menolong seseorang yang tidak dikenalinya.

"Kau akan tertembak pistolmu sendiri." Pria berambut putih tersebut berjalan masuk melewati pintu kaca yang sudah hancur karena bekas tembakan.

"Hah? Diamlah disitu dan jangan ikut campur denganku. Selain itu, bualanmu tidak mempengaruhiku sama sekali."

"Sudah kubilang, jika kau menembaknya, kau yang akan terluka oleh tembakanmu sendiri." Setelah mengatakannya, pria tersebut hanya mengorek-orek lubang telinganya selagi menatap datar ketiga perampok tersebut. Reaksinya sangat tenang, orang biasa tidak akan setenang itu ketika dihadapkan dengan perampokan.

Mata semerah darah yang sangat tenang, dimana tenangnya adalah bentuk dari rasa jenuh dan kekecewaan dengan apa yang dilihatnya. Dengan kata lain, ia kurang tertarik.

"Teruslah bicara dan kubunuh si jalang ini!" bentak perampok tersebut.

"Kalau itu..."

"Coba saja jika kau bisa," ucap pria berambut putih tersebut tersenyum jahat, atau mungkin lebih terkesan 'gila'.

*dor!*

*tiung- crakk!* Satu peluru ditembakkan. Anehnya, perampok yang menembak malah yang terluka.

"Ghahk- urrrgh...!!!" Perampok yang menembaknya tersebut memegangi pergelangan tangannya, menahan rasa sakit yang diterimanya. Ia tidak mengira jika kaliber pistol yang mungil bisa sesakit itu.

"Selain itu, mengapa kalian merampok minimarket dipagi yang cerah seperti ini? Tidakkah kalian sadar bahwa kalian itu tak lebih dari monyet yang hanya ada uang di otaknya?" Ia mengambil beberapa langkah kedepan sembari sesekali melirik sekelilingnya, sejenak.

"K-Keparat...!!!"

"Jangan mendekat! Atau kutembak kau!" Ancam perampok satunya dengan menggenggam sebuah pistol.

"Tembak saja, aku siap menerimanya. Aku juga tidak menyesali hidupku." ucapnya tersenyum jahat.

"Jika kau bisa. Hihi~"

"Renungkan kesombonganmu itu di peti matimu!"

*dor!* Peluru tersebut melesat dengan cepat. Lalu, peluru tersebut seakan-akan memantul, melesat kembali kearah penembak dan menghancurkan pistolnya sendiri. Melihat pelurunya yang tidak bisa berhenti, sang penembak langsung memiringkan kepalanya untuk menghindari peluru tersebut. Karena laju peluru yang tidak terlalu cepat, ia masih bisa menghindarinya.

"H-Hah? M-mustahil...."

"B-bagaimana... k-kemampuanku tidak berpengaruh padanya?"

"Ya... awalnya aku berpikir begitu..."

"Kau mengubah percepatan objek dan gravitasi menjadi konstan, lalu meredam reaksi pada peluru yang ditembakkan, sehingga peluru tersebut bisa menghancurkan apapun yang menyentuhnya tanpa penyok sedikitpun."

"Kalau begitu jawabannya adalah mudah sekali. Aku hanya perlu membelokkan vektor yang bekerja pada peluru tersebut, lalu aku cukup menentukan kelajuan gaya yang lebih lambat tanpa harus menghilangkan efek kemampuanmu. Habisnya... jika kau tertembak pistolmu sendiri, bukankah itu terlalu membosankan untuk dilihat?" jelasnya.

"Biar kuakui, Forcekeeper memang kemampuan yang mematikan. Kau bisa saja meremukkan tengkorakku dalam waktu kurang dari 10 detik." pujinya sembari mengibaskan rambut depannya yang sedikit menghalangi pandangan.

"Tapi... tidakkah kau mengenali wajah siapa yang barusan kautembak ini, HAAAHHH?!?!" Tak berselang lebih dari tiga detik, pria tersebut melesat dengan cepatnya. Ia menonjok dada perampok tersebut. Seketika perampok tersebut terkapar di meja kasir dengan kedua mata melotot dan mulut yang menganga serta sekujur tubuhnya terlihat seperti kejang-kejang.

"Apa yang kau lakukan padanya?!?!" Tanya perampok satunya. Ia sudah siap dengan sebilah pisau ditangan kanan.

"Oh? Aku hanya mengacak pergerakan vektor pada sistem syaraf dan menghentikan sirkulasi darahnya, sehingga ia nampak seperti tidak tahu cara bernapas untuk sementara." jelasnya.

"Sialan! Kau gila!" Tanpa basa basi iapun berlari berusaha menikamnya.

"Monster sepertimu lebih baik mati saja-"

"KAU LAMBAT!!! PERBANYAKLAH BEROLAHRAGA!!!" Pria berambut perak tersebut menghindari pisaunya. Ia menempatkan kedua tangannya dilantai, lalu mengangkat tubuhnya dan menendang perampok tersebut hingga terpental memaku di dinding.

"Oh, kali ini kau menggunakan Mental Barrier disekitar pintu masuk, ya?" ungkapnya begitu melihat orang-orang dibelakang mulai mencoba memberanikan diri untuk masuk, setelah Mental Barrier yang dimaksud tersebut menghilang.

"Ugh... uhuk."

"T-tidak salah lagi..."

"Dia adalah esper terkuat didunia, Axel Emilton." Begitulah nama dari pria berambut perak yang sudah disebutkan oleh sang perampok.

Invector adalah kemampuan yang dimiliki Axel, dimana ia bisa mengambil alih kendali vektor apapun yang bersentuhan dengan tubuhnya. Sementara itu, vektor dalam sains dikennal sebagai suatu pergerakan yang memiliki arah dan besaran.

"Heh, kenapa aku harus semalang ini?"

"Ya... pastikan kau mengingat baik namaku." Pria tersebut mengambil sebotol susu dari mesin pendingin dan sepotong roti isi, lalu menyodorkan uangnya dikasir.

"Dan satu lagi, jadilah penjahat yang lebih cerdas." ucapnya dengan nada kesal, sembari berjalan keluar.

*dor!*

*tiung- crakkk!*

"Huaaaarrrrrgh~!!!" Perampok satunya yang masih bisa bergerak berusaha menembaknya, namun pelurunya memantul lagi dan bagian dadanya pun tertembak.

Detak jantungnya mulai melemah, ia sudah berpikir bahwa hidupnya akan segera berakhir dengan cara yang tidak etis seperti itu.

***

Sudah 15 menit berlalu, dan akhirnya polisi datang untuk menangkap para perampok yang sudah dihabisi Axel.

"Uhh.... Atas nama Axel, ya..." Seorang polisi sedang mencatat beberapa hal untuk barang bukti dan kronologi kejadian.

"Terimakasih atas bantuannya. Berkat anda, tidak ada korban yang merenggut nyawa," ucap sang polisi.

"Yah, aku hanya ingin memberi pelajaran para penjahat bodoh tersebut," sahut Axel, pria berambut perak tersebut dengan tatapan acuh.

"Kakak tadi hebat sekali! Terimakasih! Anda telah menyelamatkanku dan ibuku!" Seru bocah perempuan yang ditolong Axel tadi.

"Huh?" Sontak Axel melirik tajam pada bocah perempuan berumur sekitar 9 tahun disebelahnya.

"Suatu hari nanti, aku akan jadi orang yang hebat seperti kakak! Aku juga akan membalas kebaikanmu nanti!" ucapnya berbinar-binar.

"...." Axel hanya diam dan meluruskan kedua alisnnya, ia menatap tenang bocah perempuan didepannya.

"Ah! Nama kakak Axel, ya? Kalau begitu, namaku adalah Frey, senang bertemu denganmu, dan terimakasih atas yang tadi!" seru bocah perempuan berambut pirang pendek tersebut menyebutkan namanya.

"....Salam kenal juga."

"Kalau begitu pulanglah sana, jangan lupa jenguk ibumu di rumah sakit." ucap Axel membalik badannya, lalu berjalan entah menuju kemana.

"Bocah aneh."

"Hm?" Sudah sekitar sepuluh langkah menjauh, dan Axel berhenti sejenak. Ia memalingkan wajahnya kesamping supaya penglihatan matanya bisa menjangkau bagian belakang. Frey, loli berambut pirang tersebut, sudah menghilang entah kemana.

"Tsk." Axel mengembalikan pandangannya kedepan dan berjalan lagi. Ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi pada bocah itu.

"Eh? Ap...apa ini?"

"Oh ayolah, jangan sekarang..." Axel tiba-tiba merasa pusing. Pandangannya kabur dan pikirannya kacau, seluruh badannya terasa berat selama beberapa detik.

"Sial, lukaku terbuka lagi." gumam Axel memegangi dahinya yang tiba-tiba mengeluarkan darah.

"Tsk." Mau tidak mau, ia harus mampir ke suatu tempat dimana ia bisa membersihkan lukanya.

.

"Hoaaaaam~" Matahari mulai menengah diatas langit dan Axel masih merasa ngantuk dan sedikit pegal di tubuhnya. Luka di kepalanya sudah hilang dibasuh air saat berada di wastafel umum terdekat.

"Padahal cuacanya enak, sayang sekali. Mau tidak mau aku harus pulang dan-"

*fwoooossshhhh~* Sebuah semburan api dari belakang menghancurkan kedamaian milik Axel.

"Benar-benar menjengkelkan." Axel menghentikan langkahnya selagi semburan api tersebut diserap tangan kirinya.

"Woahaha~ Kakak kelasku memang hebat." Suara pria diikuti tepuk tangan terdengar persis dengan asalnya sumber serangan barusan.

"Huh?" Axel membalik badanya. Tangan kirinya sudah gatal untuk menghempaskan kobaran api tersebut.

"Yo, lama tidak berjumpa." ucap pria tersebut melambaikan tangannya.

"Hmm, mungkin aku pernah mengenalmu. Kalau tidak salah namamu James, benar kan? Seorang mahasiswa di Cambridge Esper University." ujar Axel sembari menghempas api ditangannya ke trotoar. Orang-orang yang berada didekatnya pun mencoba sedikit menjauh.

"Yap, James Hopper. Aku minta maaf karena sudah menyerangmu. Kukira kau akan membalas seranganku, Tuan Invector."

"Setidaknya sopanlah sedikit dengan kakak kelasmu. Selain itu, jangan sebut nama itu didepan umum."

"Hei kalian, berhenti memperhatikanku dan kembalilah berjalan!" teriak Axel pada orang-orang disekitarnya ditengah kobaran api yang dihempasnya.

"Sadarlah sedikit, mereka takut dengan api disekitarmu itu."

"Jika mereka benar-benar penduduk salah satu dari Kota Esper, harusnya mereka paham. Karena kota ini sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teori seperti inipun harusnya ada yang pernah mempelajarinya."

"Seorang ahli kimia Jerman pada abad ke-16 bernama Johann Joechim Becher, menemukan sebuah teori yang dinamakan Phlogiston. Teori tentang pembakaran," ucap Axel menginjak-injak api yang masih menyala di trotoar.

"Singkatnya, tiap benda mempunyai kadar phlogiston yang berbeda. Kadar phlogiston mempengaruhi cepat-rambat pembakaran pada suatu benda."

"Jika trotoar ini adalah rerumputan, apakah aku akan menghempaskan api tadi disini?"

"Umm... tidak."

"Lagipula siapa itu Johann Joechim Bocher? Buku sains dari mana yang ia baca? Bukannya semua teori sains dasar ditulis oleh seseorang di sebuah buku besar?"

"Ya, aku bisa mencelupkan tanganku pada air atau menghempaskannya pada hidran terdekat, atau akan lebih baik jika ada sebuah batu besar."

"Rumah modern dibuat menggunakan bata, beton, atau bahkan kaca. Karena mereka memiliki kadar phlogiston yang lebih rendah, sehingga bisa meredam tingkat bahaya saat kebakaran. Selain itu, bahan yang tadi kusebutkan memiliki pondasi yang lebih tahan angin, makanya tidak ada gedung pencakar langit dari kayu." jelas Axel.

"Intinya, aku tidak membahayakan mereka. Sekarang apa urusanmu menemuiku?" tanya Axel berjalan mendekat.

"Kalau begitu... Bagaimana jika kita bersantai dulu? Disana ada kafe yang tidak terlalu ramai, mau kutraktir?"

"Jangan memperlakukanku seperti rakyat jelata," sembur Axel.

***

Bersambung.